
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Nilai
Pendidikan Karakter dalam Cerita Rakyat
Dayak
Salako Garantukng Sakawokng
Hendrasius1), Mardian2),
Safrihady3)
1.
Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Singkawang,
2.
Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Singkawang,
E-mail: mardiandeeza@gmail.com
3.
Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Singkawang,
E-mail:Safrihady@gmail.com
![]() |
ABSTRAK. Tujuan
penelitian ini mendeskripsikan nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat
Dayak Salako Garantukng Sakawokng,
yang berhubungan dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan. Metode yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan moral. Sumber data berupa cerita
rakyat yang dituturkan oleh penduduk asli Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Data penelitian berupa kutipan kata, kalimat,
ataupun paragraf yang mengandung nilai pendidikan karakter. Teknik pengumpul
data menggunakan teknik simak libat cakap, teknik rekam, teknik catat. Alat
pengumpul data meliputi human instrument,
alat perekam, dan kartu data. Teknik analisis data meliputi: transkripsi,
membaca secara cermat, klasifikasi, analisis, dan menyimpulkan. Uji keabsahan
data meliputi kecukupan referensial, triangulasi, dan ketekunan
pembaca/keajegan. Simpulan, nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam
cerita Dayak Salako Garantukng Sakawokng
yang berkaitan dengan hubungan dan kewajiban manusia terhadap Tuhan, terdapat 4
nilai karakter yang meliputi: sikap saleh sebanyak 3 data, iman dan takwa
sebanyak 3 data, syukur sebanyak 3 data, dan dapat menghormati Sang Pencipta
sebanyak 2 data.
![]() |
Kata Kunci: Nilai Karakter; Kewajiban; Dayak Salako
Garantukng Sakawokng.
I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu upaya
sadar dan sistematis untuk mengembangkan potensi yang ada pada generasi muda.
Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berkesinambungan
dengan tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, “Mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.” Tujuan negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dapat ditempuh melalui jalur pendidikan.
Pemerintah sebagai pengemban
sekaligus pemegang kekuasaan, telah berupaya membenahi dan meningkatkan mutu
pendidikan. Upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mengembangkan
pendidikan, diantaranya memberikan dana bantuan operasional sekolah. Bantuan
tersebut diperuntukkan bagi sekolah-sekolah yang ada di daerah, terutama
sekolah yang ada di wilayah pinggiran maupun pelosok. Tujuannya untuk membantu
meringankan beban sekolah yang memiliki keterbatasan dalam penyediaan fasilitas
seperti sarana dan prasarana serta meningkatkan mutu pendidikan.
Pendidikan tidak sebatas terfokus
pada kemampuan kognitif saja, tetapi juga memperhatikan kemampuan afektif dan
psikomotorik. Ketiga aspek tersebut harus seimbang, agar menghasilkan output yang berkarakter. Kemampuan
kognitif, afektif dan psikomotorik dapat dikembangkan melalui pendidikan
karakter. Pendidikan karakter merupakan upaya dalam mendukung program
pemerintah dalam menghasilkan generasi muda yang cerdas dan berakhlak mulia.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh mengatakan bahwa “Pembangunan karakter dan pendidikan karakter
menjadi keharusan, pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik cerdas, akan
tetapi membangun budi pekerti dan sopan santun dalam kehidupan nyata di
masyrakat” (Sopiani, 2014:2). Pendidikan diharapkan dapat menjadi penggerak
dalam mengedukasi generasi muda agar lebih berkarakter sesuai harapan
masyarakat, terutama pendidikan karakter.
Pembangunan karakter yang merupakan
upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatar belakangi oleh
realita yang terjadi pada generasi muda saat ini. Pemerintah melalui Departemen
Pendidikan Nasional, merancang adanya kurikulum 2013 yang memprioritaskan
tentang pendidikan karakter. Menurut Winton (dalam Samani dan Hariyanto,
2013:43) pendidikan karakter didefinisikan sebagai upaya sadar dan sungguh-sungguh
dari seorang guru, untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswa. Pendidikan
karakter menjadi motor penggerak pendidikan yang mendukung pengembangan sosial,
pengembangan emosional, dan pengembangan etika pada siswa. Pendidikan karakter
bertujuan membentuk generasi bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,
bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,
berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dijiwai oleh iman dan takwa
kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Menurut Syaiful Anam (dalam Barnawi
dan M. Arifin, 2015:25) ciri-ciri manusia yang berkarakter yaitu; sadar sebagai
makhluk ciptaan Tuhan, cinta Tuhan, bermoral, bijaksana, pembelajar sejati,
mandiri, dan kontributif. Fathul Mu’in (dalam Barnawi dan M. Arifin, 2015:25)
menyatakan bahwa sikap atau karakter dapat semakin kokoh apabila didukung rasa
penghormatan, tanggung jawab, kesadaran berwarganegara, berkeadilan dan
berkejujuran, berkepedulian dan kemauan berbagi, serta rasa kepercayaan yang
tinggi.
Pendidikan karakter dinilai belum
memuaskan dan berperan lebih maksimal oleh sebagian masyarakat. Menurut Barnawi
dan M. Arifin (2015:31), pendidikan karakter belum memuaskan disebabkan oleh:
1.
Minimnya
pemahaman orangtua dalam memberikan pendidikan karakter bagi putra-putrinya,
seperti diketahui bahwa 86% waktu anak dihabiskan bersama orangtua di rumah,
hanya 16% waktu anak di sekolah dan sisanya sebagian besar di luar sekolah.
2.
Ketika
menginjak remaja, siswa dihadapkan pada lingkungan yang sibuk, miskin, pola
masyarakat yang pragmatis, hedonis, konsumtif, dan acuh tak acuh.
3.
Pada
fase dewasa ketika bernalar kritis mulai berkembang, individu dihadapkan pada
berbagai sandiwara hukum, kebohongan publik, KKN, dan kemunafikan terstruktur
sehingga mereduksi rasa percaya pada masyarakat atas hukum terutama birokrat
dan pejabat publik.
Fenomena tersebut menyebabkan
sulitnya pembentukan, pengembangan, dan pemantapan karakter di sekolah. Oleh
karena itu, penanaman nilai karakter di sekolah harus dioptimalkan, guru
sebagai pendidik memegang peranan terhadap keberhasilan pembentukan karakter
peserta didik.
Lickona (dalam Barnawi dan M.
Arifin, 2015:12) berpendapat bahwa pendidikan karakter harus dilaksanakan
disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1.
Meningkatnya
kekerasan di kalangan remaja/masyarakat;
2.
Penggunaan
bahasa dan kata-kata yang tidak sesuai/tidak sopan;
3.
Pengaruh
peer-group (geng) dalam tindak
kekerasan menguat;
4.
Meningkatnya
perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas;
5.
Semakin
kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
6.
Etos
kerja yang menurun;
7.
Semakin
rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru;
8.
Rendahnya
rasa tanggung jawab individu dan kelompok;
9.
Budaya
berbohong/ketidakjujuran;
10. Rasa saling curiga dan
kebencian antar sesama.
Pelaksanaan pendidikan karakter
perlu didukung oleh semua pihak demi meminimalisir tindak kenakalan remaja
maupun kriminalitas yang terjadi di masyarakat.
Di era globalisasi yang terus
berkembang, nilai luhur karakter bangsa mulai menurun oleh adanya hedonism di
kalangan remaja yang memperburuk citra generasi muda dan bersifat negatif.
Untuk membendung agar pengaruh negatif tersebut tidak meluas maka dilakukan
pembinaan dan pengawasan melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter
diharapkan mampu berperan lebih maksimal, dan merupakan langkah awal dalam
memperbaiki karakter generasi bangsa yang telah terpengaruh dengan budaya yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu hendaknya,
pendidikan karakter diterapkan sejak dini dari tingkat pendidikan Taman
kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menegah maupun Perguruan Tinggi.
Character
Education Partnership
(dalam Barnawi dan M. Arifin, 2015: 34-41) menetapkan sebelas prinsip standar
evaluasi pendidikan karakter, yaitu:
1.
Mempromosikan
nilai-nilai etis sebagai dasar karakter yang baik atau nilai-nilai yang berasal
dari ajaran agama, kearifan lokal, maupun falsafah bangsa.
2.
Mengartikan
karakter secara utuh termasuk pemikiran, perasaan, dan perilaku terkait cipta,
rasa, karsa dan karya di sekolah.
3.
Menggunakan
pendekatan yang komprehensif, bertujuan, dan proaktif untuk perkembangan
karakter.
4.
Menciptakan
suatu kepedulian terhadap masyarakat sekolah.
5.
Memberikan
para siswa peluang untuk melakukan tindakan moral.
6.
Kurikulum
akademik/mata pelajaran dikelola agar bermakna dan menantang dengan menghormati
semua peserta didik, mengembangkan kepribadiannya, dan membantu mereka agar
berhasil.
7.
Mendorong
pengembangan motivasi diri siswa.
8.
Melibatkan
staf/karyawan sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi
tanggung jawab untuk pendidikan karakter serta berupaya untuk mengikuti
nilai-nilai inti yang sama untuk memandu pendidikan para siswa.
9.
Memupuk
kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang terhadap inisiatif pendidikan
karakter.
10.
Melibatkan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
11.
Menilai
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan memperluas
kesempatan para siswa untuk menampilkan karakter yang baik.
Sekolah sebagai wadah pengembangan
pendidikan karakter diharapkan siap untuk menerapkan kesebelas prinsip standar
evaluasi pendidikan karakter agar lebih optimal. Penerapan pendidikan karakter
di sekolah, dapat dilakukan melalui pengintegrasian mata pelajaran. Pelajaran
bahasa Indonesia salah satu mata pelajaran dapat digunakan sebagai media untuk
mengintegrasikan pendidikan karakter. Di dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
terdapat pembelajaran sastra yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai
karakter. Melalui kegiatan bersastra, diharapkan siswa mampu mengekspresikan
dirinya secara langsung baik dalam drama, puisi maupun cerita. Beragam genre
sastra dapat dipergunakan dalam pengembangan pendidikan karakter, tetapi perlu
memperhatikan relevansi karya sastra tersebut dengan materi, menyesuaikan
dengan kurikulum, serta jenjang siswa yang diajar.
Genre sastra tidak hanya terbatas pada
sastra yang bersifat modern, namun genre sastra yang bersifat lokal seperti
cerita rakyat, dapat digunakan sebagai media pengintegrasian pendidikan
karakter. Cerita rakyat sebagai satu jenis sastra lisan dapat digunakan dalam
pengembangan pendidikan karakter. Cerita rakyat telah lama digunakan masyarakat
untuk menyampaikan petuah, wejangan maupun nasehat yang bersifat mendidik.
Masyarakat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng memiliki banyak cerita rakyat yang mengandung nilai pendidikan.
Masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng memiliki beragam
cerita rakyat dengan kisah yang menarik. Beberapa judul cerita rakyat yang
biasa diperdengarkan, yaitu:Pak Ai-Ai,
Pak Ampek Ngan Nek Busin, Kampo’k
Sakawonk, Dak Oko’ Si Rajo Tajo’k,
Nek Balu Ngan Ganye, Antu Pugohot, Antu Gagado’ Jongkot, Tapayot Jari’, Nek Kinoh
Ngan Nek Kupai, Si Tombe’ Muho Sehot, Nek Jabani Ngan Nek Jaberek, Pari’ Antu,
Nek Laten Ngan Ikot Kale’k, Antu Garagahasi, Nek Engko’ Ngan Nek Tarukun, Nek
Amo’k Ngan Nek Arik, Sengkot Mano’k Ngan Beber Unte’k, Da’ Re’ok Ngamin Ojot,
Pak Miok, Nek Eteng ngan Daku’ Tango’, Asal Mula Kampo’k Pakunam, Nek Kora’k Ngan Antu Empes, Si Cingkong Pangalimo
Mano’k, Baacot Ngan Antu Bantianak, Asal Mula Bukit Satime, Bukit Empes, Antu Nangkepe Bato’k Duriot, Ambot Ngan
Engko’k, Antu Panta’k Padagi, Kapalo Bagolo, Antu Jari’k, Indis Ngan Jaeje,
Antu Nek Bagora’k, dan sebagainya.
Cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng berkisah tentang
kehidupan masyarakat yang dekat dengan kehidupan alam, seperti kegiatan
bercocok tanam, berburu, hal mistik dan tradisi Kayau (memenggal kepala manusia). Setiap cerita memiliki pesan
moral dan nilai karakter yang bertujuan untuk mendidik masyarakat, agar
berperilaku sesuai aturan yang berlaku pada masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng.
Penelitian ini dilakukan karena: Pertama, untuk mengendalikan perilaku
generasi muda yang mulai jauh dari nilai luhur budaya bangsa, terutama dalam
hal sopan santun atau etika, toleransi, kerjasama, semangat belajar, kepedulian
sosial, disiplin, tanggung jawab dan sebagainya; Kedua, untuk mengetahui nilai pendidikan karakter universal yang
terlihat dalam hubungan dan kewajiban manusia terhadap Tuhan dalam cerita
rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng.Unsur kebaruan dari penelitian ini terletak
pada penekanan nilai-nilai karakter universal yang terlihat dalam hubungan
manusia dan kewajibannya terhadap Tuhan dalam cerita rakyat Dayak Salako
Garantukng Sakawokng.
II. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Dalam mengkaji nilai pendidikan
karakter dalam cerita rakyat Dayak Salako
Garantukng Sakawokng, peneliti menggunakan metode deskriptif. Menurut
Nawawi (1978:63) metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek
atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Sedangkan menurut Kothari (2008:8) “All those methods which are used by the
researcher during the course of studying his research problem are termed as
research method” Artinya semua metode yang digunakan oleh peneliti selama
proses penelitian yang dilakukan terhadap masalah yang diteliti hingga
berakhirnya penelitian yang dilakukan dinamakan sebagai metode penelitian. Dari
pendapat para ahli tersebut, peneliti menggunakan metode deskriptif yang
digunakan untuk mengetahui nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita
rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng.
B. Bentuk Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan bentuk penelitian kualitatif. Menurut Satori dan Komariah (2011:22)
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting dari
sifat suatu barang atau jasa, berupa kejadian/fenomena/gejala sosial adalah
makna dibalik kejadian tersebut yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi
pengembangan konsep teori.
Berbeda dengan pendapat Satori dan
Komariah, menurut Semi (2012:11) penelitian kualitatif adalah penelitian yang
dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman
penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris.
Pada penelitian ini, peneliti menelaah kejadian atau fenomena sosial terkait
nilai pendidikan karakter yang ada pada cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng berbentuk cerita
lisan, kemudian cerita lisan tersebut ditranskripsikan ke dalam bentuk
tulisan.
C. Pendekatan
Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan pendekatan moral. Pendekatan moral adalah pendekatan yang bertolak
dari asumsi dasar bahwa tujuan kehadiran sastra di tengah masyarakat pembaca
merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
berbudaya, berpikir, dan berketuhanan (Semi, 2012:90). Manusia sebagai makhluk
yang dibekali akal dan pikiran, mampu mengolah segala kemampuan yang dimiliki
menjadi sesuatu yang bernilai, berharga dan bermanfaat. Kreativitas manusia
dalam menciptakan suatu karya dapat dikatakan, bahwa manusia mampu meningkatkan
potensi yang dimiliki melalui upaya kreatif menciptakan hal-hal baru yang dapat
mempengaruhi kehidupan manusia secara luas.
Semi (2012:90) mengemukakan bahwa
pendekatan moral mempunyai konsepsi dan kriteria sebagai berikut.
1.
Sebuah
karya sastra yang bernilai tinggi adalah karya sastra yang mengandung nilai
moral yang tinggi, dapat mengangkat harkat dan martabat umat manusia.
2.
Dalam
memberikan ukuran baik buruk lebih menitikberatkan pada masalah isi, seperti
tema, pemikiran falsafah, dan pesan-pesan dibandingkan dengan masalah bentuk.
3.
Masalah
didaktis, yakni pendidikan dan pengajaran yang dapat mengantarkan pembaca
kepada suatu arahan tertentu.
4.
Pendekatan
moral menghendaki sastra menjadi medium perekaman keperluan zaman, yang
memiliki semangat menggerakkan masyarakat ke arah budi pekerti yang terpuji.
5.
Pendekatan
moral menempatkan karya sastra lebih dari hanya sebagai sebuah karya seni.
6.
Pendekatan
moral menganalisis juga masalah-masalah perjuangan umat manusia melepaskan diri
dari keterbelakangan dan kebodohan, berupa aspek kesejarahan pergerakan
kemajuan masyarakat dari suatu zaman ke zaman yang lain.
Melalui
konsepsi yang dikemukakan oleh Semi terkait pendekatan moral dapat disimpulkan
bahwa, setiap karya sastra yang dihasilkan memiliki nilai yang tinggi apabila
mengandung nilai moral yang sifatnya mampu mengangkat harkat dan martabat
manusia. Hal tersebut dikaitkan dengan masalah baik buruknya terhadap isi atau
pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, terutama pesan moral yang bersifat
mendidik dan memberikan pengajaran kepada pembaca. Karya sastra secara tidak
langsung memberikan arahan kepada pembaca untuk melakukan suatu tindakan baik
yang sifatnya mendidik. Semi juga berpendapat bahwa pendekatan moral
menginginkan karya sastra menjadi medium perekaman zaman, artinya suatu
kejadian yang telah terjadi dapat diungkapkan melalui sastra. Melalui perekaman
peristiwa yang diceritakan tersebut, dapat ditemukan adanya pesan atau hikmah
yang disampaikan secara tidak langsung oleh pengarang agar pembaca tidak
melakukan hal yang sama dan menjadi sebuah pelajaran baru terkait pendidikan
moral.
Semi mengungkapkan bahwa di dalam
pendekatan moral, karya sastra ditempatkan lebih dari hanya sebagai sebuah
karya seni. Karya sastra memang berbeda dengan karya seni lainnya. Karya sastra
tidak hanya sekedar memberikan hiburan, namun memberikan pengajaran yang
bermakna. Karya sastra yang menyuguhkan nilai-nilai moral mampu menggugah jiwa
dan perasaan pembaca. Oleh karena itu, pendekatan moral menempatkan karya
sastra lebih dari karya seni lainnya. Selain itu juga, pendekatan moral
menganalisis masalah perjuangan umat manusia lepas dari keterbelakangan, hal
ini menjelaskan bahwa melalui karya sastra pengarang mampu melukiskan suatu
kejadian dari masa ke masa agar diketahui oleh generasi berikutnya. Pentingnya
pendekatan moral terkait perekaman jaman agar peristiwa yang terkait sejarah
tetap terjaga keberadaannya, walaupun melalui karya sastra yang telah diolah
sedemikian rupa oleh pengarangnya.
Konsepsi dan kriteria pendekatan moral
yang dikemukakan oleh Semi, memberikan perbedaan antara pendekatan moral dengan
pendekatan lain dalam menganalisa suatu karya sastra. Oleh karena itu,
pentingnya keenam aspek tersebut perlu diperhatikan dalam pendekatan moral.
Untuk
memudahkan pengkajian suatu aspek dalam karya sastra, maka diperlukan metode
ataupun langkah-langkah yang harus dilakukan. Begitu pula dalam pendekatan
moral, menurut Semi (2012:91) metode atau langkah kerja pada pendekatan moral
sebagai berikut,
1.
Di
dalam menghadapi karya sastra yang paling pokok diperhatikan adalah isinya. Isi
yang perlu diperhatikan terdiri atas pemikiran, falsafah, dan nilai-nilai serta
tujuan dan pesan-pesan penulis.
2.
Aspek
didaktis mendapat kajian secara kritis, hal tersebut dapat dilihat melalui
kajian perwatakan peran tokoh cerita.
3.
Pembahasan
aspek moral hendaknya dibedakan dengan pembahasan moral yang berada dalam teks
sekolah. Masalah moral menjadi titik perhatian utama dan tidak mengorbankan
aspek kesastraannya. Karya sastra harus dipahami dari segi moral yang
baik/putih maupun yang buruk/hitam yang dapat dijadikan sebagai bahan
perbandingan yang menjadi ciri khas karya sastra.
4.
Pendekatan
moral memperhatikan masalah kesan dan resepsi pembaca karena yang menentukan
berfaedah atau tidak karya sastra bergantung kepada kesan dan resepsi pembaca.
Dari metode
atau langkah kerja yang dikemukakan oleh Semi tersebut, hal yang utama dalam menganalisa
suatu karya sastra adalah memfokuskan pada isi karya sastra. Di dalam isi suatu
karya sastra dapat ditemukan beragam pemikiran atau ide, falsafah masyarakat
dan nilai-nilai yang yang disampaikan terkait nilai moral, nilai budaya, nilai
spiritual dan lainnya. Jadi isi cerita sangat menentukan kualitas sebuah karya
sastra. Aspek didaktis yaitu pendidikan dan pengajaran melalui kajian
perwatakan peran tokoh cerita perlu menjadi fokus kedua dalam pendekatan moral.
Melalui perwatakan tokoh cerita, dapat diketahui seberapa besar pesan moral
yang ingin disampaikanpengarang kepada pembaca. Pengarang memiliki strategi
khusus untuk menempatkan tokoh cerita sesuai perwatakan yang dipilih.
Aspek moral
tentang baik atau burukyang merupakan pembanding karya sastra dianggap sesuatu
yang menjadi ciri khas sebuah karya sastra. Untuk membedakan antaraa karya
sastra yang beragam tentunya dapat diketahui dari ciri yang memberikan
perbedaan. Ciri tersebut dapat dilihat dari penataan inti cerita yang
disampaikan pengarang. Pengarang lebih teliti dalam menyuguhkan cerita. Setiap
alur cerita, penokohan, masalah yang diungkapkan terkait isi cerita ditampilkan
secara lebih dan hal ini menjadi ciri khas atau pembeda dengan karya sastra
lainnya.
Semi juga
mengungkapkan bahwa kesan pembaca terhadap karya sastra yang telah dibaca
sangat berpengaruh terhadap penilaian suatu karya sastra. Manfaat suatu karya
sastra ditentukan seberapa jauh pembaca mampu mengapresiasi karya sastra yang
dibacanya. Pembaca merasa berkesan dan terpuaskan dengan membaca karya yang
dianggap bernilai lebih.Pembaca sebagai penikmat karya sastra tidak dapat
dipisahkan begitu saja, pembaca turut andil dalam kemajuan dan perkembangan
karya sastra. Oleh karena itu, pembaca lebih teliti dalam memilih dan menentukan
jenis karya sastra yang dianggap layak untuk dibaca. Dapat disimpulkan bahwa
dalam pendekatan moral terdapat metode atau langkah kerja, yaitu berfokus pada
isi cerita, aspek didaktis, aspek moral, dan perhatian pada masalah kesan dan
resepsi pembaca sebagai penikmat karya sastra.
Selain memiliki konsepsi dan
kriteria serta metode atau langkah kerja, pendekatan moral memiliki kekuatan
dan kelemahan. Menurut Semi (2012:91) kekuatan pendekatan moral terletak pada
upaya yang menganggap karya sastra sebagai karya yang lebih memperhatikan
masalah nilai-nilai, pemikiran, dan falsafah hidup yang membawa manusia menuju
ke arah kehidupan yang lebih bermutu. Dasar pemikiran Semi mengenai pendekatan
moral yang lebih menekankan bahwa nilai, dasar pemikiran dan falsafah dalam
karya sastra mampu membuat pola pikir pembaca berubah. Pembaca lebih tertarik
terhadap karya sastra yang dianggap memiliki nilai tertentu. Nilai tersebut
membuat pembaca menjadi tertarik untuk melakukan arahan atau sesuatu yang
sifatnya mengajak.Selain itu, dasar pemikiran yang menjadikan karya sastra
tersebut lebih berbobot, yaitu mampu memberi memberikan inspirasi bagi pembaca.
Pembaca mendapatkan sesuatu yang baru dari karya sastra yang dibaca, terutama
hal-hal baru yang membawa ke arah kehidupan yang lebih baik.
Menurut Semi (2012:92) pendekatan
moral memiliki kelemahan, yaitu:
1.
Berkecenderungan
untuk melengahkan masalah bentuk dengan lebih banyak memperhatikan aspek isi,
2.
Sukar
sekali merumuskan konsep moral karena pengertian moral bisa berubah-ubah dan
tidak sama bagi setiap orang dan pada setiap waktu,
3.
Pendekatan
moral berkecenderungan untuk menjurus kepada ukuran nilai moral keagamaan, dan
4.
Terdapat
kemungkinan mengidentikkan hal yang dilukiskan pengarang dalam karyanya dengan
sikap hidup beragama pengarang.
Pendapat Semi mengenai kelemahan
pendekatan moral bahwa pada dasarnya seorang pengarang lebih melengahkan
masalah yang berkaitan dengan bentuk karya sastra. Melengahkan masalah bentuk
yang di maksud yaitu, pengarang lebih mengutamakan aspek isi dibandingkan
hal-hal yang mendukung karya sastra seperti struktur cerita, alur cerita, gaya
bahasa dan lainnya yang merupakan bagian penting dalam karya sastra. Pengarang
lebih mengutamakan aspek isi yang merupakan inti dari cerita. Adanya
pengecualian terhadap bentuk karya sastra, menyebabkan sastra akan mengalami
kekurangan. Unsur bentuk dan aspek isi seharusnya sejalan, akan tetapi
pengarang lebih menyoroti masalah isi yang berkenaan dengan pesan moral,
sehingga bentuk karya sastra dilengahkan/diacuhkan.
Perumusan konsep moral yang selalu
berubah terkait pengertian moral yang berbeda pada setiap orang merupakan
kelemahan dalam pendekatan moral. Pada dasarnya pengertian konsep moral pada
setiap orang berbeda. Perbedaan konsep moral menjadi suatu permasalahan dalam
upaya menafsirkan pesan yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Adanya
kesalahan penafsiran dalam pesan moral dapat berdampak negatif terhadap karya
sastra itu sendiri. Selain itu, konsep moral biasanya dikaitkan dengan akhlak
yang merupakan bagian dari ukuran nilai moral keagamaan. Konsep moral keagamaan
dalam pendekatan moral menyebabkan karya sastra dianggap sebagai jurang pemisah
antara penikmat sastra yang tergolong religius dan Atheis. Selain itu,
pengarang mengidentikan karyanya dengan sikap hidup beragama. Hal ini
menjadikan sebuah karya sastra identik dengan agama tertentu.
Dari penjabaran di atas, juga dukung
oleh pendapat Semi, dapat disimpulkan bahwa kelemahan pendekatan moral terletak
pada masalah isi, pengertian konsep moral, kecenderungan menjurus kepada ukuran
nilai moral keagamaan, dan identiknya karya sastra dengan kehidupan beragama
pengarang.
D. Sumber Data
dan Data
Sumber data dan data merupakan dua hal
yang menjadi bahan pertimbangan dalam memilih masalah penelitian. Sumber data
merupakan hal yang berkenaan dengan siapa, apa, bagaimana, dan mengapa terkait
pemerolehan data. Data merupakan bahan jadi yang berasal dari sumber data.
Sumber data dan data dalam penelitian ini, dijabarkan sebagai berikut:
1. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini adalah
cerita rakyat yang dituturkan oleh seorang informan dari masyarakat asli Dayak
Salako Garantukng Sakawokng. Informan
yang menuturkan cerita tidak sekedar hanya mampu bercerita, akan tetapi harus
memenuhi kualifikasi khusus sebagai informan yang akan memberikan informasi
secara akurat. Menurut pendapat Mahsun (2007:141) syarat seorang informan yang
harus dipenuhi, yaitu:
a.
Berjenis
kelamin pria atau wanita;
b.
Berusia
antara 25-65 tahun (tidak pikun);
c.
Orangtua,
istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu serta jarang atau
tidak pernah meninggalkan desanya;
d.
Berpendidikan
maksimal tamat pendidikan dasar (SD-SLTP);
e.
Berstatus
sosial menengah (tidak rendah atau tidak tinggi) dengan harapan tidak terlalu
tinggi mobilitasnya;
f.
Pekerjaan
bertani atau buruh;
g.
Memiliki
kebanggaan terhadap isoleknya;
h.
Dapat
berbahasa indonesia, dan
i.
Sehat
jasmani dan rohani.
Berbeda dengan Mahsun, menurut
Endraswara (2013:154) perekaman bahan-bahan lisan dapat menggunakan model Von Sydow tentang “active bearers of traditions” (pemikul kebudayaan aktif) dan “passive bearers of traditions” (pemikul
kebudayaan pasif). Pemikul kebudayaan
aktif adalah orang-orang yang aktif menerima dan mengembangkan sastra lisan,
seperti dalang Jemblung, dalang Kentrung dan pendongeng. Sedangkan
pemikul kebudayaan pasif merupakan orang-orang yang berperan sebagai pendengar,
penonton, dan pengamat.
2. Data
Data adalah bahan penelitian, bahan
yang di maksud merupakan bahan jadi, dari bahan itulah obyek penelitian dapat
dijelaskan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data kualitatif. Menurut
Nawawi, (1987:97) data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk
kalimat ataupun uraian. Untuk data kualitatif yang ada dalam penelitian ini,
penulis mengambil data berupa kutipan kata, kalimat, ataupun paragraf yang
mengandung nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng yang meliputi:
nilai pendidikan karakter yang berhubungan dengan kewajiban manusia terhadap
Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, serta alam lingkungan.
E.
Teknik dan Alat Pengumpul Data
1. Teknik Pengumpul Data
Teknik
pengumpulan data merupakan suatu langkah untuk mendapatkan data. Adapun teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a.
Teknik
Simak Libat Cakap
Menurut Sudaryanto (1993:134) dalam
teknik simak libat cakap, peneliti sebagai alat yang dapat dilibatkan secara
langsung dalam membentuk dan memunculkan calon data. Peneliti melakukan
penyadapan dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam
pembicaraan, dan menyimak informan. Peneliti terlibat langsung dalam proses
dialog bersama informan, yaitu Ibu Adriana (Tin ting) binti Agato Nyurai dan
Ibu Halimah (Ayang) binti Usup Nyabukng pada lokasi dan waktu yang berbeda.
b.
Teknik
Rekam
Menurut
Muhammad (2011:210) dalam teknik rekam, peneliti melakukan perekaman
menggunakan alat rekam yang telah dipersiapkan. Teknik rekam bertujuan untuk
merekam semua aktivitas dialog atau penuturan oleh informan terkait informasi
yang diberikan. Selain itu, perekaman bertujuan untuk mengawetkan data untuk
ditranskripkan ke bentuk tulisan dan menghindari terlewatnya data-data yang
dianggap penting. Dalam penelitian ini, penulis merekam semua percakapan pada
situasi yang berbeda dengan menggunakan alat perekam berupa hand phone Nokia N70.
c.
Teknik
Catat
Menurut Sudaryanto (1993:135) dalam teknik catat, peneliti
melakukan pencatatan menggunakan alat tulis tertentu untuk mencatat informasi
yang mendukung. Informasi yang dianggap penting dicatat secara ringkas
tujuannya untuk membandingkan dan memperjelas terkait penggunaan teknik
sebelumnya. Pencatatan dilakukan pada kartu data yang telah disediakan, untuk
selanjutnya dilakukan pengklasifikasian data berdasarkan kelompoknya
masing-masing.
2. Alat Pengumpul
Data
Sesuai dengan teknik pengumpulan data
yang telah ditetapkan, maka diperlukan alat pengumpul data yang sesuai dengan
teknik dan jenis data yang hendak diperoleh. Adapun alat pengumpul data dalam
penelitian ini, yaitu:
a.
Human Instrument
Peneliti
sebagai human Instrument berfungsi
sebagai alat untuk mengumpulkan data-data yang disampaikan secara langsung oleh
informan. Keterlibatan langsung peneliti dalam percakapan yang dilakukan dengan
menyimak secara cermat setiap penuturan yang disampaikan. Peneliti memahami,
menafsirkan sendiri setiap data yang dituturkan oleh informan.
b.
Alat
Perekam
Peneliti
menyiapkan alat perekam yang digunakan untuk merekam proses penuturan yang
dilakukan oleh informan. Alat perekam digunakan bertujuan untuk mengawetkan
data, agar data tetap utuh ketika proses analisis dilaksanakan. Adapun alat
perekam yang digunakan pada penelitian ini adalah hand phone Nokia N70.
c.
Kartu
Data
Kartu data
digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan klasifikasi data yang telah
ditetapkan. Pada penelitian ini, kartu data digunakan setelah data
ditranskripsikan dalam bentuk tulisan. Data yang di input pada kartu data berupa, kata, kalimat, maupun paragraf dalam
bahasa Dayak Salako Garantukng Sakawokng.
Penggunaan kartu data bertujuan untuk mengklasifikasikan data berdasarkan nilai
karakter manusia yang berhubungan dengan kewajiban terhadap Tuhan pada cerita
rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng.
Kartu data yang digunakan sebagai alat pengumpulan data pada penelitian,
sebagai berikut:
Tabel. 1 Kartu Data Nilai Pendidikan Karakter yang
berhubungan dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan
No
|
Wujud
Nilai Karakter
|
Jumlah
Data
|
No. Urut Cerita
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kartu data digunakan sebagai alat untuk memudahkan penulis
dalam mengumpulkan data berdasarkan hubungan dengan kewajiban manusia terhadap
Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa serta alam lingkungan.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan
uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2014:280).
Teknik analisis data dalam penelitian
ini meliputi:
1.
Transkripsi
Peneliti
mentranskripsikan hasil percakapan ke bentuk tulisan, selanjutnya penulis
melakukan reduksi data atau menghilangkan data yang tidak diperlukan pada hasil
rekaman atau data kosong, seperti rekaman kurang jelas karena suara gemuruh
ataupun suara informan yang kurang jelas karena jarak yang terlalu jauh saat
proses pengambilan data.
2.
Membaca
Secara Cermat
Pada tahap ini, peneliti membaca
secara cermat hasil transkripsi cerita rakyat dalam Bahasa Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Setiap kata,
kalimat maupun paragraph, dibaca dan dipahami dengan saksama agar tidak terjadi
kekeliruan pada tahap pengklasifikasian data.
3.
Klasifikasi
Peneliti mengklasifikasi data
berupa kata, kalimat ataupun paragraf yang mengandung nilai-nilai pendidikan
karakter terkait hubungan dan kewajiban manusia terhadap Tuhan, diri sendiri,
keluarga, masyarakat dan bangsa, serta alam lingkungan yang terdapat dalam
cerita rakyat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng.
4.
Analisis
Peneliti melakukan analisis
terhadap data yang telah diklasifikasi sesuai nilai pendidikan karakter yang
telah ditetapkan, yaitu nilai pendidikan karakter yang berhubungan dengan
kewajiban manusia dengan Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa,
serta alam lingkungan berdasarkan kutipan kata, kalimat atau paragraf yang
terdapat dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng.
5.
Menyimpulkan
Peneliti memberikan simpulan terhadap
data yang telah dianalisis, terkait nilai pendidikan karakter yang ada dalam
cerita rakyat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng. Data yang disimpulkan merupakan data akhir yang siap untuk dilaporkan.
G. Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data dalam penelitian
ini, yaitu:
1.
Kecukupan
Referensial
Kecukupan
referensial digunakan peneliti dalam pengecekan keabsahan data. Menurut Moleong
(2014:334), kecukupan referensial adalah adanya pendukung untuk membuktikan
data yang telah ditemukan oleh peneliti. Kecukupan referensial yang digunakan
yaitu, berupa data percakapan yang didukung oleh hasil rekaman percakapan
bersama informan.
2.
Triangulasi
Peneliti
melakukan triangulasi sebagai cara untuk memeriksa keabsahan data. Menurut
Moleong (2014:330), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu. Pada triangulasi, dilakukan teknik
pemeriksaan yang memanfaatkan sumber, metode, penyidik, dan teori. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode.
3.
Ketekunan
Pembaca/Keajegan
Ketekunan
pembaca dilakukan peneliti untuk memeriksa keabsahan data. Menurut Moleong
(2014:329), ketekunan pembaca berarti teknik pemeriksaan keabsahan data
berdasarkan ketekunan peneliti dalam melakukan kegiatan pengamatan mencari
secara konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses
analisis yang konstan atau tentatif. Ketekunan pembaca bertujuan untuk
menemukan ciri-ciri dan unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan
persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal
tersebut secara rinci dan mendalam.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada
bagian ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang berisi pemaparan data
berupa kutipan-kutipan yang mengandung nilai pendidikan karakter yang terdapat
dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng. Adapun, hasil dan pembahasan dipaparkan sebagai berikut.
1.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan terhadap cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng, nilai pendidikan karakter yang berhubungan
dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan, terdiri atas 4 nilai karakter dengan
jumlah data sebanyak 11 data. Pada nilai karakter sikap saleh terdapat 3 data
pada judul cerita Antu Pagayo Idup dan Nek Karantiko. Nilai karakter iman dan
takwa terdapat 3 data pada judul cerita Antu
Pagayo Idup. Nilai karakter syukur terdapat 3 data pada judul cerita
Antu Pagayo Idup dan Nek Karantiko.
Nilai karakter dapat menghormati Sang Pencipta terdapat 2 data pada judul
cerita Antu Pagayo Idup dan Nek Karantiko.
2. Pembahasan
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, maka pembahasan nilai pendidikan yang
berhubungan dengan Kewajiban Manusia terhadap Tuhan dalam Cerita Rakyat Dayak
Salako Garantukng Sakawokng
dijabarkan pada analisis kutipan berikut.
a.
Cerita Antu Pagayo Idup
1) Sikap Saleh (Devout)
Nilai
karakter sikap saleh memiliki makna mencurahkan segala perhatian untuk
bertindak berdasarkan ketaatan kepada ajaran agama atau pemenuhan terhadap
kewajiban-kewajiban agama, tulus, ikhlas. Sikap saleh dapat diwujudkan melalui
kehidupan sehari-hari manusia seperti menjalankan ibadah agama terutama segala
yang diperintah sesuai ajaran agama. Sikap saleh memberikan manfaat dalam
pembentukan karakter manusia, terutama untuk membimbing ke arah yang lebih
baik. Dengan hidup saleh, manusia akan lebih mendekatkan dirinya kepada Sang
Maha Pencipta dengan menjalankan segala kewajibannya sebagai bagian dari
tuntunan ke arah kesempurnaan.
Berdasarkan
penjelasan di atas nilai pendidikan karakter mengenai sikap saleh yang terdapat
dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng terdapat pada kutipan berikut.
“Waktu mok bahanyikan, biaso sambayang ka umo, baharek boh. Bapadoh mebetok padi,” (1)
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa pada zaman dahulu ketika musim panen tiba, biasanya
masyarakat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng melakukan ritual sembahyang. Ritual tersebut diadakan di
tengah-tengah ladang atau huma. Hal ini dilakukan sebagai tanda permohonan izin
untuk memanen padi kepada Jubato Angit atau Sang Maha Kuasa. Ritual
sembahyang dianggap sebagai suatu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh
masyarakat sepanjang tahun, tatkala musim panen padi tiba.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, ritual Sembahyang padi dilakukan oleh masyarakat Dayak
Salako Garantukng Sakawokng
menunjukkan adanya sikap saleh yang diwujudkan sebagai tanda ketaatan dan
penghormatan kepada Sang Maha Pencipta. Pada kutipan “biaso sambayang” artinya ‘sembahyang yang biasa dilaksanakan’
menandakan bahwa masyarakat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng, sejak lama melakukan ritual sembahyang yang ditujukan kepada
kepada sang maha Pencipta. Perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan hal baik
yang dapat dilakukan manusia dan merupakan contoh bentuk sikap saleh yang dapat
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, ritual sembayang padi
dianggap sebagai suatu kewajiban masyarakat yang harus dilaksanakan secara
tulus hati dan ikhlas.
2) Iman dan Takwa
Iman dan takwa memiliki makna kepercayaan yang tinggi
terhadap adanya Tuhan Sang Maha Pencipta dengan berbuat sesuai perintah dan
tuntunan-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Nilai karakter iman dan takwa
diharapkan dapat membentuk seseorang untuk hidup selalu beriman dengan menaruh
kepercayaannya dan berpegang teguh kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Takwa
kepada Sang Maha Pencipta diwujudkan manusia dengan melakukan segala perintah
dan menjauhi segala yang menjadi larangan-Nya, sesuai yang dianjurkan oleh
kitab suci ataupun ajaran agama.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, nilai pendidikan karakter mengenai iman dan takwa yang
terdapat dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng terdapat pada kutipan berikut.
“Waktu mok bahanyikan, biaso sambayang ka umo, baharek boh.
Bapadoh mebetok padi,” (1)
Kutipan
tersebut menjelaskan, zaman dahulu ketika hendak memetik hasil panen padi,
biasanya masyarakat mengadakan ritual (nyagohot)
atau sembahyang padi yang dilakukan di ladang (umo motout) sebagai wujud permohonan ijin kepada Jubata atau Sang Maha Pencipta.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, wujud nilai karakter yang ditunjukan melalui kebiasaan
menjalankan ritual atau sembahyang pada kutipan “biaso sambayang” artinya ‘sembahyang biasa dilaksanakan’ oleh
masyarakat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng, mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki suatu bentuk
kepercayaan atau beriman, yaitu kepada Jubata
atau Sang Maha Pencipta. Iman tersebut tampak dari adanya pengakuan kepada Jubata sebagai Sang Maha Pencipta yang
telah menciptakan manusia serta segala makhluk yang harus dipuja maupun
disembah. Pengakuan tersebut menunjukkan adanya nilai takwa yang
dimanifestasikan melalui ritual yang dilakukan oleh masyarakat di tengah ladang
(umo motout). Ritual tersebut
merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh para leluhur melalui ajaran
kepercayaan masyarakat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng. Perbuatan tersebut baik untuk ditiru oleh manusia, karena dengan
beriman kepada Sang Pencipta, manusia akan menemukan rasa ketenangan dan
perlindungan sehingga manusia akan melakukan hal-hal baik dan bermanfaat sesuai
anjuran Sang Pencipta. Hal tersebut diperjelas dengan kutipan berikut.
“Pas sambayang padi dibarek
sajian, antek (karake’, pinang, kapur), tumpi’, poe’, buah-buahan, pokok dibarek sajianlah ka tangoh umo,” (2)
Kutipan
tersebut menjelaskan, ketika ritual dilaksanakan turut pula disertakan sesajen
yang terdiri atas: Antek yang
berisikan daun sirih, pinang, kapur, kue cucur, lemang dan segala macam buah hasil pertanian. Benda sesajen
diletakkan di tengah ladang (ka tangoh
umo motout).
Berdasarkan
penjelasan tersebut, wujud nilai karakter beriman terlihat dari kebiasaan
masyarakat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng melakukan sembahyang padi. Ritual sembahyang padi menunjukkan
adanya interaksi manusia dengan Sang Maha Pencipta. Wujud interaksi
dimanifestasikan melalui doa (sarapok)
maupun sesajen yang dipersembahan pada kutipan “dibarek sajian” artinya ‘diberi sesajen’. Adanya hal tersebut,
menunjukkan adanya iman manusia kepada Sang Maha Pemurah yang telah memberikan
kelimpahan (kalimpohot) dan berkah (barakat). Bentuk ketakwaan manusia
kepada Sang Maha Pencipta ditunjukkan dengan pemberian sesajen saat ritual.
Persembahan yang diberikan, sebagai wujud ketakwaan manusia kepada Jubata atau
Sang Maha Pencipta. Adanya hal tersebut mengindikasikan, bahwa masyarakat Dayak
Salako Garantukng Sakawokng melakukan
hal yang dianjurkan sesuai ajaran kepercayaan leluhurnya. Perbuatan tersebut
merupakan hal baik yang dapat manusia lakukan, namun pemberian sesajen dapat
diganti dengan hal-hal yang lebih bermanfaat seperti membawa kitab suci,
kemudian kitab suci tersebut dibaca, direnungkan isinya dan dilakukan sesuai
apa yang telah diajarkan sehingga hal tersebut dapat bermanfaat bagi manusia
dan dapat mempererat hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta.
3)
Syukur
Syukur
memiliki makna mewujudkan rasa
berterima kasih kepada Tuhan dengan perilaku yang semakin meningkatkan iman dan
takwa atas segala kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan. Syukur merupakan
perilaku yang ditunjukkan manusia sebagai tanda terima kasih berupa ucapan,
tindakan maupun sesuatu yang tertuju kepada Sang Maha Pencipta atas
pemeliharaan-Nya. Rasa syukur yang ditunjukkan manusia menandakan iman dan
takwa yang dimiliki semakin meningkat. Oleh karena itu rasa syukur harus tetap
terpelihara dalam kehidupan manusia dan diwujudkan secara nyata. Nilai karakter
syukur yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawok seperti pada kutipan berikut.
“Pas sambahyang padi dibarek sajian, antek (karakek, pinang, kapur), tumpik, poek,
buah-buahan, pokok dibarek sajianlah ka tangoh umo,” (2)
Kutipan tersebut menjelaskan, ketika ritual dilaksanakan
disertakan pula sesajen yang terdiri atas Antek
yang berisi daun sirih, pinang, kapur, kue cucur, lemang dan segala macam buah
hasil pertanian dan kemudian diletakkan di tengah-tengah ladang (umo motout).
Dari penjelasan tersebut, bentuk nilai syukur yang
diwujudkan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng yaitu dengan mempersembahkan sesajen yang terdiri atas berbagai
jenis makanan dan buah-buahan pada kutipan “dibarek
sajian, antek (karakek, pinang, kapur), tumpik, poek, buah-buahan, pokok i-barek
sajianlah i-barek sajian, antek (karakek, pinang, kapur), tumpik, poek,
buah-buahan, pokok dibarek sajianlah.” Tujuannya untuk mengungkapkan rasa
syukur kepada Jubato atau Sang Maha
Pencipta. Adanya sesajian yang dipersembahkan menandakan adanya rasa hormat
manusia kepada Sang Maha Pencipta, hal tersebut merupakan hal yang baik dan
dapat dilakukan oleh manusia terutama dalam pembentukan karakter pada generasi
muda sehingga generasi muda dapat bersyukur atas segala anugerah yang telah
diberikan oleh Tuhan.
4) Dapat Menghormati Sang Pencipta (respect for creator)
Menghormati Sang Pencipta memiliki makna menghargai Sang Pencipta dengan
ditunjukkan melalui perilaku iman dan takwa serta rasa syukur atas segala
nikmat-Nya. Wujud penghormatan terhadap sang pencipta dapat dilakukan dengan
berbagai cara yang dimanifestasikan manusia sebagai suatu kewajiban yang dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari.
Bentuk penghormatan manusia menunjukkan rasa penghargaan
kepada Sang Pencipta sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan nyata.
Manusia yang beriman dan bertakwa, tentu mengetahui cara menghormati Sang Pencipta-nya.
Manusia menempatkan Sang Pencipta sebagai pemegang otoritas terbesar dalam
hidupnya. Oleh karena itu, menjalin hubungan dengan sang maha pencipta harus
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penjelasan di atas nilai karakter yang berhubungan
dengan menghormati Sang Pencipta terdapat pada kutipan cerita berikut.
“Waktu mok
bahanyikan, biaso sambahyang ka umo,
baharek boh. Bapadoh mebetok padi,”(3)
Kutipan
tersebut menjelaskan, ketika hendak memanen hasil pertanian, biasanya dilakukan
ritual sembahyang di tengah ladang. Tujuan dilaksanakannya ritual sebagai wujud
permohonan ijin kepada Jubato untuk
memulai pekerjaan terutama memanen tanaman padi.
Dari
penjelasan tersebut menunjukkan adanya rasa hormat yang dilakukan oleh
masyarakat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng kepada Sang Maha Pencipta yang diwujudkan dengan melakukan ritual
sembahyang yang dilaksanakan di tengah ladang (umo motout). Bentuk penghormatan dimanisfestasikan dengan
permohonan ijin kepada Jubato sebagai
pemegang otoritas untuk memanen hasil pertanian.
b. Cerita
Nek Karantiko
1) Sikap Saleh (Devout)
Nilai
karakter Sikap saleh memiliki makna mencurahkan segala perhatian untuk
bertindak berdasarkan ketaatan kepada ajaran agama atau pemenuhan terhadap
kewajiban-kewajiban agama, tulus, ikhlas. Sikap saleh dapat diwujudkan melalui
kehidupan sehari-hari manusia seperti menjalankan ibadah agama terutama segala
yang diperintah sesuai ajaran agama. Sikap saleh memberikan manfaat dalam
pembentukan karakter manusia, terutama untuk membimbing ke arah yang lebih
baik. Dengan hidup saleh, manusia akan lebih mendekatkan dirinya kepada sang
Maha Pencipta dengan menjalankan segala kewajibannya sebagai bagian dari
tuntunan ke arah kesempurnaan.
Berdasarkan
penjelasan di atas nilai pendidikan karakter mengenai sikap saleh terdapat pada
kutipan berikut.
“Mulai
dari kolah manusio kanal gawe. Ado Gawe
Naik Dango, Sambayang Mipit, Sambayang Ngarantiko, Sambayang Ngabayot. Naik Dango, tujuanne sabagai tarimok sukur,
mintok barakat ka Nek Karantiko, mintok barakat padi. Mulai dari kowolah
Gawe Naik Dango,” (4)
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa ritual-ritual berupa pembacaan doa (sarapok) yang dilakukan oleh masyarakat
Dayak Salako Garantukng Sakawokng
merupakan awal dilaksanakannya ritual sembahyang seperti Pesta Naik Dango, Ritual Mipit, Ritual Ngarantiko,
Ritual Ngabayot. Pesta Adat Naik Dango bertujuan sebagai tanda
ucapan syukur meminta berkah (barakat)
kepada Jubata Angit (Nek Karantiko)
atau Sang Maha Pencipta.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, beragam ritual yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako
Garantukng Sakawokng merupakan wujud
sikap saleh yang dinyatakan melalui tindakan. Ritual tersebut ditujukan kepada Jubata atau Sang Maha Pencipta sebagai
wujud tanda ketaatan. Wujud tanda ketaatan kepada sang maha pencipta atau sikap
saleh terlihat pada ritual yang dilakukan masyarakat seperti ritual Mipit, Ngarantiko, Ngabayot dan Gawe Naik Dango. Sikap saleh yang
diwujudkan masyarakat melalui ritual tersebut menunjukkan adanya rasa
penghormatan kepada Sang Maha Pencipta sebagai pemberi berkah. Manusia dan Sang
Maha Pencipta memiliki hubungan vertikal, manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya
wajib mematuhi segala perintah dan larangan-Nya.
2) Syukur
Syukur
memiliki makna mewujudkan rasa
berterima kasih kepada Tuhan dengan perilaku yang semakin meningkatkan iman dan
takwa atas segala kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan. Syukur merupakan perilaku
yang ditunjukkan manusia sebagai tanda terima kasih berupa ucapan, tindakan
maupun sesuatu yang tertuju kepada Sang Maha Pencipta atas pemeliharaan-Nya.
Rasa syukur yang ditunjukkan manusia menandakan iman dan takwa yang dimiliki
semakin meningkat. Oleh karena itu rasa syukur harus tetap terpelihara dalam
kehidupan manusia dan diwujudkan secara nyata. Nilai karakter syukur yang
dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng
Sakawok seperti pada kutipan berikut.
“Mulai
dari kolah manusio kanal gawe. Ado Gawe
Naik Dango, Sambayang Mipit, Sambayang Ngarantiko, Sambayang Ngabayot. Naik Dango, tujuanne sabagai tarimok sukur,
mintok barakat ka Nek Karantiko, mintok barakat padi. Mulai dari kowolah
Gawe Naik Dango,” (4)
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa ritual-ritual berupa pembacaan doa (sarapok) yang dilakukan oleh masyarakat
Dayak Salako Garantukng Sakawokng
merupakan awal dilaksanakannya ritual sembahyang seperti Pesta Naik Dango, Ritual Mipit, Ritual Ngarantiko,
Ritual Ngabayot. Pesta Adat Naik Dango bertujuan sebagai tanda
ucapan syukur meminta berkah (barakat)
kepada Jubata Angit (Nek Karantiko)
atau Sang Maha Pencipta.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, nilai karakter syukur ditunjukkan oleh tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng saat mengadakan perayaan ritual. Acara yang dilakukan menunjukkan
bentuk rasa syukur terhadap Jubata
yang telah memberikan berkah dan perlindungan kepada manusia, ternak maupun
hasil pertanian masyarakat. Dapat disimpulkan nilai karakter syukur pada pada
cerita rakyat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng yaitu masyarakat mengadakan upacara ritual yang tujuannya kepada
Sang Pencipta dan hal tersebut merupakan
contoh perbuatan baik yang dapat dilakukan oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari.
(3) Dapat Menghormati Sang
Pencipta (respect for creator)
Menghormati Sang Pencipta memiliki makna menghargai Sang Pencipta dengan
ditunjukkan melalui perilaku iman dan takwa serta rasa syukur atas segala
nikmat-Nya. Wujud penghormatan terhadap sang pencipta dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Beragam cara tersebut dimanifestasikan manusia sebagai suatu
kewajiban yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk penghormatan yang
dilakukan manusia menunjukkan rasa penghargaan kepada Sang Pencipta sebagai
pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan manusia. Manusia yang beriman dan
bertakwa, tentu mengetahui cara menghormati Sang Pencipta-nya. Manusia akan
menempatkan Sang Pencipta sebagai pemegang otoritas terbesar dalam hidupnya.
Oleh karena itu, menjalin hubungan dengan sang maha pencipta harus dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penjelasan di atas nilai karakter yang
berhubungan dengan menghormati Sang Pencipta terdapat pada kutipan berikut.
“Mulai
dari kolah manusio kanal gawe. Ado Gawe
Naik Dango, Sambayang Mipit, Sambayang Ngarantiko, Sambayang Ngabayot. Naik
dango, tujuanne sebagai tarimok sukur, mintok barakat ka Nek Karantiko. Mintok
barakat padi, mulai dari kowolah Gawe Naik Dango.” (4)
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa ritual-ritual berupa pembacaan doa (sarapok) yang dilakukan oleh masyarakat
Dayak Salako Garantukng Sakawokng
merupakan awal dilaksanakannya ritual sembahyang seperti Pesta Naik Dango, ritual Mipit, ritual Ngarantiko,
ritual Ngabayot. Pesta Adat Naik Dango bertujuan sebagai tanda
ucapan syukur meminta berkah (barakat)
kepada Jubata Angit (Nek Karantiko)
atau Sang Maha Pencipta.
Dari
penjelasan tersebut, wujud penghormatan kepada Sang Maha Pencipta dilakukan
dengan mengadakan beragam ritual oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng seperti pada
kutipan “Ado Gawe Naik Dango, Sambayang
Mipit, Sambayang Ngarantiko, Sambayang Ngabayot. Naik dango, tujuanne sebagai
tarimok sukur, mintok barakat ka Nek Karantiko. Mintok barakat padi.”
Ritual tersebut memiliki makna dan nilai tersendiri, yang mampu mengarahkan
manusia agar menunjukkan rasa hormat kepada Jubata
atau Sang Pencipta yang telah memberikan berkat dan perlindungan kepada
manusia.
IV. SIMPULAN DAN SARAN
A.
SIMPULAN
Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan, nilai pendidikan
karakter yang terdapat pada cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng, sebagai berikut:
Nilai
pendidikan karakter yang berhubungan dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan
terdapat 4 nilai karakter yang meliputi; sikap saleh sebanyak 3 data, iman dan
takwa sebanyak 3 data, syukur sebanyak 3 data, dan dapat menghormati Sang
Pencipta sebanyak 2 data.
B.
SARAN
Berdasarkan
hasil penelitian, peneliti memberikan saran adalah sebagai berikut:
1. Para
peneliti lain dapat mengembangkan hasil penelitian nilai pendidikan karakter
dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng
Sakawokng dari aspek yang lain.
2. Para pembaca dapat menerapkan hasil penelitian
ini sebagai bahan acuan dalam pengembangan pendidikan karakter di masyarakat
maupun sekolah.
3. Generasi
muda dapat memperkenalkan kembali cerita-cerita lama, sebagai upaya pelestarian
kearifan lokal.
4. Hasil
penelitian nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng yang dapat
dijadikan sebagai bahan acuan dalam pedoman pembuatan karya ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Alloy, Sujarni., dkk. 2007. Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan bahasa
Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi.
Barnawi & M. Arifin. 2015. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran
Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Endaswara, Suwardi, 2008. Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori,
dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Endaswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi,
Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kothari, G. R. 2004. Research Methodology Methodes and Tehniques. New Delhi: New Age
International (P) Limited, Publisher.
Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Muhammad, 2011. Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nawawi, Hadari. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Samani dan Hariyanto. 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Satori dan Komariah. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: CV. Alfabeta.
Semi, M. Atar. 2012. Metode
Penelitian Sastra. Bandung: CV. Angkasa.
Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan Secara Linguistic. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Takdir, Simon. 2017. Austronesia Dayaka Tentang Kelompok Suku Salako Dayaka Borneo.
Pontianak: Top Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar