PENGKAJIAN DRAMA TRADISIONAL
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1
EMON
SAFITRI :
11308504140041
HENDRASIUS : 113085041400
PRICILIA :
113085041400
SRI
WAHYUNI : 113085041400
LUSIANA
AGATA :
113085041400
MATA
KULIAH : KAJIAN DRAMA
DOSEN
PEMBIMBING : MARDIAN, M.Pd
SEMESTER : GENAP
KELAS : 4C

JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH
TINGG KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
(
STKIP SINGKAWANG )
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke
hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini berjudul
Pengkajian Drama Trasisional diajukan sebagai tugas kelompok.
Makalah ini disusun untuk membantu
mengembangkan kemampuan pemahaman pembaca terhadap pengkajian drama tradisional.
Pemahaman tersebut dapat dipahami melalui pendahuluan, pembahasan, serta
penarikkan garis kesimpulan dalam makalah ini.
Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada Dosen mata kuliah Kajian Drama yang telah memberikan kesempatan kepada
kami, untuk berkarya menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Singkawang,29
Maret 2016
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar
Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah........................................................................................ 1
C. Tujuan.......................................................................................................... 2
D. Manfaat........................................................................................................ 2
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A. Pengertian
Drama........................................................................................ 3
B. Ciri-Ciri
Drama............................................................................................ 3
C. Unsur-Unsur
Drama..................................................................................... 4
D. Jenis-Jenis
Drama......................................................................................... 11
BAB III
PENUTUP............................................................................................. 13
A. Simpulan...................................................................................................... 13
B. Saran............................................................................................................ 13
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Drama
merupakan salah satu jenis karya sastra selain puisi dan prosa. Karya drama
diciptakan pengarang berdasarkan pikiran atau imajinasi, perasaan dan
pengalaman hidupnya. Pementasan drama memang lebih kepada dialog dan
gerak-gerik para pemainnya di panggung. Penonton dapat menyaksikan secara
langsung peristiwa-peristiwa yang terjadi melalui gerak-gerik tokoh dan
percakapannya.
Bagian dari
seni drama yang termasuk ke dalam karya sastra adalah naskah ceritanya. Sebagai
karya sastra, drama memiliki keunikan tersendiri. Dia diciptakan tidak untuk
dibaca saja, namun juga harus memiliki kemungkinan untuk dipentaskan. Karya
drama sebagai karya sastra dapat berupa rekaman dari perjalanan hidup pengarang
yang menciptakannya. Pengarang dapat diilhami pengarang lain, disamping
masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar.
Saat
menyaksikan sebuah drama yang dilakonkan, emosi penonton pun terlibat dalam
cerita yang diperankan tersebut. Itu artinya, penulis naskah drama tersebut
mampu membangun sebuah cerita menjadi konflik pada masing-masing tokoh sehingga
cerita mengalir sebagaimana kejadian sesungguhnya. Hal itu tidak terlepas dari
kemahiran penulis naskah untuk menghidupkan drama tersebut. Untuk dapat menulis
naskah drama yang baik dan menarik, diperlukan latihan dan pemahaman tentang
unsur-unsur yang dapat membangun sebuah naskah drama. Untuk itu, disini kami paparkan
beberapa unsur – unsur instrinsik dan ekstrinsik sebuah drama.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian drama ?
2. Bagaimana
ciri-ciri dari drama tradisional ?
3. Apa
saja unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah drama tradisional ?
4. Apa
saja jenis- jenis drama dalam sebuah cerita ?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari drama.
2. Untuk
mengetahui ciri-ciri drama tradisional.
3. Untuk
mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah drama tradisional.
4. Untuk
mengetahui jenis-jenis drama dalam sebuah cerita.
D.
Manfaat
Melalui
makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif di antaranya, pembaca
dapat menjadikan makalah ini sebagai bahan bacaan tambahan dalam mengetahui dan
memahami unsur-unsur yang terdapat dalam drama dalam proses pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Drama Tradisional
Drama
merupakan salah satu kesenian yang menjadikan bahasa sebagai medianya.
Berdasarkan teknik pementasannya, drama dibedakan atas bentuk drama tradisional
dan drama modern. Drama tradisional adalah seni drama yang berakar dan besumber
dari masyarakat,secara spontan dan bersifat improvisatoris. Sedangkan drama
modern adalah drama yang bertolak dari hasil sastra yang disusun untuk suatu
pementasan. Jadi, perbedaan utama antara drama tradisional dengan drama modern
terletak pada ada atau tidak adanya naskah.
Kasim Achmad dalam bukunya mengenal
drama tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah drama tradisional di
Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda
bahwa unsur-unsur drama tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara
ritual. Drama tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun
upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Atau
pengertian drama itu drama tradisional itu merupakan lakon yang dilakukan oleh
actor/aktris dengan menonjolkan dari segi kedaerahan, keagamaan, keistiadatan
masyakat kita.
Pada saat
itu, setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur drama tersebut
membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam
masyarakat lingkungannya. Proses
terjadinya atau munculnya drama tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari
satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur
pembentuk drama tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap
budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana drama tradisional lahir.
Drama tradisional dapat dikelompokkan
menjadi 5 yaitu:
a)
drama tutur (lisan dan belum diperankan):
kentrung, dalang jemblung
b) drama
rakyat (lisan, spontan, dan cerita daerah): randai, kethoprak,
c) drama wayang/klasik (segala
macam wayang): wayang kulit, wayang beber, wayang golek, wayang orang,
langendriyan. d) drama bangsawan (dipengaruhi konsep teater
Barat dan ditunjang pengaruh kebudayaan melayu dan Timur Tengah): komedi
bangsawan, komedi stambul.
B.
Jenis-jenis
Drama Tradisional Sunda
Beberapa jenis drama tradisional sunda adalah sebagai berikut: a) Ubrug Ubrug"
di Pandeglang dikenal sebagai kesenian tradisional rakyat yang semakin hari
semakin dilupakan oleh penggemarnya. Istilah ‘ubrug’ berasal dari bahasa Sunda ‘sagebrugan’
yang berarti campur aduk dalam satu lokasi. Kesenian ubrug termasuk teater
rakyat yang memadukan unsur lakon, musik, tari, dan pencak silat. Semua unsur
itu dipentaskan secara komedi. Bahasa yang digunakan dalam pementasan,
terkadang penggabungan dari bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu (Betawi). Alat musik
yang biasa dimainkan dalam pemenetasan adalah gendang, kulanter, kempul, gong
angkeb, rebab, kenong, kecrek, dan ketuk.
Selain berkembang di provinsi Banten,
kesenian Ubrug pun berkembang sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan yang
tentunya dipentaskan menggunakan bahasa daerah masing-masing. Teater Ubrug pada
awalnya dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda daun kelapa atau
rubia. Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang
bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu
blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong
atau lampu petromak. Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan,
baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya
dari segala arah.
b)
Longser
Longser merupakan
salah satu bentuk teater tradisional masyarakat sunda, Jawa barat. Longser
berasal dari akronim kata melong (melihat dengan kekaguman) dan saredet
(tergugah) yang artinya barang siapa yang melihat pertunjukan longser, maka
hatinya akan tergugah. Longser yang penekanannya pada tarian disebut ogel atau
doger. Sebelum longser lahir dan berkembang, terdapat bentuk teater tradisional
yang disebut lengger.
Busana yang
dipakai untuk kesenian ini sederhana tapi mencolok dari segi warnanya terutama
busana yang dipakai oleh ronggeng. Biasanya seorang ronggeng memakai kebaya dan
kain samping batik. Sementara, untuk lelaki memakai baju kampret dengan celana
sontog dan ikat kepala.
c)
Wayang
Wayang dikenal
sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat
Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang
disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Wayang
merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan
Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003,
sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan
warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible
Heritage of Humanity).
G.A.J. Hazeu
mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan, dalam bahasa
melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang.
Bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern, bayang, barang atau menerawang.
Semua itu berasal dari akar kata "yang" yang berganti-ganti suara
yung, yong, seperti dalam kata: laying (nglayang)=yang, dhoyong=yong,
reyong=yong, reyong-reyong, atau reyang-reyong yang berarti selalu berpindah
tempat sambil membawa sesuatu, poyang-payingen, ruwet dari kata asal: poyang,
akar kata yang.
Menurut hasil
perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya
tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak
berkali-kali, tidak tetap, melayang.
d)
Wayang Golek
Wayang
golek dipertunjukan dengan boneka-boneka dari kayu, tiga dimensi dan diberi
busana; repertori di Jawa tengah terdiri dari lakon-lakon yang berdasarkan pada
ceritra-ceritra tentang seorang pangeran Arab yaitu Amir Hamzah (seorang paman
Nabi Muhammad). Wayang golek sangat popular di jawa (terutama Jawa Barat dan
Jogjakarta di Jawa Tengah), namun pertunjukan wayang golek tidak dikenal di
Bali.
Busana
Wayang Golek di Jawa barat yang penuh warna temasuk tiruan dari busana istana
jawa. Beberapa tokoh pria dibusanai dengan baju lengan panjang bersulam emas
dari abad ke-18 atau ke-19 dari inspirasi eropa yang dikombinasi dengan topi
serta serban, beberapa dalam gaya Arab. Akan tetapi semua boneka menganakan
kain batik Jawa panjang untuk menyembunyikan tangan dalang yang memegang boneka
pada pegangan kain yang di tengah.
Konstruksi sebuah boneka golek adalah
sederhana. Komponen-komponen kayu yang utama adalah: sebuah torso yang dipotong
bagian atasnya yang kasar dengan sebuah lubang vertikal yang dibor di
tengahnya; lengan-lengan dengan dua bagian yang diikat menjadi satu pada siku
dan berjuntai bebas dari bahu; kepala diukir dengan cermat dan dicat, lengkap
dengan hiasan kepala, dengan leher yang sedikit agak dipanjangkan; akhirnya
sebuah kayu ditengah yang diruncingkan yang berfungsi juga sebagai pegangan,
serta dua kayu yang lebih langsing yang dikaitkan pada tangan.
Mekanisme berjalan sebagai berikut: kayu
ditengah, melewati torso dengan bebas dan menyembul diantara lengan, berfungsi
sebagai poros bagi kepala, yang lehernya di pasang kencang pada ujung atas dari
kayu; di bawah torso kayu itu membesar untuk menghindari tubuh melorot kebawah,
tetapi dengan cukup peluang untuk menciptakan efek boneka untuk terengah–engah
seperti setelah perang, atau karena kemarahan, dengan berulang–ulang mendoromg
tuduh ke atas dan membiarkannya ke bawah lagi. Dengan memutar kayu di tengah,
dalang dapat membuat kepala golek beputar ke semua arah yang sangat
menhhidupkan tarinya dan gerak–gerak yang lain brsama–sama dengan gerak–gerak
lengan yang dihasilkan oleh kayu yang diikatkan pada tangan–tangan.
Di Jawa Barat, diantara orang sunda wayang
golek begitu popular hingga wayang itu lebih diutamakan di atas wayang
kulit,dan termasuk repertoar dari wayang kulit; lakon–lakon yang berdasarkan
pada Ramayana dam mahabharata (purwa) serta legenda–legenda panji (gedhog)
dipertunjukan di sana dan juga ceritera – ceritera Amir Hamzah.
C. Asal Usul Wayang Golek
Asal mula wayang golek tidak
diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis
maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit
karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian,
Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat
wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada
siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal
abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan
cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada
siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang
terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi,
seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam
wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak.
Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung
Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek
papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran
Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari
babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar
pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana
dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai
oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya.
Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal)
yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk
wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat
wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di
daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat
Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang
menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula
wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda
pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
D.Jenis-Jenis
Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang
golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak
(cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan
bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita
Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda. Sedangkan, wayang golek
modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi
dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan
trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan
modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan
oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.
Wayang golek cepak adalah salah satu jenis
kesenian tradisional yang ada di Indramayu dan Cirebon. Golek artinya boneka
sedangkan kata cepak diambil dari bentuk kepala (mahkota) wayang yang papak
(rata). Karena bentuk inilah jenis kesenian ini dinamakan wayang golek cepak.
Konon wayang ini diciptakan oleh Sunan Gunung Djati sebagai media dakwah.
Berbeda dengan wayang kulit purwa, dalam
wayang golek cepak tidak dikenal tokoh seperti Arjuna atau Shinta. Tokoh-tokoh
yang ada dalam wayang golek cepak adalah subjek yang ada dalam babad atau
sejarah. Maka dikenallah Nyi Mas Gandasari, Wiralodra, Ki Tinggjl, Kuwu
Sangkan, Bagal Buntung, dan lain-lain. Dengan demikian, wayang ini sesungguhnya
teater sejarah, panggung pendidikan. Dengan kata lain, ia sebuah diorama yang
bergerak.
Selain grup "Sekar Harum"
pimpinan dalang Ki Ahmadi, ada juga grup dan dalang kesenian wayang golek
lainnya. Mereka adalah Dalang Warsyad dengan gmp "Jaka Baru" dari
Gadingan Sliyeg dan dalang Ki Tayut dari Desa Juntinyuat dengan nama grupnya
"Sri Budi". Ki Tayut boleh dikatakan dalang senior untuk wayang golek
cepak. Ia kemudian mewariskan ilmu dan perangkat keseniannya kepada anak dan
cucunya, antara lain Taram, Asmara, dan Tarjaya.Setali tiga uang, nasib grup
kesenian dan dalangnya sama; dalam titik nadir.
Wayang purwa sendiri biasanya menggunakan
ceritera Ramayana dan Mahabarata, sedangkan jika sudah merambah ke ceritera
Panji biasanya disajikan dengan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa sendiri
terdiri dari beberapa gaya atau gagrak, ada gagrak Kasunanan, Mangkunegaran,
Ngayogjakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainnya. Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit
kerbau, yang ditatah, diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang
pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian
rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.
a)
Dalang dan Teaternya
Dalang adalah kekuatan sentral dari dunia
wayang. Penulis ceritera dan produser, juru ceritera utama dan konduktor, ia
adalah pencipta serta penggerak utama dari dunia bayangan yang ilusif. Ia
membawa penontonnya ke wilayah-wilayah ceitera kuna dengan bunyi suaranya. Ia
menghidupkan boneka-boneka di tangannya, membuat mereka mencari, berkelana,
susah, gembira, serta berbicara dengan warna nada serta tekanan yang selalu
berubah.
Makna dari kata ‘dalang’ diinterpretasikan
dalam dua cara. Pertama, dari arti-arti yang diberikan adalah ‘yang berkelana’,
yang mengisyaratkan seorang pemain yang berkeliling. Yang lain menghubungkan
gelar itu dengan konsep-konsep kreativitas dan kecerdikan, yang mengisyaratkan
bahwa ‘dalang’ adalah seorang yang memiliki keterampilan dalam penciptaaan,
juga kebijakan, dengan demikian gelar itu memiliki sebuah konotasi yang
mengilhami penghormatan.
Dengan jelas dalang adalah seorang
manusia superior. Disamping keterampilan-keterampilannya, ia harus memiliki
daya tahan yang besar; secara tradisional sebuah pertunjukkan wayang kulit
dimulai setelah matahari turun, dan berlangsung tanpa selingan sampai matahari
terbit, dengan dalang sebagai pemain tunggal. Sering kali seorang dalang juga
memahat wayang-wayangnya sendiri. akan tetapi ya atau tidak, ia memproduksinya
sendiri, ia memiliki pengetahuan paling mendalam dari ikonografi wayang-wayang.
Keahlian sastra dari dalang menyatu
dengan kepandaian beraneka suara. Gerak-gerik setia boneka dihasilkan oleh
jari-jari yang cekatan dari hanya dengan tangan yang memegangnya. Dalang juga
mengubah-ubah serta memperkuat efek bayangan-bayangan wayang dengan menempatkan
mereka pada posisi tertentu pada layar.
b) Ikonografi dan Jiwa Khas dari Dunia Sunda
Pengertian Ikonografi dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tentang Seni dan teknik membuat area. Dalam
pewayangan, ikonografi menjadi hal yang sangat penting karena sebuah wayang
sudah barang tentu merupakan ikon untuk tokoh yang ditunjuk. Wayang merupakan dunia yang stabil yang
berdasarkan pada konflik. Di dunia wayang terdapat dunia kanan (tokoh baik) dan
dunia kiri (tokoh jahat).
Di masing-masing dunia ini wayang
diurutkan sesuai dengan fungsi: militer (contohnya pangeran, guru,
komandan-komandan militer),dan sifat-sifat temperamental, dan kadang juga usia,
keadaan. Pada ikonografi wayang seperti dalam grafologi, satu ciri tidak dapat
diinterprestasikan terpisah; setiap cirri pasti dihubungkan dengan
keistimewaan-keistimewaan penting yang lain untuk sampai pada karakterisasi
yang penuh arti.
Dalam wayang ada sejumlah sindrom khas yang
elemen-elemen utamanya adalah tinggi, postur, bentuk mata, bentuk hidung, dan
bentuk torso. Dalam bentuk boneka sendiri ada beberapa ciri-ciri bentuk
yang menandakan sifat atau pembawaan, salah satunya adalah ciri pada wajah.
Seperti contoh bentuk wajah Arjuna, ciri-cirinya adalah mata paling ciut,
hidung mancung cenderung kebawah, kepalanya biasanya menunduk, yang kesemuanya
menandakan kesabaran, tanggung jawab dan tidak mudah gentar.
Selain itu banyak ciri-ciri lain yang
memiliki makna yang berbeda-beda, yakni warna-warna pada wajah. Warna-warna
pada wajah yang memilliki arti berbeda-beda, antara lain hitam yang bermakna
kematangan dalam kedewasaan, kebajikan dan ketenangan, merah yang bermakna I
nafsu-nafsu yang tidak terkendali, emas yang bermakna keindahan, status
kerajaan, kepangeranan, dan kebasaran, dan warna putih yang bermakna keturunan
bangsawan, muda, serta ketampanan. Terkadang dalam sebuah pertunjukan terdapat
karakter yang sama yang tampil dengan warna wajah yang berbeda, ini untuk
menandai aspek yang berbeda dari tokoh atau tingakatan-tingkatan dalam
hidupnya.
Selain itu ada juga tanda-tanda pada wajah
yang memiliki arti, yakni jenggot. Jenggot menandakan kejantanan, seperti
contoh yang terdapat pada wayang Bima. Selain dari tokoh-tokoh pewayangan tadi,
ada juga tokoh-tokoh yang merupakan dewa-dewa Indonesia, yakni Semar, Gareng,
Petruk. Mereka melambangkan suara rakyat desa yang sederhana, dengan semua
kekuatan mereka, kesengsaraan, dan kebijaksanaan mereka.
Tujuan-tujuan dari ceritera-ceritera
wayang (lakon) tadi adalah untuk menunjukkan sifat-sifat positif (baik) yang
harus dimiliki manusia, selain itu juga lakon-lakon tadi digunakan semacam
sejarah untuk anak-anak. Selain itu juga ceritera-ceritera wayang tadi
terkadang terangkum dan diungkap dalam kitab-kitab suci, seperti kitab
“Bhagawad Gita” atau nyanyian ketuhanan yang merupakan pengungkapan perasaan
dilemma moral Arjuna pada saat sebelum perang melawan saudaranya sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Drama merupakan pertunjukan cerita atau lakon kehidupan manusia yang
dipentaskan. Yang mempunyai ciri-ciri diantaranya drama merupakan prosa modern,
naskah drama berbentuk prosa atau puisi, drama terdiri dari dialog, pemikiran
dan gagasan pengarang disampaikan melalui dialog watak-wataknya, konflik,
sebuah skrip yang tidak didasari oleh konflik tidak dianggap sebuah drama yang
baik, dan gaya bahasa.
Dalam karya
sastra drama, terdapat unsur intrinsik dan ekstrinsik. Yang termasuk unsur
intrinsik adalah: tokoh, alur, latar/setting, penokohan, dan tema dan amanat. Sedangkan yang termasuk
unsur ekstrinsik drama adalah: (1) latar belakang pengarang, (2) pandangan,
kritik, dan ide-ide si pengarang, dan (3) siruasi sosial di mana karya itu
dibuat.
B. Saran
Penyusun
menyarankan agar makalah ini bisa dibaca dan dipahami oleh para pembaca
khususnya mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Penyusun juga menyarankan
pembaca untuk dapat menyalurkan ilmu tentang Drama yang membahas tentang cerita
tersebut dalam unsur intrinsik drama, dan unsur ekstrinsik drama dari makalah
ini kepada yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
http://anjar-fajar.blogspot.co.id/2012/10/contoh-makalah-drama.html
(Diakses 11-03-2016, 22:02 WIB )
http://digilib.unila.ac.id/1458/8/BAB%20II.pdf
( Diakses 12-03-2016, 13: 34 WIB )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar