HENDRA BAHARI SINGKAWANG ADALAH SEORANG SENIMAN ASAL KOTA SINGKAWANG, KALIMANTAN BARAT NEGARA INDONESIA.
Selasa, 22 September 2015
Makalah Psikologi Sastra
Psikologi
Sastra
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sastra adalah kegiatan kreatif yang menjadi alat mengekspresikan
dan menyampaikan pesan ataupun perasaan manusia. Manusia berinteraksi dan
bersosialisasi ,banyak sekali cerita dan inspirasi yang harus diutarakan karena
sifat mendasar manusia sendiri sebagai makhluk sosial. Sehingga munculah karya
sastra baik novel, puisi dan lain-lain yang dijadikan alat mengekspresikan dan
mengutarakan pesan tersebut. Perkembangan sastra pesat sekali berkembang dan
timbulah sastra sebagai cabang ilmu untuk mengkritisi suatu karya sastra, yaitu
kritik sastra. Sastra juga cabang ilmu pengetahuan yang dewasa ini didalami dan
dikaji oleh para pakar sastra. Studi sastra memiliki metode-metode yang absah
dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode ilmu-ilmu alam. Hanya saja
ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan ilmu-ilmu budaya. Ilmu-ilmu alam
mempelajari fakta-fakta yang berulang, sedangkan sejarah mengkaji fakta-fakta
yang silih berganti. Karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus
bersifat khusus, atau lebih tepat lagi : individual dan umum. Studi sastra
adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus.
Dengan berkembangannya ilmu tentang sastra maka bukan hanya unsur-unsur yang terdapat didalam sebuah karya sastra saja yang dapat dikaji atau analisis tetapi pada saat ini sastra juga dapat dikaji berdasarkan faktor-faktor yang berasal dari luar sastra itu. Faktor-faktor dari luar karya sastra yaitu sosiologi sastra, psikologi sastra serta antropologi sastra. Sosiologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya sebagai latar belakang sosialnya. Antropologi sastra, dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal usul sastra.
Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan
peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam
penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya
sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan
dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik
batin yang terkandung dalam karya sastra. Jadi, Secara umum dapat disimpulkan
bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan
melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”.
Analisis Teori Psikologi Sastra yang dilanjutkan dengan Teori Psikoanalisis dan
diaplikasikan dengan meminjam teori kepribadian ahli psikologi terkenal Sigmund
Freud. Dengan meletakkan teori Freud sebagai dasar penganalisisan, maka
pemecahan masalah akan gangguan kejiwaan tokoh utama akan dapat dijembatani
secara bertahap. Didalam makalah ini akan dikaji secara terperinci tentang
psikologi sastra dan pengaplikasiannya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat kami simpulkan berdasarkan
latar belakang diatas yaitu :
· Apakah defenisi dan tujuan Psikologi
Sastra?
· Apakah hubungan antara Psikologi dan
sastra?
· Apakah fungsi Psikologis dalam
sastra?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu penulis sangat berharap dengan adanya
makalah ini dapat menambah pemahaman mengenai psikologi sastra dan semoga
berguna bagi mahasiswa yang lainnya.
D. Manfaat Penulisan
Dengan adanya penulisan tentang Psikologi sastra ini,
diharap memberikan manfaat sebagai berikut :
· Mengetahui apa defenisi dan tujuan
dari psikologi sastra.
· Mengetahui hubungan psikologi dan
sastra
· Mengetahui fungsi dan teori
psikologi sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Psikologi Sastra
Wellek dan Austin (1989), Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu
tentang jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan
tulis-menulis. Maka jika diartikan secara keseluruhan, psikologi sastra
merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya. Ratna (2004:340)
Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama
adalah studi psikologi pengarang . Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang
ketiga studi psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari
dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Namun didasarkan pada
pendekatan psikologis lebih dekat dengan pengarang dan karya sastra maka lebih
berhubungan pada tiga gejala utama yaitu, pengarang, karya sastra dan pembaca
Ratna (2004:61) .Maka pendekatan psikologis sastra pada pengarang lebih
pada pada pendekatan ekspresif, yaitu kepengarangan. Pada karya sastra lebih
pada pendekatan objektif.
Menurut Ratna (2004:350), “Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan
mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis”. Artinya, psikologi
turut berperan penting dalam menganalisis sebuah karya sastra dengan bekerja
dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh,
maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan
dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Secara umum
dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga
melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”.
Artinya, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan Psikologi
Sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia
sastra tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam
karya sastra tersebut.
Dengan demikian dapat ditarik benang merah mengenai definisi psikologis satra
yaitu kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada karya sastra pada
pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya psikologis sastra lebih memberikan
pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya
sastra.
Psikologis sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis
seperti kejiwaan manusia. Namun memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung
dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas
dalam kebutuhan masyarakat. Secara tidak langsung karya sastra memberikan
pemahaman dan inspirasi terhadap masyarakat.
B.
Hubungan Psikologis dengan Sastra
Menurut Ratna (2004:343) Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami
hubungan antara psikologis dengan sastra. Pertama , memahami unsur kejiwaan
pengarang sebagai penulis, kedua memahami unsur kejiwaan tokoh fiksional
sastra. Ketiga memahami kejiwaan pembaca. Walaupun lebih menyoroti pada tokoh
fiksional dalam penerapanya karena pengaruh analisi struktualisme dimana
terjadi penolakan terhadap objek manusia, unsur-unsur yang berkaitan dengan
pengarang dianggap sebagai kekeliruan biografis. Menurut struktualisme analisis
karya sastra adalah analisis sastra secara otonom, karya sastra dianggap
sebagai entitas yatim piatu.
Dengan penjelasan tersebut jelas bahwa hubungan psikologi dan sastra sangat
erat didalam menganalisis karya sastra. Namun psikologi sastra lebih mengacu
pada sastra bukan pada psikologi praktis. Pada penerapanya sastra atau karya
sastra-lah yang menetukan teori, bukan teori yang menentukan sastra. Sehingga
dalam penelitian dipilih dahulu objek karya sastra barulah kemudian menentukan
kajian teori psikologis praktis yang relevan untuk menganalisis.
Teori dalam Psikologis
Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada
awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni
lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan
conscious (sadar). Di antara tiga lapisan itu, taksadar adalah bagian terbesar
yang memengaruhi perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena
gunung es di lautan, di mana bagian paling atas yang tampak di permukaan laut
mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di
atas permukaan. Sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah laut,
mewakili taksadar.
Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan
kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi
basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia
lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu
dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas
tiga unsur, yaitu
1. Id
Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian
sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut
Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga komponen utama
kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan
segera dari semua keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak
puas langsung, hasilnya adalah kecemasan atau ketegangan.
Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya
segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup, karena
itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak
nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.
Namun, segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis atau bahkan
mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan, kita mungkin
menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita inginkan dari tangan orang lain
untuk memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku semacam ini akan baik
mengganggu dan sosial tidak dapat diterima. Menurut Freud, id mencoba untuk
menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses
utama, yang melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan
sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.
2. Ego
Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk
menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan
bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia
nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar, prasadar, dan tidak sadar.
Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha
untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang
sesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum
memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls. Dalam banyak kasus,
impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan – ego pada
akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan
tempat.
Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls
yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk
menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang
diciptakan oleh proses primer id’s.
3. Superego
Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego.
superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi
moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat –
kami rasa benar dan salah. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian.
Yang ideal ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku
ini termasuk orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya.
Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan prestasi.
Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang
tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk,
konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego bertindak
untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan
semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat
tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis.
Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.Maka dari itu timbullah
interaksi dari ketiga unsur unsur diatas yaitu dengan kekuatan bersaing begitu
banyak, mudah untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan
superego. Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan
ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego
yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan
kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras
hati atau terlalu mengganggu.
Banyak pendapat mengatakan bahwa teori Freud hanya berhasil untuk mengungkapkan
genesis karya sastra , jadi, sangat dekat dengan penelitian proses kreatif.
Relevansi teori Freud dianggap sangat terbatas dalam rangka memahami sebuah
karya sastra. Meskipun demikian, menurut Milner ( 1992:xiii ) , peran teori
freud tidak terbatas sebagaimana dinyatakan sebelumnya. Menurutnya, teori Freud
memiliki inplikasi yang sangat luas tergantung bagaimana cara pengoprasiaannya.
Disatu pihak , hubungan psikologi dengan sastra didasarkan atas pemahaman,
bahwa sebagaimana bahasa pasien, sastra secara langsung menampilkan
ketaksadaran bahasa. Dipihak lain menyatakan bahwa psikologi Freud memanfaatkan
mimpi, fantasi, dan mite, sedangkan ketiga hal tersebut merupakan masalah pokok
didalam sastra.
Hubungan yang erat antara psikoanalisis khususnya teori-teori Freud dengan
sastra juga ditunjukkan melalui penelitiannya yang bertumpu pada karya sastra.
Teori Freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis dibalik
gejala bahasa. Oleh karena itu, keberhasilan penelitian tergantung dari
kemampuan dalam mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oelh pengarang.
Bagi Freud, asas psikologi adalah alam bawah sadar, yang didasari secara
samar-samar oelh individu yang bersangkutan. Menurutnya, ketaksadaran justru
merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.
Psikologis sastra menetapkan karya sastra sebagai posisi yang lebih dominan.
Atas dasar karya sastra yang sangat luas, dengan tradisi berbeda-beda, unsur
psikologis pun menampilkan aspek yang berbeda-beda. Novel tidak menlukiskan
tokoh-tokoh dari semestaan yang sama, dari pihak novel yang lain. Novel juga
tidak menampilkan tokoh secara individual. Pada dasarnya karakterisasi
merupakan multikultural.
Dengan demikian maka jelas maka psikologi sastra bukanlah menganalisis
kebenaran psikologis namun lebih mempertimbangkan kerelevansian dan peran studi
psikologi. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh maka dapat dianalisi konflik
batin, yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hal
tersebut tentulah tidak begitu saja terlihat dengan kasat mata , namun dengan
meneliti sastra dengan teori psikologis yang relevan.
C.
Kegunaan psikologi sastra
Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan
pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat
pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu
diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu sendiri.
Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu
mencocokannya dengan dokumen-dokumen diluar karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat
menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis
kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi
mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena
jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan ( fissure ),
ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya
sastra.
Proses Kreatif Sastra dalam psikoanalisis
Psikoanalisis menyimpulkan proses kreatif (proses
terciptanya) karya sastra ke dalam dua cara.
1. Sublimasi
Konsep sublimasi terkait dengan konsep ketidaksadaran. Sebagaimana telah
diuraikan di atas, dalam lapisan taksadar manusia terdapat id yang selalu
menginginkan pemuasan dan kesenangan. Seringkali keinginan id itu bertentangan
dengan superego maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, dan karenanya
keinginan itu tidak mungkin direalisasikan, kecuali orang tersebut mau dianggap
tidak sopan, jahat, cabul, dsb.
Tetapi dorongan-dorongan tersebut tetap harus dipuaskan. Tetapi agar dapat
diterima oleh norma masyarakat, dorongan-dorongan itu lalu dialihkan ke dalam
bentuk lain yang berbeda sama sekali, misalnya dalam bentuk karya seni, ilmu,
atau aktivitas olah raga. Proses pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang
dapat diterima masyarakat itu disebut sublimasi.
Menurut Freud, sublimasi inilah yang menjadi akar dari kebudayaan manusia.
Dalam sublimasi, terkandung kreativitas atau kemampuan menghasilkan sesuatu
yang baru. Puisi, novel, lukisan, teori keilmuan, aktivitas olah raga,
pembuatan peralatan teknik, bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari
dorongan-dorongan id yang telah dimodifikasi.
2. Asosiasi
Di samping tafsir mimpi, teknik terapi yang dikembangkan Freud dalam
psikoanalisisnya adalah asosiasi bebas (free association). Asosiasi bebas
adalah pengungkapan atau pelaporan mengenai hal apapun yang masuk dalam ingatan
seseorang yang tengah dianalisis, tanpa menghiraukan betapa hal tersebut akan
menyakitkan hati atau memalukan. Dalam situasi terapi, biasanya pasien berada
dalam posisi berbaring santai di atas ranjang, dan terapis duduk di sampingnya.
Terapis memerintahkan pasien untuk mengucapkan hal apapun yang terlintas dalam
pikirannya. Jika pasien agak sulit mengatakan sesuatu, terapis bisa membantu
merangsang asosiasi pada pikiran pasien dengan mengucapkan kata-kata tertentu.
Asosiasi bebas, atau “asosiasi” saja, sebenarnya merupakan
suatu teknik yang sudah lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang untuk
memeroleh ilham. Ketika proses penulisan dimulai, pengarang yang menggunakan
teknik asosiasi akan menuliskan apa saja yang masuk ke dalam pikirannya.
Setelah ilhamnya habis, barulah ia memeriksa tulisannya dan mengedit, menambah
atau mengurangi, dan menentukan sentuhan akhir. Seringkali dalam melakukan
asosiasi ini, pengarang mengingat-ingat segala kejadian yang pernah dialaminya,
khususnya kejadian di masa anak-anak, atau memunculkan kembali pikiran-pikiran
dan imajinasinya yang paling liar. Itulah dorongan id yang sedang dipanggil
kembali.
Pada sebagian pengarang, asosiasi itu dibantu pemunculannya
dengan melakukan “ritual” tertentu, atau memilih waktu-waktu dan tempat
tertentu, yang khas bagi pengarang itu sehingga ide atau ilhamnya mudah
mengalir. Wellek dan Warren memberikan contoh-contoh menarik dari kebiasaan
aneh para pengarang. Schiller suka menaruh apel busuk di atas meja kerjanya.
Balzac menulis sambil memakai baju biarawan. Marcel Proust dan Mark Twain
menulis sambil berbaring di ranjang. Sementara pengarang di negeri kita,
misalnya Emha Ainun Najib suka menulis dengan menggunakan kertas warna-warni.
Sewaktu di Bloomington, Budi Darma senang berjalan-jalan tak tentu arah dan
tujuan, sekadar menikmati pemandangan yang ada di sekelilingnya. Ada pengarang
yang lebih terinspirasi kalau menulis di malam hari, ada juga yang lebih suka
menulis di pagi hari atau senja hari. Ada yang hanya bisa menulis di tempat
sepi, ada juga yang menulis di tempat ramai seperti di kafe. Itu semua
bergantung pada kebiasaan pengarang yang bersangkutan.
Itulah di antaranya konsep-konsep psikoanalisis yang dapat
dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan teori Freud, sedikit dapat
disimpulkan bahwa sumber ide karya seni adalah id yang berada dalam
ketidaksadaran kita, dan sebagian dari kesadaran. Sedangkan proses munculnya
ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi dan asosiasi.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
· Dengan demikian dapat definisi
psikologis satra yaitu kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada karya
sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya psikologis sastra
lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang
terkandung dalam karya sastra.
· Psikologis sastra tidak bermaksud
untuk memecahkan masalah psikologis praktis seperti kejiwaan manusia. Namun
memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra.
Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam kebutuhan masyarakat.
Secara tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman dan inspirasi terhadap
masyarakat.
· Psikoanalisis dapat digunakan untuk
menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif.
Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih
bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi,
dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat
membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan
distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra.
· Menurut Ratna (2004:350), “Psikologi
Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi
psikologis”. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan
sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut
baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya.
· Penelitian psikologi sastra dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, melalui pemahaman teori-teori
psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua,
dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian,
kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan
analisis.
· Psikoanalisis dalam karya sastra
berguna untuk menganalisis tokoh-tokoh dalam drama atau novel secara
psikologis. Tokoh-tokoh tersebut umumnya merupakan imajinasi atau khayalan
pengarang yang berada dalam kondisi jiwa yang sehat maupun terganggu, lalu
dituangkan menjadi sebuah karya yang indah.
· Konsep Freud yang paling mendasar
adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf
kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar),
lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Tetapi basis
konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih
banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal
dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur,
yaitu id, ego, dan superego.
DAFTAR PUSTAKA
Id, Ego, dan Superego Oleh Sigmund Freud _ BELAJAR
PSIKOLOGI.htm
Wikipedia.org//psikologis sastra//
Kutha Ratna, Nyoman, Prof. Dr. S.U. 2004. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
- See more at:
http://vaniojankjank.blogspot.co.id/2015/01/makalah-psikologi-sastra.html#sthash.Iha6MpbO.dpuf
Langganan:
Postingan (Atom)