Sabtu, 16 Februari 2019

LEMBAR PENGESAHAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERITA RAKYAT DAYAK SALAKO GARANTUKNG SAKAWOKNG


LEMBAR PENGESAHAN

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERITA RAKYAT
DAYAK SALAKO GARANTUKNG SAKAWOKNG


HENDRASIUS
NIM  11308504140059

Dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi
STKIP Singkawang

Pada tanggal, 31 Juli  2018

Dewan Penguji

Drs. Andi Mursidi, M.Si.                 (   ...............     )           (   ...............   )
NIDN 0722126401
(Ketua Penguji)

Mardian, S.Pd., M.Pd.                      (   ...............     )           (   ...............   )
NIDN  1114078701
(Penguji 1) 

Safrihady,  S.Pd., M.Pd.                   (   ...............     )           (   ...............   )
NIDN  1110098901                                                               
(Penguji 2)   

Singkawang,    Agustus 2018
Mengetahui dan Mengesahkan,
Wakil Ketua I




Eka Murdani, S.Si., M.Pfis.
              NIDN  1124058401

Jurnal Penelitian Sastra Nilai Pendidikan Karakter dalam certa rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng



4


Jurnal  Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia



Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerita Rakyat
Dayak Salako Garantukng Sakawokng

Hendrasius1), Mardian2), Safrihady3)

1.       Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Singkawang,
2.       Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Singkawang,
E-mail: mardiandeeza@gmail.com
3.       Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Singkawang,
E-mail:Safrihady@gmail.com

 

ABSTRAK. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng, yang berhubungan dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan moral. Sumber data berupa cerita rakyat yang dituturkan oleh penduduk asli Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Data penelitian berupa kutipan kata, kalimat, ataupun paragraf yang mengandung nilai pendidikan karakter. Teknik pengumpul data menggunakan teknik simak libat cakap, teknik rekam, teknik catat. Alat pengumpul data meliputi human instrument, alat perekam, dan kartu data. Teknik analisis data meliputi: transkripsi, membaca secara cermat, klasifikasi, analisis, dan menyimpulkan. Uji keabsahan data meliputi kecukupan referensial, triangulasi, dan ketekunan pembaca/keajegan. Simpulan, nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita Dayak Salako Garantukng Sakawokng yang berkaitan dengan hubungan dan kewajiban manusia terhadap Tuhan, terdapat 4 nilai karakter yang meliputi: sikap saleh sebanyak 3 data, iman dan takwa sebanyak 3 data, syukur sebanyak 3 data, dan dapat menghormati Sang Pencipta sebanyak 2 data.
 

Kata Kunci: Nilai Karakter; Kewajiban; Dayak Salako Garantukng Sakawokng.



I. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan suatu upaya sadar dan sistematis untuk mengembangkan potensi yang ada pada generasi muda. Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berkesinambungan dengan tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.” Tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat ditempuh melalui jalur pendidikan.
Pemerintah sebagai pengemban sekaligus pemegang kekuasaan, telah berupaya membenahi dan meningkatkan mutu pendidikan. Upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mengembangkan pendidikan, diantaranya memberikan dana bantuan operasional sekolah. Bantuan tersebut diperuntukkan bagi sekolah-sekolah yang ada di daerah, terutama sekolah yang ada di wilayah pinggiran maupun pelosok. Tujuannya untuk membantu meringankan beban sekolah yang memiliki keterbatasan dalam penyediaan fasilitas seperti sarana dan prasarana serta meningkatkan mutu pendidikan.
Pendidikan tidak sebatas terfokus pada kemampuan kognitif saja, tetapi juga memperhatikan kemampuan afektif dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut harus seimbang, agar menghasilkan output yang berkarakter. Kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik dapat dikembangkan melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan upaya dalam mendukung program pemerintah dalam menghasilkan generasi muda yang cerdas dan berakhlak mulia. Mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh mengatakan bahwa “Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi keharusan, pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik cerdas, akan tetapi membangun budi pekerti dan sopan santun dalam kehidupan nyata di masyrakat” (Sopiani, 2014:2). Pendidikan diharapkan dapat menjadi penggerak dalam mengedukasi generasi muda agar lebih berkarakter sesuai harapan masyarakat, terutama pendidikan karakter.
Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatar belakangi oleh realita yang terjadi pada generasi muda saat ini. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, merancang adanya kurikulum 2013 yang memprioritaskan tentang pendidikan karakter. Menurut Winton (dalam Samani dan Hariyanto, 2013:43) pendidikan karakter didefinisikan sebagai upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru, untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswa. Pendidikan karakter menjadi motor penggerak pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan pengembangan etika pada siswa. Pendidikan karakter bertujuan membentuk generasi bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Menurut Syaiful Anam (dalam Barnawi dan M. Arifin, 2015:25) ciri-ciri manusia yang berkarakter yaitu; sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan, cinta Tuhan, bermoral, bijaksana, pembelajar sejati, mandiri, dan kontributif. Fathul Mu’in (dalam Barnawi dan M. Arifin, 2015:25) menyatakan bahwa sikap atau karakter dapat semakin kokoh apabila didukung rasa penghormatan, tanggung jawab, kesadaran berwarganegara, berkeadilan dan berkejujuran, berkepedulian dan kemauan berbagi, serta rasa kepercayaan yang tinggi.
Pendidikan karakter dinilai belum memuaskan dan berperan lebih maksimal oleh sebagian masyarakat. Menurut Barnawi dan M. Arifin (2015:31), pendidikan karakter belum memuaskan disebabkan oleh:
1.     Minimnya pemahaman orangtua dalam memberikan pendidikan karakter bagi putra-putrinya, seperti diketahui bahwa 86% waktu anak dihabiskan bersama orangtua di rumah, hanya 16% waktu anak di sekolah dan sisanya sebagian besar di luar sekolah.
2.     Ketika menginjak remaja, siswa dihadapkan pada lingkungan yang sibuk, miskin, pola masyarakat yang pragmatis, hedonis, konsumtif, dan acuh tak acuh.
3.     Pada fase dewasa ketika bernalar kritis mulai berkembang, individu dihadapkan pada berbagai sandiwara hukum, kebohongan publik, KKN, dan kemunafikan terstruktur sehingga mereduksi rasa percaya pada masyarakat atas hukum terutama birokrat dan pejabat publik.
Fenomena tersebut menyebabkan sulitnya pembentukan, pengembangan, dan pemantapan karakter di sekolah. Oleh karena itu, penanaman nilai karakter di sekolah harus dioptimalkan, guru sebagai pendidik memegang peranan terhadap keberhasilan pembentukan karakter peserta didik.
Lickona (dalam Barnawi dan M. Arifin, 2015:12) berpendapat bahwa pendidikan karakter harus dilaksanakan disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1.     Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja/masyarakat;
2.     Penggunaan bahasa dan kata-kata yang tidak sesuai/tidak sopan;
3.     Pengaruh peer-group (geng) dalam tindak kekerasan menguat;
4.     Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas;
5.     Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
6.     Etos kerja yang menurun;
7.     Semakin rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru;
8.     Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok;
9.     Budaya berbohong/ketidakjujuran;
10. Rasa saling curiga dan kebencian antar sesama.

Pelaksanaan pendidikan karakter perlu didukung oleh semua pihak demi meminimalisir tindak kenakalan remaja maupun kriminalitas yang terjadi di masyarakat.
Di era globalisasi yang terus berkembang, nilai luhur karakter bangsa mulai menurun oleh adanya hedonism di kalangan remaja yang memperburuk citra generasi muda dan bersifat negatif. Untuk membendung agar pengaruh negatif tersebut tidak meluas maka dilakukan pembinaan dan pengawasan melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter diharapkan mampu berperan lebih maksimal, dan merupakan langkah awal dalam memperbaiki karakter generasi bangsa yang telah terpengaruh dengan budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu hendaknya, pendidikan karakter diterapkan sejak dini dari tingkat pendidikan Taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menegah maupun Perguruan Tinggi. 
Character Education Partnership (dalam Barnawi dan M. Arifin, 2015: 34-41) menetapkan sebelas prinsip standar evaluasi pendidikan karakter, yaitu:
1.     Mempromosikan nilai-nilai etis sebagai dasar karakter yang baik atau nilai-nilai yang berasal dari ajaran agama, kearifan lokal, maupun falsafah bangsa.
2.     Mengartikan karakter secara utuh termasuk pemikiran, perasaan, dan perilaku terkait cipta, rasa, karsa dan karya di sekolah.
3.     Menggunakan pendekatan yang komprehensif, bertujuan, dan proaktif untuk perkembangan karakter.
4.     Menciptakan suatu kepedulian terhadap masyarakat sekolah.
5.     Memberikan para siswa peluang untuk melakukan tindakan moral.
6.     Kurikulum akademik/mata pelajaran dikelola agar bermakna dan menantang dengan menghormati semua peserta didik, mengembangkan kepribadiannya, dan membantu mereka agar berhasil.
7.     Mendorong pengembangan motivasi diri siswa.
8.     Melibatkan staf/karyawan sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter serta berupaya untuk mengikuti nilai-nilai inti yang sama untuk memandu pendidikan para siswa.
9.     Memupuk kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang terhadap inisiatif pendidikan karakter.
10. Melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
11. Menilai karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan memperluas kesempatan para siswa untuk menampilkan karakter yang baik.
Sekolah sebagai wadah pengembangan pendidikan karakter diharapkan siap untuk menerapkan kesebelas prinsip standar evaluasi pendidikan karakter agar lebih optimal. Penerapan pendidikan karakter di sekolah, dapat dilakukan melalui pengintegrasian mata pelajaran. Pelajaran bahasa Indonesia salah satu mata pelajaran dapat digunakan sebagai media untuk mengintegrasikan pendidikan karakter. Di dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia terdapat pembelajaran sastra yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai karakter. Melalui kegiatan bersastra, diharapkan siswa mampu mengekspresikan dirinya secara langsung baik dalam drama, puisi maupun cerita. Beragam genre sastra dapat dipergunakan dalam pengembangan pendidikan karakter, tetapi perlu memperhatikan relevansi karya sastra tersebut dengan materi, menyesuaikan dengan kurikulum, serta jenjang siswa yang diajar.
Genre sastra tidak hanya terbatas pada sastra yang bersifat modern, namun genre sastra yang bersifat lokal seperti cerita rakyat, dapat digunakan sebagai media pengintegrasian pendidikan karakter. Cerita rakyat sebagai satu jenis sastra lisan dapat digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter. Cerita rakyat telah lama digunakan masyarakat untuk menyampaikan petuah, wejangan maupun nasehat yang bersifat mendidik. Masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng memiliki banyak cerita rakyat yang mengandung nilai pendidikan.
Masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng memiliki beragam cerita rakyat dengan kisah yang menarik. Beberapa judul cerita rakyat yang biasa diperdengarkan, yaitu:Pak Ai-Ai, Pak Ampek Ngan Nek Busin, Kampo’k Sakawonk, Dak Oko’ Si Rajo Tajo’k, Nek Balu Ngan Ganye, Antu Pugohot, Antu Gagado’ Jongkot, Tapayot Jari’, Nek Kinoh Ngan Nek Kupai, Si Tombe’ Muho Sehot, Nek Jabani Ngan Nek Jaberek, Pari’ Antu, Nek Laten Ngan Ikot Kale’k, Antu Garagahasi, Nek Engko’ Ngan Nek Tarukun, Nek Amo’k Ngan Nek Arik, Sengkot Mano’k Ngan Beber Unte’k, Da’ Re’ok Ngamin Ojot, Pak Miok, Nek Eteng ngan Daku’ Tango’, Asal Mula Kampo’k Pakunam, Nek Kora’k Ngan Antu Empes, Si Cingkong Pangalimo Mano’k, Baacot Ngan Antu Bantianak, Asal Mula Bukit Satime, Bukit Empes, Antu Nangkepe Bato’k Duriot, Ambot Ngan Engko’k, Antu Panta’k Padagi, Kapalo Bagolo, Antu Jari’k, Indis Ngan Jaeje, Antu Nek Bagora’k,  dan sebagainya.
Cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng berkisah tentang kehidupan masyarakat yang dekat dengan kehidupan alam, seperti kegiatan bercocok tanam, berburu, hal mistik dan tradisi Kayau (memenggal kepala manusia). Setiap cerita memiliki pesan moral dan nilai karakter yang bertujuan untuk mendidik masyarakat, agar berperilaku sesuai aturan yang berlaku pada masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng.
Penelitian ini dilakukan karena: Pertama, untuk mengendalikan perilaku generasi muda yang mulai jauh dari nilai luhur budaya bangsa, terutama dalam hal sopan santun atau etika, toleransi, kerjasama, semangat belajar, kepedulian sosial, disiplin, tanggung jawab dan sebagainya; Kedua, untuk mengetahui nilai pendidikan karakter universal yang terlihat dalam hubungan dan kewajiban manusia terhadap Tuhan dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng.Unsur kebaruan dari penelitian ini terletak pada penekanan nilai-nilai karakter universal yang terlihat dalam hubungan manusia dan kewajibannya terhadap Tuhan dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng.

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Dalam mengkaji nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng, peneliti menggunakan metode deskriptif. Menurut Nawawi (1978:63) metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Sedangkan menurut Kothari (2008:8) “All those methods which are used by the researcher during the course of studying his research problem are termed as research method” Artinya semua metode yang digunakan oleh peneliti selama proses penelitian yang dilakukan terhadap masalah yang diteliti hingga berakhirnya penelitian yang dilakukan dinamakan sebagai metode penelitian. Dari pendapat para ahli tersebut, peneliti menggunakan metode deskriptif yang digunakan untuk mengetahui nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng.

B.  Bentuk Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk penelitian kualitatif. Menurut Satori dan Komariah (2011:22) Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting dari sifat suatu barang atau jasa, berupa kejadian/fenomena/gejala sosial adalah makna dibalik kejadian tersebut yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pengembangan konsep teori.
Berbeda dengan pendapat Satori dan Komariah, menurut Semi (2012:11) penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris. Pada penelitian ini, peneliti menelaah kejadian atau fenomena sosial terkait nilai pendidikan karakter yang ada pada cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng berbentuk cerita lisan, kemudian cerita lisan tersebut ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan. 

C. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan moral. Pendekatan moral adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi dasar bahwa tujuan kehadiran sastra di tengah masyarakat pembaca merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya, berpikir, dan berketuhanan (Semi, 2012:90). Manusia sebagai makhluk yang dibekali akal dan pikiran, mampu mengolah segala kemampuan yang dimiliki menjadi sesuatu yang bernilai, berharga dan bermanfaat. Kreativitas manusia dalam menciptakan suatu karya dapat dikatakan, bahwa manusia mampu meningkatkan potensi yang dimiliki melalui upaya kreatif menciptakan hal-hal baru yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia secara luas.
Semi (2012:90) mengemukakan bahwa pendekatan moral mempunyai konsepsi dan kriteria sebagai berikut.
1.   Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi adalah karya sastra yang mengandung nilai moral yang tinggi, dapat mengangkat harkat dan martabat umat manusia.
2.   Dalam memberikan ukuran baik buruk lebih menitikberatkan pada masalah isi, seperti tema, pemikiran falsafah, dan pesan-pesan dibandingkan dengan masalah bentuk.
3.   Masalah didaktis, yakni pendidikan dan pengajaran yang dapat mengantarkan pembaca kepada suatu arahan tertentu.
4.   Pendekatan moral menghendaki sastra menjadi medium perekaman keperluan zaman, yang memiliki semangat menggerakkan masyarakat ke arah budi pekerti yang terpuji.
5.   Pendekatan moral menempatkan karya sastra lebih dari hanya sebagai sebuah karya seni.
6.   Pendekatan moral menganalisis juga masalah-masalah perjuangan umat manusia melepaskan diri dari keterbelakangan dan kebodohan, berupa aspek kesejarahan pergerakan kemajuan masyarakat dari suatu zaman ke zaman yang lain.
Melalui konsepsi yang dikemukakan oleh Semi terkait pendekatan moral dapat disimpulkan bahwa, setiap karya sastra yang dihasilkan memiliki nilai yang tinggi apabila mengandung nilai moral yang sifatnya mampu mengangkat harkat dan martabat manusia. Hal tersebut dikaitkan dengan masalah baik buruknya terhadap isi atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, terutama pesan moral yang bersifat mendidik dan memberikan pengajaran kepada pembaca. Karya sastra secara tidak langsung memberikan arahan kepada pembaca untuk melakukan suatu tindakan baik yang sifatnya mendidik. Semi juga berpendapat bahwa pendekatan moral menginginkan karya sastra menjadi medium perekaman zaman, artinya suatu kejadian yang telah terjadi dapat diungkapkan melalui sastra. Melalui perekaman peristiwa yang diceritakan tersebut, dapat ditemukan adanya pesan atau hikmah yang disampaikan secara tidak langsung oleh pengarang agar pembaca tidak melakukan hal yang sama dan menjadi sebuah pelajaran baru terkait pendidikan moral.
Semi mengungkapkan bahwa di dalam pendekatan moral, karya sastra ditempatkan lebih dari hanya sebagai sebuah karya seni. Karya sastra memang berbeda dengan karya seni lainnya. Karya sastra tidak hanya sekedar memberikan hiburan, namun memberikan pengajaran yang bermakna. Karya sastra yang menyuguhkan nilai-nilai moral mampu menggugah jiwa dan perasaan pembaca. Oleh karena itu, pendekatan moral menempatkan karya sastra lebih dari karya seni lainnya. Selain itu juga, pendekatan moral menganalisis masalah perjuangan umat manusia lepas dari keterbelakangan, hal ini menjelaskan bahwa melalui karya sastra pengarang mampu melukiskan suatu kejadian dari masa ke masa agar diketahui oleh generasi berikutnya. Pentingnya pendekatan moral terkait perekaman jaman agar peristiwa yang terkait sejarah tetap terjaga keberadaannya, walaupun melalui karya sastra yang telah diolah sedemikian rupa oleh pengarangnya.
Konsepsi dan kriteria pendekatan moral yang dikemukakan oleh Semi, memberikan perbedaan antara pendekatan moral dengan pendekatan lain dalam menganalisa suatu karya sastra. Oleh karena itu, pentingnya keenam aspek tersebut perlu diperhatikan dalam pendekatan moral.
Untuk memudahkan pengkajian suatu aspek dalam karya sastra, maka diperlukan metode ataupun langkah-langkah yang harus dilakukan. Begitu pula dalam pendekatan moral, menurut Semi (2012:91) metode atau langkah kerja pada pendekatan moral sebagai berikut,
1.     Di dalam menghadapi karya sastra yang paling pokok diperhatikan adalah isinya. Isi yang perlu diperhatikan terdiri atas pemikiran, falsafah, dan nilai-nilai serta tujuan dan pesan-pesan penulis.
2.     Aspek didaktis mendapat kajian secara kritis, hal tersebut dapat dilihat melalui kajian perwatakan peran tokoh cerita.
3.     Pembahasan aspek moral hendaknya dibedakan dengan pembahasan moral yang berada dalam teks sekolah. Masalah moral menjadi titik perhatian utama dan tidak mengorbankan aspek kesastraannya. Karya sastra harus dipahami dari segi moral yang baik/putih maupun yang buruk/hitam yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan yang menjadi ciri khas karya sastra.
4.     Pendekatan moral memperhatikan masalah kesan dan resepsi pembaca karena yang menentukan berfaedah atau tidak karya sastra bergantung kepada kesan dan resepsi pembaca.
Dari metode atau langkah kerja yang dikemukakan oleh Semi tersebut, hal yang utama dalam menganalisa suatu karya sastra adalah memfokuskan pada isi karya sastra. Di dalam isi suatu karya sastra dapat ditemukan beragam pemikiran atau ide, falsafah masyarakat dan nilai-nilai yang yang disampaikan terkait nilai moral, nilai budaya, nilai spiritual dan lainnya. Jadi isi cerita sangat menentukan kualitas sebuah karya sastra. Aspek didaktis yaitu pendidikan dan pengajaran melalui kajian perwatakan peran tokoh cerita perlu menjadi fokus kedua dalam pendekatan moral. Melalui perwatakan tokoh cerita, dapat diketahui seberapa besar pesan moral yang ingin disampaikanpengarang kepada pembaca. Pengarang memiliki strategi khusus untuk menempatkan tokoh cerita sesuai perwatakan yang dipilih.
Aspek moral tentang baik atau burukyang merupakan pembanding karya sastra dianggap sesuatu yang menjadi ciri khas sebuah karya sastra. Untuk membedakan antaraa karya sastra yang beragam tentunya dapat diketahui dari ciri yang memberikan perbedaan. Ciri tersebut dapat dilihat dari penataan inti cerita yang disampaikan pengarang. Pengarang lebih teliti dalam menyuguhkan cerita. Setiap alur cerita, penokohan, masalah yang diungkapkan terkait isi cerita ditampilkan secara lebih dan hal ini menjadi ciri khas atau pembeda dengan karya sastra lainnya.
Semi juga mengungkapkan bahwa kesan pembaca terhadap karya sastra yang telah dibaca sangat berpengaruh terhadap penilaian suatu karya sastra. Manfaat suatu karya sastra ditentukan seberapa jauh pembaca mampu mengapresiasi karya sastra yang dibacanya. Pembaca merasa berkesan dan terpuaskan dengan membaca karya yang dianggap bernilai lebih.Pembaca sebagai penikmat karya sastra tidak dapat dipisahkan begitu saja, pembaca turut andil dalam kemajuan dan perkembangan karya sastra. Oleh karena itu, pembaca lebih teliti dalam memilih dan menentukan jenis karya sastra yang dianggap layak untuk dibaca. Dapat disimpulkan bahwa dalam pendekatan moral terdapat metode atau langkah kerja, yaitu berfokus pada isi cerita, aspek didaktis, aspek moral, dan perhatian pada masalah kesan dan resepsi pembaca sebagai penikmat karya sastra.
Selain memiliki konsepsi dan kriteria serta metode atau langkah kerja, pendekatan moral memiliki kekuatan dan kelemahan. Menurut Semi (2012:91) kekuatan pendekatan moral terletak pada upaya yang menganggap karya sastra sebagai karya yang lebih memperhatikan masalah nilai-nilai, pemikiran, dan falsafah hidup yang membawa manusia menuju ke arah kehidupan yang lebih bermutu. Dasar pemikiran Semi mengenai pendekatan moral yang lebih menekankan bahwa nilai, dasar pemikiran dan falsafah dalam karya sastra mampu membuat pola pikir pembaca berubah. Pembaca lebih tertarik terhadap karya sastra yang dianggap memiliki nilai tertentu. Nilai tersebut membuat pembaca menjadi tertarik untuk melakukan arahan atau sesuatu yang sifatnya mengajak.Selain itu, dasar pemikiran yang menjadikan karya sastra tersebut lebih berbobot, yaitu mampu memberi memberikan inspirasi bagi pembaca. Pembaca mendapatkan sesuatu yang baru dari karya sastra yang dibaca, terutama hal-hal baru yang membawa ke arah kehidupan yang lebih baik.
Menurut Semi (2012:92) pendekatan moral memiliki kelemahan, yaitu:
1.     Berkecenderungan untuk melengahkan masalah bentuk dengan lebih banyak memperhatikan aspek isi,
2.     Sukar sekali merumuskan konsep moral karena pengertian moral bisa berubah-ubah dan tidak sama bagi setiap orang dan pada setiap waktu,
3.     Pendekatan moral berkecenderungan untuk menjurus kepada ukuran nilai moral keagamaan, dan
4.     Terdapat kemungkinan mengidentikkan hal yang dilukiskan pengarang dalam karyanya dengan sikap hidup beragama pengarang.
Pendapat Semi mengenai kelemahan pendekatan moral bahwa pada dasarnya seorang pengarang lebih melengahkan masalah yang berkaitan dengan bentuk karya sastra. Melengahkan masalah bentuk yang di maksud yaitu, pengarang lebih mengutamakan aspek isi dibandingkan hal-hal yang mendukung karya sastra seperti struktur cerita, alur cerita, gaya bahasa dan lainnya yang merupakan bagian penting dalam karya sastra. Pengarang lebih mengutamakan aspek isi yang merupakan inti dari cerita. Adanya pengecualian terhadap bentuk karya sastra, menyebabkan sastra akan mengalami kekurangan. Unsur bentuk dan aspek isi seharusnya sejalan, akan tetapi pengarang lebih menyoroti masalah isi yang berkenaan dengan pesan moral, sehingga bentuk karya sastra dilengahkan/diacuhkan.
Perumusan konsep moral yang selalu berubah terkait pengertian moral yang berbeda pada setiap orang merupakan kelemahan dalam pendekatan moral. Pada dasarnya pengertian konsep moral pada setiap orang berbeda. Perbedaan konsep moral menjadi suatu permasalahan dalam upaya menafsirkan pesan yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Adanya kesalahan penafsiran dalam pesan moral dapat berdampak negatif terhadap karya sastra itu sendiri. Selain itu, konsep moral biasanya dikaitkan dengan akhlak yang merupakan bagian dari ukuran nilai moral keagamaan. Konsep moral keagamaan dalam pendekatan moral menyebabkan karya sastra dianggap sebagai jurang pemisah antara penikmat sastra yang tergolong religius dan Atheis. Selain itu, pengarang mengidentikan karyanya dengan sikap hidup beragama. Hal ini menjadikan sebuah karya sastra identik dengan agama tertentu.
Dari penjabaran di atas, juga dukung oleh pendapat Semi, dapat disimpulkan bahwa kelemahan pendekatan moral terletak pada masalah isi, pengertian konsep moral, kecenderungan menjurus kepada ukuran nilai moral keagamaan, dan identiknya karya sastra dengan kehidupan beragama pengarang.
D. Sumber Data dan Data
Sumber data dan data merupakan dua hal yang menjadi bahan pertimbangan dalam memilih masalah penelitian. Sumber data merupakan hal yang berkenaan dengan siapa, apa, bagaimana, dan mengapa terkait pemerolehan data. Data merupakan bahan jadi yang berasal dari sumber data. Sumber data dan data dalam penelitian ini, dijabarkan sebagai berikut:
1. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini adalah cerita rakyat yang dituturkan oleh seorang informan dari masyarakat asli Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Informan yang menuturkan cerita tidak sekedar hanya mampu bercerita, akan tetapi harus memenuhi kualifikasi khusus sebagai informan yang akan memberikan informasi secara akurat. Menurut pendapat Mahsun (2007:141) syarat seorang informan yang harus dipenuhi, yaitu:
a.     Berjenis kelamin pria atau wanita;
b.     Berusia antara 25-65 tahun (tidak pikun);
c.     Orangtua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya;
d.     Berpendidikan maksimal tamat pendidikan dasar (SD-SLTP);
e.     Berstatus sosial menengah (tidak rendah atau tidak tinggi) dengan harapan tidak terlalu tinggi mobilitasnya;
f.      Pekerjaan bertani atau buruh;
g.     Memiliki kebanggaan terhadap isoleknya;
h.     Dapat berbahasa indonesia, dan
i.      Sehat jasmani dan rohani.
Berbeda dengan Mahsun, menurut Endraswara (2013:154) perekaman bahan-bahan lisan dapat menggunakan model Von Sydow tentang “active bearers of traditions” (pemikul kebudayaan aktif) dan “passive bearers of traditions” (pemikul kebudayaan pasif). Pemikul kebudayaan aktif adalah orang-orang yang aktif menerima dan mengembangkan sastra lisan, seperti dalang Jemblung, dalang Kentrung dan pendongeng. Sedangkan pemikul kebudayaan pasif merupakan orang-orang yang berperan sebagai pendengar, penonton, dan pengamat.
2. Data
Data adalah bahan penelitian, bahan yang di maksud merupakan bahan jadi, dari bahan itulah obyek penelitian dapat dijelaskan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data kualitatif. Menurut Nawawi, (1987:97) data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kalimat ataupun uraian. Untuk data kualitatif yang ada dalam penelitian ini, penulis mengambil data berupa kutipan kata, kalimat, ataupun paragraf yang mengandung nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng yang meliputi: nilai pendidikan karakter yang berhubungan dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, serta alam lingkungan.
E. Teknik dan Alat Pengumpul Data
1. Teknik Pengumpul Data
Teknik pengumpulan data merupakan suatu langkah untuk mendapatkan data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a.     Teknik Simak Libat Cakap
Menurut Sudaryanto (1993:134) dalam teknik simak libat cakap, peneliti sebagai alat yang dapat dilibatkan secara langsung dalam membentuk dan memunculkan calon data. Peneliti melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak informan. Peneliti terlibat langsung dalam proses dialog bersama informan, yaitu Ibu Adriana (Tin ting) binti Agato Nyurai dan Ibu Halimah (Ayang) binti Usup Nyabukng pada lokasi dan waktu yang berbeda.
b.     Teknik Rekam
Menurut Muhammad (2011:210) dalam teknik rekam, peneliti melakukan perekaman menggunakan alat rekam yang telah dipersiapkan. Teknik rekam bertujuan untuk merekam semua aktivitas dialog atau penuturan oleh informan terkait informasi yang diberikan. Selain itu, perekaman bertujuan untuk mengawetkan data untuk ditranskripkan ke bentuk tulisan dan menghindari terlewatnya data-data yang dianggap penting. Dalam penelitian ini, penulis merekam semua percakapan pada situasi yang berbeda dengan menggunakan alat perekam berupa hand phone Nokia N70.
c.     Teknik Catat
Menurut Sudaryanto (1993:135) dalam teknik catat, peneliti melakukan pencatatan menggunakan alat tulis tertentu untuk mencatat informasi yang mendukung. Informasi yang dianggap penting dicatat secara ringkas tujuannya untuk membandingkan dan memperjelas terkait penggunaan teknik sebelumnya. Pencatatan dilakukan pada kartu data yang telah disediakan, untuk selanjutnya dilakukan pengklasifikasian data berdasarkan kelompoknya masing-masing.
2.  Alat Pengumpul Data
Sesuai dengan teknik pengumpulan data yang telah ditetapkan, maka diperlukan alat pengumpul data yang sesuai dengan teknik dan jenis data yang hendak diperoleh. Adapun alat pengumpul data dalam penelitian ini, yaitu:
a.     Human Instrument
Peneliti sebagai human Instrument berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan data-data yang disampaikan secara langsung oleh informan. Keterlibatan langsung peneliti dalam percakapan yang dilakukan dengan menyimak secara cermat setiap penuturan yang disampaikan. Peneliti memahami, menafsirkan sendiri setiap data yang dituturkan oleh informan.
b.     Alat Perekam
Peneliti menyiapkan alat perekam yang digunakan untuk merekam proses penuturan yang dilakukan oleh informan. Alat perekam digunakan bertujuan untuk mengawetkan data, agar data tetap utuh ketika proses analisis dilaksanakan. Adapun alat perekam yang digunakan pada penelitian ini adalah hand phone Nokia N70.
c.     Kartu Data
Kartu data digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan klasifikasi data yang telah ditetapkan. Pada penelitian ini, kartu data digunakan setelah data ditranskripsikan dalam bentuk tulisan. Data yang di input pada kartu data berupa, kata, kalimat, maupun paragraf dalam bahasa Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Penggunaan kartu data bertujuan untuk mengklasifikasikan data berdasarkan nilai karakter manusia yang berhubungan dengan kewajiban terhadap Tuhan pada cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Kartu data yang digunakan sebagai alat pengumpulan data pada penelitian, sebagai berikut:
Tabel. 1 Kartu Data Nilai Pendidikan Karakter yang berhubungan dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan
No
Wujud Nilai Karakter
Jumlah Data
No. Urut Cerita








Kartu data digunakan sebagai alat untuk memudahkan penulis dalam mengumpulkan data berdasarkan hubungan dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa serta alam lingkungan.

F. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2014:280).
Teknik analisis data dalam penelitian ini meliputi:
1.     Transkripsi
Peneliti mentranskripsikan hasil percakapan ke bentuk tulisan, selanjutnya penulis melakukan reduksi data atau menghilangkan data yang tidak diperlukan pada hasil rekaman atau data kosong, seperti rekaman kurang jelas karena suara gemuruh ataupun suara informan yang kurang jelas karena jarak yang terlalu jauh saat proses pengambilan data.
2.     Membaca Secara Cermat
Pada tahap ini, peneliti membaca secara cermat hasil transkripsi cerita rakyat dalam Bahasa Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Setiap kata, kalimat maupun paragraph, dibaca dan dipahami dengan saksama agar tidak terjadi kekeliruan pada tahap pengklasifikasian data.
3.     Klasifikasi
Peneliti mengklasifikasi data berupa kata, kalimat ataupun paragraf yang mengandung nilai-nilai pendidikan karakter terkait hubungan dan kewajiban manusia terhadap Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, serta alam lingkungan yang terdapat dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng.
4.     Analisis
Peneliti melakukan analisis terhadap data yang telah diklasifikasi sesuai nilai pendidikan karakter yang telah ditetapkan, yaitu nilai pendidikan karakter yang berhubungan dengan kewajiban manusia dengan Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, serta alam lingkungan berdasarkan kutipan kata, kalimat atau paragraf yang terdapat dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng.
5.     Menyimpulkan
Peneliti memberikan simpulan terhadap data yang telah dianalisis, terkait nilai pendidikan karakter yang ada dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Data yang disimpulkan merupakan data akhir yang siap untuk dilaporkan.

G.  Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data dalam penelitian ini, yaitu:
1.     Kecukupan Referensial
Kecukupan referensial digunakan peneliti dalam pengecekan keabsahan data. Menurut Moleong (2014:334), kecukupan referensial adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Kecukupan referensial yang digunakan yaitu, berupa data percakapan yang didukung oleh hasil rekaman percakapan bersama informan.
2.     Triangulasi
Peneliti melakukan triangulasi sebagai cara untuk memeriksa keabsahan data. Menurut Moleong (2014:330), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Pada triangulasi, dilakukan teknik pemeriksaan yang memanfaatkan sumber, metode, penyidik, dan teori. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode.
3.     Ketekunan Pembaca/Keajegan
Ketekunan pembaca dilakukan peneliti untuk memeriksa keabsahan data. Menurut Moleong (2014:329), ketekunan pembaca berarti teknik pemeriksaan keabsahan data berdasarkan ketekunan peneliti dalam melakukan kegiatan pengamatan mencari secara konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan atau tentatif. Ketekunan pembaca bertujuan untuk menemukan ciri-ciri dan unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci dan mendalam.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang berisi pemaparan data berupa kutipan-kutipan yang mengandung nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Adapun, hasil dan pembahasan dipaparkan sebagai berikut.

1.     Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng, nilai pendidikan karakter yang berhubungan dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan, terdiri atas 4 nilai karakter dengan jumlah data sebanyak 11 data. Pada nilai karakter sikap saleh terdapat 3 data pada judul cerita Antu Pagayo Idup dan Nek Karantiko. Nilai karakter iman dan takwa terdapat 3 data pada judul cerita Antu Pagayo Idup. Nilai karakter syukur terdapat 3 data pada judul cerita Antu Pagayo Idup dan Nek Karantiko. Nilai karakter dapat menghormati Sang Pencipta terdapat 2 data pada judul cerita Antu Pagayo Idup dan Nek Karantiko. 

2.  Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka pembahasan nilai pendidikan yang berhubungan dengan Kewajiban Manusia terhadap Tuhan dalam Cerita Rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng dijabarkan pada analisis kutipan berikut.
a.     Cerita Antu Pagayo Idup
 1) Sikap Saleh (Devout)
Nilai karakter sikap saleh memiliki makna mencurahkan segala perhatian untuk bertindak berdasarkan ketaatan kepada ajaran agama atau pemenuhan terhadap kewajiban-kewajiban agama, tulus, ikhlas. Sikap saleh dapat diwujudkan melalui kehidupan sehari-hari manusia seperti menjalankan ibadah agama terutama segala yang diperintah sesuai ajaran agama. Sikap saleh memberikan manfaat dalam pembentukan karakter manusia, terutama untuk membimbing ke arah yang lebih baik. Dengan hidup saleh, manusia akan lebih mendekatkan dirinya kepada Sang Maha Pencipta dengan menjalankan segala kewajibannya sebagai bagian dari tuntunan ke arah kesempurnaan.
Berdasarkan penjelasan di atas nilai pendidikan karakter mengenai sikap saleh yang terdapat dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng terdapat pada kutipan berikut.
“Waktu mok bahanyikan, biaso sambayang ka umo, baharek boh. Bapadoh mebetok padi,” (1)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa pada zaman dahulu ketika musim panen tiba, biasanya masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng melakukan ritual sembahyang. Ritual tersebut diadakan di tengah-tengah ladang atau huma. Hal ini dilakukan sebagai tanda permohonan izin untuk memanen padi kepada Jubato Angit atau Sang Maha Kuasa. Ritual sembahyang dianggap sebagai suatu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat sepanjang tahun, tatkala musim panen padi tiba.
Berdasarkan penjelasan tersebut, ritual Sembahyang padi dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng menunjukkan adanya sikap saleh yang diwujudkan sebagai tanda ketaatan dan penghormatan kepada Sang Maha Pencipta. Pada kutipan “biaso sambayang” artinya ‘sembahyang yang biasa dilaksanakan’ menandakan bahwa masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng, sejak lama melakukan ritual sembahyang yang ditujukan kepada kepada sang maha Pencipta. Perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan hal baik yang dapat dilakukan manusia dan merupakan contoh bentuk sikap saleh yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, ritual sembayang padi dianggap sebagai suatu kewajiban masyarakat yang harus dilaksanakan secara tulus hati dan ikhlas.
2) Iman dan Takwa
          Iman dan takwa memiliki makna kepercayaan yang tinggi terhadap adanya Tuhan Sang Maha Pencipta dengan berbuat sesuai perintah dan tuntunan-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Nilai karakter iman dan takwa diharapkan dapat membentuk seseorang untuk hidup selalu beriman dengan menaruh kepercayaannya dan berpegang teguh kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Takwa kepada Sang Maha Pencipta diwujudkan manusia dengan melakukan segala perintah dan menjauhi segala yang menjadi larangan-Nya, sesuai yang dianjurkan oleh kitab suci ataupun ajaran agama.
Berdasarkan penjelasan tersebut, nilai pendidikan karakter mengenai iman dan takwa yang terdapat dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng terdapat pada kutipan berikut.
“Waktu mok bahanyikan, biaso sambayang ka umo, baharek boh. Bapadoh mebetok padi,” (1)
Kutipan tersebut menjelaskan, zaman dahulu ketika hendak memetik hasil panen padi, biasanya masyarakat mengadakan ritual (nyagohot) atau sembahyang padi yang dilakukan di ladang (umo motout) sebagai wujud permohonan ijin kepada Jubata atau Sang Maha Pencipta.
Berdasarkan penjelasan tersebut, wujud nilai karakter yang ditunjukan melalui kebiasaan menjalankan ritual atau sembahyang pada kutipan “biaso sambayang” artinya ‘sembahyang biasa dilaksanakan’ oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng, mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki suatu bentuk kepercayaan atau beriman, yaitu kepada Jubata atau Sang Maha Pencipta. Iman tersebut tampak dari adanya pengakuan kepada Jubata sebagai Sang Maha Pencipta yang telah menciptakan manusia serta segala makhluk yang harus dipuja maupun disembah. Pengakuan tersebut menunjukkan adanya nilai takwa yang dimanifestasikan melalui ritual yang dilakukan oleh masyarakat di tengah ladang (umo motout). Ritual tersebut merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh para leluhur melalui ajaran kepercayaan masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Perbuatan tersebut baik untuk ditiru oleh manusia, karena dengan beriman kepada Sang Pencipta, manusia akan menemukan rasa ketenangan dan perlindungan sehingga manusia akan melakukan hal-hal baik dan bermanfaat sesuai anjuran Sang Pencipta. Hal tersebut diperjelas dengan kutipan berikut.
“Pas sambayang padi dibarek sajian, antek (karake’, pinang, kapur), tumpi’, poe’, buah-buahan, pokok dibarek sajianlah ka tangoh umo,” (2)
Kutipan tersebut menjelaskan, ketika ritual dilaksanakan turut pula disertakan sesajen yang terdiri atas: Antek yang berisikan daun sirih, pinang, kapur, kue cucur, lemang dan segala macam buah hasil pertanian. Benda sesajen diletakkan di tengah ladang (ka tangoh umo motout).
Berdasarkan penjelasan tersebut, wujud nilai karakter beriman terlihat dari kebiasaan masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng melakukan sembahyang padi. Ritual sembahyang padi menunjukkan adanya interaksi manusia dengan Sang Maha Pencipta. Wujud interaksi dimanifestasikan melalui doa (sarapok) maupun sesajen yang dipersembahan pada kutipan “dibarek sajian” artinya ‘diberi sesajen’. Adanya hal tersebut, menunjukkan adanya iman manusia kepada Sang Maha Pemurah yang telah memberikan kelimpahan (kalimpohot) dan berkah (barakat). Bentuk ketakwaan manusia kepada Sang Maha Pencipta ditunjukkan dengan pemberian sesajen saat ritual. Persembahan yang diberikan, sebagai wujud ketakwaan manusia kepada Jubata atau Sang Maha Pencipta. Adanya hal tersebut mengindikasikan, bahwa masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng melakukan hal yang dianjurkan sesuai ajaran kepercayaan leluhurnya. Perbuatan tersebut merupakan hal baik yang dapat manusia lakukan, namun pemberian sesajen dapat diganti dengan hal-hal yang lebih bermanfaat seperti membawa kitab suci, kemudian kitab suci tersebut dibaca, direnungkan isinya dan dilakukan sesuai apa yang telah diajarkan sehingga hal tersebut dapat bermanfaat bagi manusia dan dapat mempererat hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta.
3) Syukur
Syukur memiliki makna mewujudkan rasa berterima kasih kepada Tuhan dengan perilaku yang semakin meningkatkan iman dan takwa atas segala kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan. Syukur merupakan perilaku yang ditunjukkan manusia sebagai tanda terima kasih berupa ucapan, tindakan maupun sesuatu yang tertuju kepada Sang Maha Pencipta atas pemeliharaan-Nya. Rasa syukur yang ditunjukkan manusia menandakan iman dan takwa yang dimiliki semakin meningkat. Oleh karena itu rasa syukur harus tetap terpelihara dalam kehidupan manusia dan diwujudkan secara nyata. Nilai karakter syukur yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawok seperti pada kutipan berikut.
 “Pas sambahyang padi dibarek sajian, antek (karakek, pinang, kapur), tumpik, poek, buah-buahan, pokok dibarek sajianlah ka tangoh umo,” (2)
         
Kutipan tersebut menjelaskan, ketika ritual dilaksanakan disertakan pula sesajen yang terdiri atas Antek yang berisi daun sirih, pinang, kapur, kue cucur, lemang dan segala macam buah hasil pertanian dan kemudian diletakkan di tengah-tengah ladang (umo motout).
Dari penjelasan tersebut, bentuk nilai syukur yang diwujudkan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng yaitu dengan mempersembahkan sesajen yang terdiri atas berbagai jenis makanan dan buah-buahan pada kutipan “dibarek sajian, antek (karakek, pinang, kapur), tumpik, poek, buah-buahan, pokok i-barek sajianlah i-barek sajian, antek (karakek, pinang, kapur), tumpik, poek, buah-buahan, pokok dibarek sajianlah.” Tujuannya untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Jubato atau Sang Maha Pencipta. Adanya sesajian yang dipersembahkan menandakan adanya rasa hormat manusia kepada Sang Maha Pencipta, hal tersebut merupakan hal yang baik dan dapat dilakukan oleh manusia terutama dalam pembentukan karakter pada generasi muda sehingga generasi muda dapat bersyukur atas segala anugerah yang telah diberikan oleh Tuhan.
4) Dapat Menghormati Sang Pencipta (respect for creator)
Menghormati Sang Pencipta memiliki makna menghargai Sang Pencipta dengan ditunjukkan melalui perilaku iman dan takwa serta rasa syukur atas segala nikmat-Nya. Wujud penghormatan terhadap sang pencipta dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dimanifestasikan manusia sebagai suatu kewajiban yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Bentuk penghormatan manusia menunjukkan rasa penghargaan kepada Sang Pencipta sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan nyata. Manusia yang beriman dan bertakwa, tentu mengetahui cara menghormati Sang Pencipta-nya. Manusia menempatkan Sang Pencipta sebagai pemegang otoritas terbesar dalam hidupnya. Oleh karena itu, menjalin hubungan dengan sang maha pencipta harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penjelasan di atas nilai karakter yang berhubungan dengan menghormati Sang Pencipta terdapat pada kutipan cerita berikut.
“Waktu mok bahanyikan, biaso sambahyang ka umo, baharek boh. Bapadoh mebetok padi,”(3)
Kutipan tersebut menjelaskan, ketika hendak memanen hasil pertanian, biasanya dilakukan ritual sembahyang di tengah ladang. Tujuan dilaksanakannya ritual sebagai wujud permohonan ijin kepada Jubato untuk memulai pekerjaan terutama memanen tanaman padi.
Dari penjelasan tersebut menunjukkan adanya rasa hormat yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng kepada Sang Maha Pencipta yang diwujudkan dengan melakukan ritual sembahyang yang dilaksanakan di tengah ladang (umo motout). Bentuk penghormatan dimanisfestasikan dengan permohonan ijin kepada Jubato sebagai pemegang otoritas untuk memanen hasil pertanian.
b. Cerita Nek Karantiko
1)    Sikap Saleh (Devout)
Nilai karakter Sikap saleh memiliki makna mencurahkan segala perhatian untuk bertindak berdasarkan ketaatan kepada ajaran agama atau pemenuhan terhadap kewajiban-kewajiban agama, tulus, ikhlas. Sikap saleh dapat diwujudkan melalui kehidupan sehari-hari manusia seperti menjalankan ibadah agama terutama segala yang diperintah sesuai ajaran agama. Sikap saleh memberikan manfaat dalam pembentukan karakter manusia, terutama untuk membimbing ke arah yang lebih baik. Dengan hidup saleh, manusia akan lebih mendekatkan dirinya kepada sang Maha Pencipta dengan menjalankan segala kewajibannya sebagai bagian dari tuntunan ke arah kesempurnaan.
Berdasarkan penjelasan di atas nilai pendidikan karakter mengenai sikap saleh terdapat pada kutipan berikut.
“Mulai dari kolah manusio kanal gawe. Ado Gawe Naik Dango, Sambayang Mipit, Sambayang Ngarantiko, Sambayang Ngabayot. Naik Dango, tujuanne sabagai tarimok sukur, mintok barakat ka Nek Karantiko, mintok barakat padi. Mulai dari kowolah Gawe Naik Dango,” (4)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa ritual-ritual berupa pembacaan doa (sarapok) yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng merupakan awal dilaksanakannya ritual sembahyang seperti Pesta Naik Dango, Ritual Mipit, Ritual Ngarantiko, Ritual Ngabayot. Pesta Adat Naik Dango bertujuan sebagai tanda ucapan syukur meminta berkah (barakat) kepada Jubata Angit (Nek Karantiko) atau Sang Maha Pencipta.
Berdasarkan penjelasan tersebut, beragam ritual yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng merupakan wujud sikap saleh yang dinyatakan melalui tindakan. Ritual tersebut ditujukan kepada Jubata atau Sang Maha Pencipta sebagai wujud tanda ketaatan. Wujud tanda ketaatan kepada sang maha pencipta atau sikap saleh terlihat pada ritual yang dilakukan masyarakat seperti ritual Mipit, Ngarantiko, Ngabayot dan Gawe Naik Dango. Sikap saleh yang diwujudkan masyarakat melalui ritual tersebut menunjukkan adanya rasa penghormatan kepada Sang Maha Pencipta sebagai pemberi berkah. Manusia dan Sang Maha Pencipta memiliki hubungan vertikal, manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya wajib mematuhi segala perintah dan larangan-Nya.
2)    Syukur
Syukur memiliki makna mewujudkan rasa berterima kasih kepada Tuhan dengan perilaku yang semakin meningkatkan iman dan takwa atas segala kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan. Syukur merupakan perilaku yang ditunjukkan manusia sebagai tanda terima kasih berupa ucapan, tindakan maupun sesuatu yang tertuju kepada Sang Maha Pencipta atas pemeliharaan-Nya. Rasa syukur yang ditunjukkan manusia menandakan iman dan takwa yang dimiliki semakin meningkat. Oleh karena itu rasa syukur harus tetap terpelihara dalam kehidupan manusia dan diwujudkan secara nyata. Nilai karakter syukur yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawok seperti pada kutipan berikut.
“Mulai dari kolah manusio kanal gawe. Ado Gawe Naik Dango, Sambayang Mipit, Sambayang Ngarantiko, Sambayang Ngabayot. Naik Dango, tujuanne sabagai tarimok sukur, mintok barakat ka Nek Karantiko, mintok barakat padi. Mulai dari kowolah Gawe Naik Dango,” (4)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa ritual-ritual berupa pembacaan doa (sarapok) yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng merupakan awal dilaksanakannya ritual sembahyang seperti Pesta Naik Dango, Ritual Mipit, Ritual Ngarantiko, Ritual Ngabayot. Pesta Adat Naik Dango bertujuan sebagai tanda ucapan syukur meminta berkah (barakat) kepada Jubata Angit (Nek Karantiko) atau Sang Maha Pencipta.
Berdasarkan penjelasan tersebut, nilai karakter syukur ditunjukkan oleh tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng saat mengadakan perayaan ritual. Acara yang dilakukan menunjukkan bentuk rasa syukur terhadap Jubata yang telah memberikan berkah dan perlindungan kepada manusia, ternak maupun hasil pertanian masyarakat. Dapat disimpulkan nilai karakter syukur pada pada cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng yaitu masyarakat mengadakan upacara ritual yang tujuannya kepada Sang Pencipta dan hal  tersebut merupakan contoh perbuatan baik yang dapat dilakukan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
(3) Dapat Menghormati Sang Pencipta (respect for creator)
Menghormati Sang Pencipta memiliki makna menghargai Sang Pencipta dengan ditunjukkan melalui perilaku iman dan takwa serta rasa syukur atas segala nikmat-Nya. Wujud penghormatan terhadap sang pencipta dapat dilakukan dengan berbagai cara. Beragam cara tersebut dimanifestasikan manusia sebagai suatu kewajiban yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk penghormatan yang dilakukan manusia menunjukkan rasa penghargaan kepada Sang Pencipta sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan manusia. Manusia yang beriman dan bertakwa, tentu mengetahui cara menghormati Sang Pencipta-nya. Manusia akan menempatkan Sang Pencipta sebagai pemegang otoritas terbesar dalam hidupnya. Oleh karena itu, menjalin hubungan dengan sang maha pencipta harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penjelasan di atas nilai karakter yang berhubungan dengan menghormati Sang Pencipta terdapat pada kutipan berikut.
“Mulai dari kolah manusio kanal gawe. Ado Gawe Naik Dango, Sambayang Mipit, Sambayang Ngarantiko, Sambayang Ngabayot. Naik dango, tujuanne sebagai tarimok sukur, mintok barakat ka Nek Karantiko. Mintok barakat padi, mulai dari kowolah Gawe Naik Dango.” (4)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa ritual-ritual berupa pembacaan doa (sarapok) yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng merupakan awal dilaksanakannya ritual sembahyang seperti Pesta Naik Dango, ritual Mipit, ritual Ngarantiko, ritual Ngabayot. Pesta Adat Naik Dango bertujuan sebagai tanda ucapan syukur meminta berkah (barakat) kepada Jubata Angit (Nek Karantiko) atau Sang Maha Pencipta.
Dari penjelasan tersebut, wujud penghormatan kepada Sang Maha Pencipta dilakukan dengan mengadakan beragam ritual oleh masyarakat Dayak Salako Garantukng Sakawokng seperti pada kutipan “Ado Gawe Naik Dango, Sambayang Mipit, Sambayang Ngarantiko, Sambayang Ngabayot. Naik dango, tujuanne sebagai tarimok sukur, mintok barakat ka Nek Karantiko. Mintok barakat padi.” Ritual tersebut memiliki makna dan nilai tersendiri, yang mampu mengarahkan manusia agar menunjukkan rasa hormat kepada Jubata atau Sang Pencipta yang telah memberikan berkat dan perlindungan kepada manusia.

IV. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan, nilai pendidikan karakter yang terdapat pada cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng, sebagai berikut:
Nilai pendidikan karakter yang berhubungan dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan terdapat 4 nilai karakter yang meliputi; sikap saleh sebanyak 3 data, iman dan takwa sebanyak 3 data, syukur sebanyak 3 data, dan dapat menghormati Sang Pencipta sebanyak 2 data.
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan saran adalah sebagai berikut:
1.     Para peneliti lain dapat mengembangkan hasil penelitian nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng dari aspek yang lain.
2.      Para pembaca dapat menerapkan hasil penelitian ini sebagai bahan acuan dalam pengembangan pendidikan karakter di masyarakat maupun sekolah.
3.     Generasi muda dapat memperkenalkan kembali cerita-cerita lama, sebagai upaya pelestarian kearifan lokal.
4.     Hasil penelitian nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam pedoman pembuatan karya ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Alloy, Sujarni., dkk. 2007. Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi.
Barnawi & M. Arifin. 2015. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Endaswara, Suwardi, 2008. Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Endaswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kothari, G. R. 2004. Research Methodology Methodes and Tehniques. New Delhi: New Age International (P) Limited, Publisher.
Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Muhammad, 2011. Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nawawi, Hadari. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Samani dan Hariyanto. 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Satori dan Komariah. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.
Semi, M. Atar. 2012.  Metode Penelitian Sastra. Bandung: CV. Angkasa.
Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistic. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Takdir, Simon. 2017. Austronesia Dayaka Tentang Kelompok Suku Salako Dayaka Borneo. Pontianak: Top Indonesia.