MAKALAH
MATA
KULIAH : KAJIAN PROSA FIKSI
ANALISIS STRUKTURALISME
Dosen
Pengampu : Susan Neni Triani,M.Pd.
Oleh
:
KELOMPOK 3
1)
Indah
Puspita Sari NIM 11308504140067
2)
Ibnu Azis
NIM 11308504140064
3) Hudzeifah NIM 11308504140063
4) Vika
Aulia
NIM
11308504140168
5) Weli
Sandari
NIM
11308504140169

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
( STKIP SINGKAWANG )
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah Mata Kuliah Kajian Prosa Fiksi ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Analisis Strukturalisme.” Makalah ini merupakan tugas kelompok sebagai syarat untuk mengambil nilai yang diberikan oleh ibu Susan Neni Triani, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Kajian Prosa Fiksi.
Makalah
ini membahas tentang pengertian strukturalisme, bagaimana kajian
strukturalisme pada karya sastra serta tahap-tahapnya.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang belajar dan pembelajaran.
Kami selaku penyusun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir
kata, kami ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
usaha kita. Amin.
Singkawang, September 2015
i
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Karya
sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi seorang
pengarang terhadap gejala-gejala sosial di lingkungan sekitarnya. Karya sastra
diciptakan pengarangnya untuk menyampaikan sesuatu kepada penikmat karyanya.
Sesuatu yang ingin disampaikan pengarang adalah perasaan yang dirasakan saat
bersentuhan dengan kehidupan sekitarnya.
Namun,
pengarang bukanlah sekadar memindahkan apa yang disaksikan dalam kehidupan ini
ke dalam karyanya, lebih dari itu. Pengarang memberikan isi dan sekaligus
menafsirkan sesuai dengan keyakinan dan cita-citanya. Dengan karyanya,
pengarang berusaha mengungkapkan manusia dengan penderitaannya, nafsunya,
perjuangannya, cita-citanya dan sebagainya (Suharianto, 1982:11).
Karya
sastra hendaknya dapat memberikan nilai estetis yang menyenangkan dan
memberikan manfaat yang dapat memperkaya pengalaman batin pembaca. Hal ini
senada dengan hakikat dan fungsi karya sastra yang dikemukakan Horrace (dikutip
Suharianto, 1982:19), yaitu dulce et utile, artinya menyenangkan dan
berguna, bukanlah merupakan suatu tujuan, melainkan merupakan suatu akibat.
1
2
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari strukturalisme pada karya
sastra?
2. Bagaimanakah unsur
intrinsik atau unsur pembangun karya sastra yang meliputi tema, latar, plot,
tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan pengertian dari
strukturalisme pada karya sastra?
2. Menjelaskan unsur intrinsik karya sastra yang
meliputi tema, latar, plot, tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan
amanat?
D.
Manfaat
1.
Agar mahasiswa/i dapat mengetahui
tentang pengertian dari strukturalisme
pada karya sastra?
2. Agar mahasiswa/i dapat
mengetahui tentang unsur intrinsik karya sastra yang meliputi tema, latar, plot, tokoh dan
penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Strukturalisme
Strukturalisme
adalah cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan
dan deskripsi unsur dalam suatu karya sastra (cerpen, novel, roman dan
sebagainya) (www.wikipediaindonesia.com). Hawkes
(dikutip Pradopo, 2007:75) mengatakan bahwa strukturalisme adalah struktur yang
unsur-unsurnya saling berhubungan erat dan setiap unsur itu hanya mempunyai
makna dalam hubungannya dengan unsur lainnya dan keseluruhannya.
Menurut
Jabrohim (2003:55) dalam menganalisis strukturalisme suatu karya sastra, hanya
memusatkan perhatian pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya,
penyerahan pemberian makna karya sastra yang dimaksud terhadap eksistensi karya
itu sendiri, tanpa mengaitkan dengan unsur-unsur di luar signifikansinya. Hal
ini dikarenakan strukturalisme tergolong pendekatan objektif yang hanya
mengkaji karya sastra itu sendiri.
Sejalan
dengan pendapat itu, Teeuw (dikutip Jabrohim, 2003:55) menyatakan bahwa
analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra
sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Hal itu berdasarkan anggapan bahwa pada
dasarnya karya sastra merupakan “dunia dalam kata” yang mempunyai makna
intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri. Jadi, untuk
memahami makna karya sastra secara optimal, analisis strukturalisme yaitu unsur
pembangun terhadap karya sastra adalah suatu tahap yang sulit dihindari atau
secara lebih ekstrem hal itu harus dilakukan.
3
4
B.
Kajian Strukturalisme
dalam Karya Sastra
Penulis
menggunakan pendekatan struktural karena pendekatan ini memandang karya sastra
sebagai teks mandiri. Dengan pendekatan ini penulis bermaksud untuk menjaga
keobjektifan sebuah karya sastra, sehingga untuk memahami maknanya, karya
sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang
sejarah, lepas dari diri dan niat penulis dan lepas pula dari efeknya pada
pembaca (Jabrohim, 2003:54).
Strukturalisme
dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada elemen atau
unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Elemen itu disebut unsur
intrinsik, yaitu unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur itu
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur intrinsik sebuah
novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita (Nurgiantoro,
2004:23).
Stanton (dikutip
Nurgiyantoro, 2000:207—243) menyatakan bahwa unsur pembangun dalam sebuah karya
sastra sebagai berikut.
1.
Tema
Tema
(theme), menurut Stanton dan Kenny (dikutip Nurgiyantoro, 2000:67),
adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang
dikandung dan ditawarkan oleh cerita itu, maka masalahnya adalah makna khusus
yang mana dapat dinyatakan sebagai tema.
Menurut
Hartoko dan Rahmant (dikutip Nurgiyantoro, 2000:67), untuk menentukan makna
pokok sebuah cerita, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna
pokok ,atau tema itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang
sebuah karya sastra dan menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun
bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Tema bisa
5
berupa persoalan
moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait dengan
masalah kehidupan.
2.
Tokoh dan Penokohan
Tokoh
adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi, sehingga peristiwa
itu mampu menjalin suatu cerita, sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh
atau pelaku itu disebut penokohan (Aminuddin, 2004:79). Penokohan atau
perwatakan ialah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik lahirnya maupun batinnya
yang dapat berupa: pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya
dan sebagainya (Suharianto, 1982:31).
Teknik
pelukisan tokoh dalam suatu karya sastra naratif/fiksi dibedakan menjadi teknik
ekspositoris, atau teknik analitik dan teknik dramatik (Nurgiyantoro, 2000:90).
Teknik analitik adalah pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan
deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh hadir dan dihadirkan
oleh pengarang kehadapan pembaca secara tidak berbelit-belit melainkan langsung
mendeskripsikan sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau ciri fisiknya. Teknik
darmatik merupakan pelukisan tokoh dilakukan secara tidak langsung. Pengarang
tidak mendeskripsikan secara langsung sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh
cerita.
3.
Plot / Alur
Salah
satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi adalah plot
cerita. Dalam analisis cerita, plot sering pula disebut dengan istilah
alur. Menurut Nurgiyantoro (2000:110), plot/alur adalah rangkaian
peristiwa yang tersaji secara berurutan sehingga membentuk sebuah cerita. Plot
atau alur merupakan cerminan atau perjalanan tingkah laku para tokoh dalam
bertindak, berpikir dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah dalam suatu
cerita.
6
Suharianto
(1982:28) mengatakan plot/alur adalah cara pengarang menjalin
kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat,
sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat dan utuh.
Plot/alur suatu cerita terdiri dari 5 bagian,
yaitu:
a. Pemaparan
atau pendahuluan, yakni bagian cerita tempat pengarang mulai melukiskan suatu
keadaan yang merupakan awal cerita.
- Penggawatan, yakni bagian yang melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak.
- Penanjakan, yakni bagian cerita yang melukiskan konflik-konflik mulai memuncak.
- Puncak atau klimaks, yakni bagian yang melukiskan peristiwa mencapai puncaknya. Bagian ini dapat berupa bertemunya dua tokoh yang sebelumnya saling mencari, atau dapat pula berupa terjadinya “perkelahian” antara dua tokoh yang sebelumnya digambarkan saling mengancam.
- Peleraian, yakni bagian cerita tempat pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi dalam cerita atau bagian-bagian sebelumnya.
4. Latar/Setting
Latar/Setting
yaitu tempat atau waktu terjadinya cerita. Kegunaan latar atau setting
dalam cerita, biasanya bukan hanya sekedar sebagai petunjuk kapan dan dimana
cerita itu terjadi, melainkan juga sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang
ingin diungkapkan pengarang melalui ceritanya tersebut (Suharianto, 1982:32)
7
Nurgiyantoro
(2000:230) mengatakan unsur-unsur setting dibedakan menjadi tiga unsur
pokok, yaitu setting tempat, setting waktu dan setting
sosial. Setting tempat adalah settingyang menggambarkan
lokasi atau tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi. Setting waktu adalah setting yang berhubungan dengan
masalah “kapan” waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi. Setting sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Setting sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat
istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan dengan status sosial tokoh yang
bersangkutan dalam sebuah cerita.
5.
Sudut Pandang
Sudut
pandang atau point of view adalah cara pengarang menampilkan para
pelaku dalam cerita yang dipaparkannya (Aminuddin, 2004:90). Sudut pandang
merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita
dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams dikutip Nurgiyantoro, 2000:24).
Menurut
Suharianto (1982:36) ada beberapa jenis pusat pengisahan, yaitu:
a.
Pengarang sebagai pelaku utama
cerita. Dalam cerita dengan jenis pusat pengisahan ini, tokoh akan menyebut
dirinya sebagai aku. Jadi seakan-akan cerita tersebut merupakan kisah
atau pengalaman diri pengarang.
b.
Pengarang ikut main, tetapi bukan
pelaku utama. Dengan kata lain, sebenarnya cerita tersebut merupakan kisah
orang lain, tetapi pengarang terlibat di dalamnya.
8
c.
Pengarang serba hadir. Dalam
cerita pengisahan jenis ini, pengarang tidak berperan apa-apa. Pelaku utama
cerita tersebut orang lain; dapat dia atau kadang-kadang menyebutkan
namanya, tetapi pengarang serba tahu apa yang akan dilakukan atau bahkan apa
yang ada dalam pikiran pelaku cerita.
d.
Pengarang peninjau. Pusat
pengisahan ini hampir sama dengan jenis pengarang serba hadir. Bedanya pada
cerita dengan pusat pengisahan jenis ini, pengarang seakan-akan tidak tahu apa
yang akan dilakukan pelaku cerita atau apa yang ada dalam pikirannya. Pengarang
sepenuhnya hanya mengatakan atau menceritakan apa yang dilihatnya.
6.
Gaya Bahasa
Nurgiyantoro
(2000:272) berpendapat bahwa, bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan
cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah
untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada sekedar
bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra.Lebih lanjut,
Suharianto (1982:26) menyatakan bahwa, betapa besar peran bahasa dalam sebuah
cerita, pastilah semua orang mengakuinya.
Dalam
karya sastra, istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual
dan emosi pembaca. Sejalan dengan pendapat di atas, Scharbach menyebut gaya
“sebagai hiasan, sesuatu yang suci, sebagai sesuatu yang indah dan lemah
gemulai serta sebagai perwujudan manusia itu sendiri (Aminuddin, 2004:72)
9
Bentuk-bentuk
gaya bahasa dapat berupa majas. Pemajasan yang banyak dipergunakan pengarang
adalah bentuk perbandingan atau persamaan, yaitu membandingkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya, misalnya yang
berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah laku dan lain-lain.
Bentuk perbandingan tersebut dilihat dari sifat kelangsungan pembandingan
persamaannya dapat dibedakan ke dalam bentuk simile, metafora, dan
personifikasi (Nurgiyantoro, 2000:298).
7.
Amanat
Amanat
merupakan pesan atau hikmah yang dapat diambil dari sebuah cerita untuk
dijadikan sebagai cermin maupun panduan hidup. Melalui cerita, sikap dan
tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari
pesan-pesan moral yang disampaikan dan yang diamanatkan (Nurgiyantoro,
2000:322).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Strukturalisme
adalah cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan
tanggapan dan deskripsi unsur dalam suatu karya sastra (cerpen, novel, roman
dan sebagainya). Dalam menganalisis strukturalisme suatu karya sastra, hanya
memusatkan perhatian pada unsur intrinsik sebagai unsur pembangun karya sastra.
Unsur intrinsik, yaitu tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang,
gaya bahasa dan amanat. Kajian strukturalisme hanya memperhatikan unsur
intrinsik, karena strukturalisme tergolong pendekatan objektif dalam teori
kritik sastra. Adapun tahap-tahap
dalam menganalisis strukturalisme meliputi objek analisis, sumber data, teknik pengumpulan
data, teknik
pengolahan data, dan teknik penyimpulan
data.
B. Saran
Diharapkan
mahasiswa/i Prodi Pendidikan Bahasa adan Sastra Indonesia dapat memanfaatkan
makalah ini sebaik-baiknya untuk menambah pengetahuan serta wawasan tentang
analisis struktural karya sastra, namun kami sebagai penyusun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
10
DAFTAR PUSTAKA
11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar