Selasa, 11 Oktober 2016

oh ibu ku




Sore itu terdengar nada  histeris, menggelegar memecah suasana di area pemakaman umum, yang menandakan bahwa di sana ada sebuah upacara penguburan. Upacara dilakukan pada jenazah seorang ibu, ibu tercinta yang telah pergi selamanya kemarin subuh setelah sebulan lamanya, berperang melawan komplikasi penyakit.
“ segera turunkan peti itu ! ’’ suara pak pendeta memberikan tanda perintah dengan tangan  memberikan  aba-aba kepada para pengantar jenazah, agar menurunkan peti jenazah itu.
’’ satu...  dua....   tiga .... okeee.... ” para pengantar jenajah serentak mengangkat peti dan menurunkan nya dengan bergotong-royong. Perlahan peti diturunkan dari mobil.
Setelah peti diturunkan, kemudian mereka mengatur posisi peletakan arah peti, sesuai dengan adat dan tradisi daerah setempat.
 “ Posisi kaki di arahkan ke selatan ”  perintah seorang tetua kampung.
 “ Sip, oke,oke sudah pas.” Tambahan lagi dari tetua kampung itu.
Kemudian pak pendeta memberikan aba – aba untuk membuka peti jenazah itu. Peti  itu sangat  indah, berwarna coklat tua, berukir empat malaikat dengan bunga teratai indah, terdapat dua pintu yang dapat dibuka. Peti  seharga Rp3 juta rupiah itu memang sebanding dengan rupa yang ditampilkan.
“ Sebelum upacara penguburan dilaksanakan, silahkan peti ini dibuka ” perintah pak pendeta kepada para pengantar.
Setelah peti itu dibuka,tampaklah  di dalamnya  terbujur kaku sesosok  wanita tua yang cantik dengan make up dan pakaian yang indah yang tak lain adalah ibu.
 “ Marilah kita melihat wajah Ny.Kinah  Usuf untuk yang terakhir kali, seorang figur wanita yang berhati mulia, tegas, bijaksana dan tegar ” sambil mengangkat tangan nya kearah para pelayat dan memberi aba-aba  untuk  mengalihkan pandangan kearah  peti jenazah yang telah terbuka.
Wajah ibu tampak bahagia, kemerahan, dengan riasan alis yang hitam ,rambut hitam tersisir rapi seakan belum meninggal. Semua yang menyaksikan seolah-olah melihat wanita yang sedang tertidur pulas menikmati saat  tidur panjangnya dalam sebuah peti jenazah yang indah.
Tetesan air mata membanjiri mata para pelayat yang hadir di pemakaman Ny.Kinah usuf. Tetesan air mata yang tidak dapat dibendung saat mengiringi kepergian ibu.
 “ Sungguh tidak disangka, ibu Kinah pergi secepat ini.” Ucap seorang pelayat.
Suasana sore itu diliputi oleh kesedihan dan duka yang mendalam. Tak dapat aku bayangkan, dan  aku harus menerima kenyataan,aku harus berpisah dengan ibu tercinta yang selama ini menemani kami, saat suka maupun duka.
Saat peti ditutup, hanya satu ucapku kepada ibu, “ Selamat jalan ibu,semoga ibu baik-baik di sana.”  Aku sangat sedih dan merasa sepi, kulihat ayah, abang, kakak, keponakan dan semua saudaraku merasa kehilangan. Wajahku  kusut penuh kesedihan yang tidak tara. Kesedihanku  semakin  menggunung, seakan  telah terjadi bencana besar yang menimpa hidupku, dan itu memang terjadi hari ini, Minggu,1 November 2009.
Di tengah kesedihan itu,tampak seonggok gunung kecil berukuran dua kali satu meter, di atasnya bertaburan  bunga berwarna – warni dengan potongan daun pandan tak ketinggalan wewangian dan karangan bunga dari para pelayat. Pada salah satu ujung onggokan tanah itu, berdiri sebuah tiang salib berwarna hitam yang bertuliskan  RIP dengan sebuah nama wanita. Tercium di area sekitar pemakaman semerbak bau Parfum yang menusuk hidung seakan mengiringi kepergian ibu dan  mengakhiri penderitaan selama hidupnya.
Sesaat kemudian  tak terdengar lagi suara tangisan dan doa yang dipanjatkan, sepi dan lenggang.Lilin - lilin berwarna putih yang terus menyala, menanti datangnya angin yang akan segera meniup dan akhirnya lilin itupun padam. Di atas, kulihat  sekumpulan awan  hitam menumpuk membuat langit menjadi gelap,  mengisyaratkan bahwa hujan akan turun.  Aku sangat cemas saat itu,aku berharap agar hujan tidak turun, namun kenyataannya hujan memang tidak turun.
Setiap mengenang ibu aku tidak dapat melupakan saat-saat bahagia bersamanya. Saat yang paling bahagia, ketika makan bersama.
 “ Tak ada sesuatu apapun di dunia ini yang sempurna dan akan tetap abadi, semuanya akan kembali kepangkuan-Nya, kita hanya bisa menunggu kapan kita dipanggil dan menunggu giliran kita. ”  itulah ucapan ibu  kepada aku dan kakak,  ketika  kami makan bersama di ruang dapur tua yang dipenuhi tawa, canda dan kebahagiaan.
“ Ibu ingin kalian menjadi orang - orang yang berguna bagi keluarga, agama, bangsa dan negara.” Ucap ibu dengan nada bicara yang tegas.
“ Ibu masih ingat perjuangan ayah kalian dulu,saat berjuang  dan menumpas para komunis yang memberontak kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama anggota Militer tentara Siliwangi. Mereka  berjuang penuh semangat  untuk bangsa. Jiwa nasionalisme dan patriotisme ayah kalian memang amat besar. Ayah tidak pernah  takut dan gentar, apalagi mengeluh akan kematian yang sewaktu – waktu datang menimpa. Berjuanglah untuk negeri ini selagi kalian bisa, tumpas semua kejahatan, keserakahan dan kezaliman yang ada. Walau kalian harus menderita kehilangan kebahagiaan ,kehilangan harta namun kalian tetap mempertahankan  harga diri dan maruah negeri ini.”  Ucapan  ibu yang tulus sambil memberikan wejangan dan pengajaran yang bagiku amatlah berharga. Tampak sesekali ibu mengambil sesesuap nasi dari dalam piring seng dengan tangannya, lalu memasukkan ke dalam mulutnya untuk dikunyah, lalu mengambil segelas air putih dari ketel almunium berwarna putih.
Ibu memang gemar bercerita, apalagi di saat makan bersama. Ia menceritakan kebahagiaan isi hatinya kepada aku dan kakak  yang selalu dekat dengannya. Terkadang kami bergurau dan tertawa bersama, hingga tawa dan candaan kami terdengar di luar rumah.Ibu memang memiliki suatu kharisma dan pesona tersendiri, laksana seorang Dewi pelindung yang selalu melindungi anak – anaknya dari kejahatan, ibu selalu memberikan wejangan dan tuntunan. Kebahagiaan yang  ibu miliki merupakan nafas kehidupan kami semua.
Pernah  saat itu ibu menderita sakit keras, aku dan kakak sangat panik sekali. Ibu tidak bisa bercakap – cakap dikarenakan meneguk cairan minyak kayu putih yang  ada di atas meja makan. Hal ini terjadi karena ibu mengira bahwa botol itu berisi minuman penyegar tenggorokan. Kejadian ini membuat syokk  berat kepada aku dan kakak. Ibu memang sering sakit – sakitan, kata dokter ibu menderita penyakit komplikasi, penyakit lambung kronis, maag, ginjal, rematik pada tulang, dan rabun mata. Hal ini membuat ibu sangat menderita, tak ada tawa dan rasa kebahagiaan.
Pada saat kami makanpun ibu tak bisa tersenyum karena menahan betapa kerasnya sakit yang ia derita.
“ Ibu tak ada nafsu untuk makan, ibu hanya ingin minum dan minum. Tenggorokan ibu kering, Ibu sangat haus... ’’ ujar ibu sambil membungkuk dan memegangi perutnya. terkadang sesekali memegangi tenggorokan  yang mungkin kering dan membutuhkan setetes air.
“ iya bu,tapi Ibu juga harus makan agar ibu bisa kuat.” Sahut ku dengan sabar.
Aku tahu ibu sangat menderita, dengan sakit yang ia alami. Sakit yang dialami itu, merupakan akibat yang selama ini ibu lakukan. Ibu lupa istirahat, jarang makan. Aku sangat bangga kepada ibu, selain memiliki kharisma,  ia juga cekatan dalam melakukan segala sesuatu. Ibu seorang yang ulet, mau mencoba  hal yang dianggap baru.
Setiap hari ibu bekerja di sawah, tak mengenal waktu. Panas terik dan hujan deras bukanlah  suatu halangan bagi ibu. Walau cuaca buruk , ia tetap berangkat ke sawah. Bagi ibu, membantu ayah untuk mencari sesuap nasi amatlah penting. Ibu selalu beranggapan bahwa seorang istri harus mau  bekerja  untuk membantu suaminya. Kalau tidak mau membantu artinya istri tersebut tidak setia kepada suami dalam membina rumah tangga.
Ibu memang seorang yang periang, ramah dan suka bergaul dengan orang, terkadang teman – teman ibu dari Kampung Pakunam berkunjung ke rumah kami. Mereka ingin ngobrol bersama ibu karena lama tidak bertemu. Selain itu, mereka ingin belajar membuat keranjang yang dalam bahasa Dayak disebut Jaeje. Keranjang ini terbuat dari bilah bambu kecil,di belah tipis lalu dianyam sedemikian rupa hingga terbentuklah  Jaeje. Selain membuat jaeje , ibu juga kadang kala mengajarkan mereka menjahit atap rumbia yang terbuat dari daun sagu. Apabila sudah jadi,atap tersebut di jual ke seorang pengepul taoke cina bernama Khim Lin. Taoke itu  juga membeli keranjang yang dibuat ibu. Dari hasil penjualan keranjang dan atap itu ,kemudian ibu  membeli sembako dan sebagian disisihkan untuk uang sekolah kami. Ibu memang rajin, kata nenek ibu sejak kecil telah diajarkan bekerja keras.
Malam ini ibu terlihat sedikit aneh. Ibu agak sedikit panik. Mungkin sebabnya  hari ini ibu lembur dengan pekerjaannya, karena musim panen padi telah tiba.
 “ Pinggang ibu sangat sakit sekali, ibu ingin dipijit...” Keluh ibu sambil memegangi pinggang dan berpegangan pada daun pintu.
 “ Panggilkan Delia”  ujar ibu kepada aku dan kakak.
’’ya bu, sebentar aku panggil Delia dulu bu... ” sahutku pada ibu.
 “ Del, ibu panggil kamu tuh, minta dipijit.” Ucapku pada Delia.
’’ iya...’’ jawab Delia kepadaku. Lalu delia menghampiri ibu.
” uwak, bagian mana yang sakit ....” tanya Delia.
” Pinggang bagian belakang, badan uwak sakit Del ... ” jawab ibu.
Ibu memang senang bila dipijit oleh Delia, memang pijatan delia lembut dan diapun saat memijat disertai konsentrasi. Maka tidak mengherankan jika ibu menyukai pijatan delia.
Ibu memang memiliki sifat yang berbeda dengan perempuan kebanyakan. Ibu selalu bahagia jika ada persoalan. Ibu tidak mau membeberkan aib yang terjadi dalam rumah tangga, apalagi aib orang lain. Ibu memang seorang yang memiliki sifat misterius dan menurutku aneh. Ibu merasa bahagia apabila mendapatkan suatu masalah, baginya masalah merupakan suatu tantangan yang harus ia  jalani, hadapi dan perjuangkan dengan sebuah hasil yang nyata. Ibu mempunyai semboyan, makan tak makan yang penting bahagia bersama keluarga. Kebahagiaan keluarga sangat ibu kedepankan. Ibu tak mau bahtera rumah tangganya bersama ayah hancur karena suatu masalah yang tidak berguna. Kebahagiaan dan keutuhan keluarga harus dipertahankan.
 Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, malam datang di sertai udara dingin. Suara binatang malam mulai terdengar. Piring dan gelas-gelas kosong  bertebaran di tempat cucian, remahan nasi yang terbuang bertaburan di atas meja makan. Panci dan pekakas dapur tergeletak begitu saja di dapur. Ruangan kotor penuh butiran debu dan pasir halus yang belum disapu. Tak ada  suara wanita terdengar di dapur, tak ada bunyi gemercik air di keran. Tak ada bau nasi goreng yang dimasak, tatkala bunyi suara adzan subuh  membangunkan umatnya untuk segera sholat. Tak ada lagi acara makan bahagia  bersama ibu lagi. Semua telah sirna, semua telah pupus, semua telah pergi. Tumpukan padi penuh debu tak ada yang menyentuhnya, semua ditinggalkan begitu saja. Semua kebahagiaan  dan aktivitas bersama ibu telah hilang, senyuman  bahagia ibu telah pergi untuk selamanya. Yang tersisa hanya bunyi cicak-cicak yang merayap di atas meja makan , mengerumuni remahan sisa makanan para pelayat yang tadi siang datang ke rumah untuk melayat kepergian ibuku tersayang.



Duka Mama




Duka Mama

Tangisan memekik keras saat tangan pak pendeta memberi aba-aba untuk membuka peti jenazah indah berwarna coklat tua berukirmalaikat dan bunga teratai indahdengan dua pintuyang dapat dibuka seharga Rp3 juta rupiah. Di dalamnya terdapatsesosok jenazah wanita tua yang cantik dengan make up dan pakaian yang indah seakan belum meninggal,  “ marilah kita melihat wajah nyonya Kinah untuk yang terakhir kali, sosok wanita yang berhati mulia,tegas,bijaksana dan tegar” sambil mengacungkan tangan nya kearah para pelayat dan memberi aba-aba  untuk  mengalihkan pandangan kearah  peti jenazah yang telah terbuka. Di dalam peti  tampak wajah wanita dengan pakaian indah berusia 70 an.
Wajah ibu tampak bahagia, kemerahan, dengan riasan alis yang hitam ,rambut hitam tersisir rapi seakan belum meninggal. Semua yang menyaksikan seolah-olah melihat wanita yang sedang tertidur pulas menikmati tidur panjangnya dalam sebuah peti jenazah yang indah.
Tetesan air mata membanjiri  wajah semua orang yang menghadiri pemakaman Ny.Kinah. mereka tidak tahan membendung lautan air mata yang siap mendobrak pelupuk mata mengiringi kepergian ibu. Kesedihan meliputi suasana sore itu di sebuah pemakaman umum yang telah dipenuhi warga. Terdengar teriakan “  ibu, jangan tinggalkan kami ....... ” memanggil nama wanita yang tidak akan pernah kembali untuk membagikan kebahagiaannya lagi di tengah-tengah orang tersebut.
Saat peti ditutup,suara tangisan semakin keras memecah suasana pemakaman.  Tampak wajah-wajah lelaki dan perempuan yang dipenuhi air mata dengan wajah kusut penuh kesedihan yang tidak mengenal tingkatan umur dan status sosial. Kesedihan semakin  menggunung, seakan  telah terjadi bencana besar yang menimpa desa itu.
Di tengah kesedihan itu, tampak seonggok gunung kecil berukuran 2 kali 1 yang di atas salah satu ujung sisinya berdiri sebuah tiang salib berwarna hitam yang bertuliskan inisial nama wanita. Onggokan tanah yang di atasnya bertaburan  bunga berwarna – warni dengan potongan daun pandan disertai wewangian dan karangan bunga dari para pelayat.
Di sekitar pemakaman ibu tercium semerbak  wewangian yang menusuk hidung seakan mengiringi kepergian ibu dan  mengakhiri penderitaan selama hidupnya. Di situ tak ada lagi suara tangisan dan doa yang dipanjatkan, sepi dan lenggang tak seorangpun yang tertinggal di situ selain lilin-lin putih yang terus menyala menanti datangnya angin yang akan segera meniup dan akhirnya padam. Awan  hitam semakin menumpuk membuat langit semakin gelap, namun anehnya hujan tidak turun. Apakah gerangan yang terjadi?
“ Tak ada sesuatu apapun yang sempurna dan akan tetap abadi di dunia ini, karna semuanya akan kembali kepangkuan-Nya, kita hanya bisa menunggu kapan kita dipanggil dan menunggu giliran kita. ” itulah ucapan ibu   kepada aku dan kakak ketika makan bersama di ruang dapur tua yang dipenuhi suasana kebahagiaan. Senyuman yang selalu dipancarkan ibu seolah menebarkan aroma-aroma  kebahagiaan  kepada semua yang melihatnya.
“ Ibu ingin kalian menjadi orang - orang yang berguna bagi keluarga, agama, bangsa dan negara.” Ucap ibu.
“ Ibu masih ingat perjuangan ayah dulu saat harus berjuang  dan menumpas para pemberontak terhadap negara kesatuan RI bersama anggota Militer tentara Siliwangi  yang memperjuangkan nasib bangsa masa awal perang kemerdekaan. Ayah tidak pernah  gentar, bahkan takut, apalagi mengeluh akan kematian yang sewaktu – waktu menimpa. Berjuanglah untuk negeri ini selagi kalian bisa, tumpas semua kejahatan, keserakahan dan kezaliman yang ada. Walau kalian harus menderita kehilangan kebahagiaan , kehilangan harta namun kalian tetap memiliki  harga diri dan maruah yang tinggi untuk negeri ini.”  Dengan terbata – bata ibu memberikan wejangan dan pengajaran yang bagiku amatlah berharga di saat makan malam bersama. Tampak sesekali ibu mengambil sesesuap nasi dari dalam piring seng lalu mengarahkan kedalam mulutnya untuk dikunyah, dan mengambil segelas air putih dari ketel alumunium berwarna putih.
Ibu memang gemar bercerita, apalagi di saat suasana makan bersama. Ia menceritakan kebahagiaan isi hatinya kepada aku dan kakak  yang selalu tidak mau jauh dengannya.  Kemana ibu pergi aku selalu risau, aku takut ibu tak kembali. Aku paling takut apabila rasa kebahagiaan ibu sirna berganti dengan kesedihan.  Kebahagiaan yang  ibu punya merupakan nafas hidup buatku. Kebahagiaan seorang ibu hanya dapat aku rasakan tidak akan pernah tergantikan dengan kasih dan kebahagiaan orang lain. Ibu memang memiliki suatu kharisma dan pesona tersendiri, laksana seorang Dewi pelindung yang selalu melindungi anak – anaknya dari kejahatan.
Pernah  saat itu ibu menderita sakit keras, aku dan kakak sangat panik sekali. Ibu tidak bisa bercakap – cakap dikarenakan meminum cairan minyak kayu putih yang  ada di atas meja makan. Hal ini terjadi karena ibu mengira itu minuman penyegar tenggorokan. Kejadian ini membuat shock berat kepada aku dan kakak. Ibu memang sering sakit – sakitan, kata dokter ibu menderita penyakit komplikasi, penyakit lambung kronis, maag, ginjal, rematik pada tulang, dan rabun mata. Hal ini membuat ibu sangat menderita, tak ada tawa dan rasa kebahagiaan. Pada saat kami makanpun ibu tak bisa tersenyum karena menahan betapa kerasnya sakit yang ia derita.
“ Ibu tak ada nafsu untuk makan, ibu hanya ingin minum dan minum. Tenggorokan ibu kering, Ibu sangat haus... ’’ ujar ibu sambil membungkuk dan memegangi perutnya sesekali memegangi tenggorokannya yang mungkin kering dan membutuhkan setetes air.
“ iya bu,tapi Ibu juga harus makan agar ibu bisa kuat.” Sahut ku dengan sabar dan mengharap.
Aku tahu ibu sangat menderita, dengan sakit yang ia derita. Sakit yang ibu derita itu merupakan akibat yang selama ini ibu lakukan. Ibu lupa istirahat, jarang makan, jarang menikmati hari yang indah bersama teman – temannya. Selama ini ibu hanya selalu  memusatkan perhatian pada pekerjaan. Aku memang bangga kepada ibu, selain ia berkharisma, ibu juga cekatan dalam melakukan segala hal, baik di rumah maupun di mana saja. Ibu seorang yang ulet, mau mencoba segala sesuatu yang dianggap baru. Setiap hari ibu bekerja di sawah, tak mengenal waktu. Dari bangun tidur pukul 04.00 pagi hingga pukul  10.00 malam ibu tak hentinya melakukan kegiatan, selain itu yang aku tahu ia tak pernah mengeluh. Kata nenek, ibu memang rajin sejak dari kecil. Tak heran hingga tuapun ibu tetap rajin dan ulet.
Panas terik dan hujan deras bukanlah hambatan buat ibu, ia tetap pergi untuk bekerja di sawah. Bagi ibu, membantu ayah untuk mencari sesuap nasi untuk makan sangatlah penting. Ibu selalu beranggapan bahwa seorang istri harus mau  bekerja  untuk membantu suaminya. Kalau tidak mau membantu artinya istri tersebut tidak setia dalam membina rumah tangga.
 Ibu memang seorang yang periang dan suka bergaul dengan tetangga, terkadang teman – temannya dari kampung durian datang ke rumah untuk ngobrol dengannya sambil membuat keranjang yang dalam bahasa dayaknya Jaeje. Keranjang ini terbuat dari bilah bambu kecil yang di potong sedemikian rupa hingga terbentuklah yang namanya Jaeje. Selain membuat jaeje , ibu juga membuat atap rumbia yang terbuat dari daun sagu  untuk di jual ke pengepul seorang taoke cina bernama Khim lin. Taoke ini juga membeli keranjang yang dibuat ibu. Dari hasil penjualan keranjang dan atap inilah , ibu dapat membeli bahan belanjaan untuk dimasak lalu dimakan bersama keluarga. Ibu memang rajin dan teramat rajin, tak ada keluhan dari bibirnya, yang ada hanya rasa bahagia yang selalu terpancar dari wajahnya.
Malam ini ibu terlihat sedikit aneh. Ibu agak sedikit panik. Mungkin sebabnya  hari ini ibu lembur dengan pekerjaannya, karena musim panen padi telah tiba.
 “ Pinggang ibu sangat sakit sekali, ibu ingin dipijit...” Keluh ibu sambil memegangi pinggang dan berpegangan pada daun pintu. “ tolong panggilkan Delia, dimana dia? ...”  ujar ibu kepada aku dan kakak.
’’ada bu, sebentar aku panggil Delia dulu bu... ” sahutku pada ibu.
 “ Del, ibu panggil kamu tuh, minta dipijit.” Ucapku pada Delia.
’’ iya...’’ jawab Delia.
” uwak, bagian mana yang sakit ....” tanya Delia.
” Pinggang bagian belakang, badan uwak sakit Del ... ” jawab ibu.
Ibu memang selalu dipijit ama Delia, terkadang kalo cucunya datang dari kampung sebelah, pastilah cucunya yang  mengurut ibu. Ibu memang menyayangi semua anaknya, cucunya, keponakannya, dan tentunya semua orang yang mengenalnya. Ibu memang memiliki sifat yang berbeda dengan orang kebanyakan. Ibu selalu bahagia jika ada persoalan. Ibu tidak mau membeberkan aib yang terjadi dalam rumah tangga, apalagi aib orang lain. Ibu memang seorang yang memiliki sifat misterius, mengapa demikian? Karena ibu merasa bahagia apabila mendapatkan suatu masalah. Masalah merupakan sebuah tantangan yang harus ia  jalani, hadapi dan perjuangkan dengan sebuah hasil yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Kebahagiaan keluarga sangat ibu kedepankan. Ibu tak mau bahtera rumah tangganya bersama ayah hancur karena suatu masalah yang tidak berguna. Kebahagiaan dan keutuhan keluarga harus dipertahankan dan diperjuangkan. Ibu mempunyai semboyan, makan tak makan yang penting bersama keluarga dan disertai rasa kebahagiaan.
 Matahari mulai tertutup gelap, malam pun datang di sertai udara dingin dan suara binatang malam mulai terdengar. Piring dan gelas-gelas kosong  bertebaran di tempat cucian, sedangkan di atas meja makan bertaburan remahan nasi yang terbuang. Panci dan pekakas dapur tergeletak begitu saja di dapur. Ruangan kotor penuh butiran debu dan pasir halus yang belum disapu. Tak ada  suara wanita terdengar di dapur, tak ada bunyi gemercik air di keran. Tak ada bau nasi goreng yang dimasak di pagi hari tatkala bunyi suara adzan subuh  membangunkan umatnya untuk segera sholat. Tak ada lagi acara makan bahagia  bersama ibu lagi. Semua telah sirna, semua telah pupus, semua telah pergi. Tumpukan padi penuh debu tak ada yang menyentuhnya, semua ditinggalkan begitu saja. Semua kebahagiaan  dan aktivitas bersama ibu telah hilang, senyuman  bahagia ibu telah pergi untuk selamanya. Yang tersisa hanya bunyi cicak-cicak yang merayap di atas meja makan , mengerumuni remahan sisa makanan para pelayat yang tadi siang datang ke rumah untuk melayat kepergian ibuku tersayang.

 




Η μητέρα μου πανίσχυρη



Top of Form
Η μητέρα μου πανίσχυρη

Εκείνο το απόγευμα υστερικό τόνο ακουγόταν, στη διαπασών ξέσπασε στον τομέα των δημοσίων νεκροταφείων, πράγμα που δείχνει ότι υπάρχει μια κηδεία. Τελετή πραγματοποιήθηκε στα όργανα της μητέρας, αγαπημένη μητέρα της που είχε φύγει για πάντα χθες το πρωί μετά από ένα ολόκληρο μήνα, την καταπολέμηση των επιπλοκών της νόσου.
"Αμέσως μειώσει το φέρετρο! '' Φωνή ιερέας πακέτο εντολών σηματοδοτείται με το χέρι δίνοντας την εντολή για τις εισαγωγικές φορείς, προκειμένου να μειώσει το φέρετρο.
'' Ένα ... δύο .... τρεις .... okeee .... "η εισαγωγή jenajah ταυτόχρονα ανυψώνεται και να κατεβαίνει φέρετρό του να συνεργαστεί. Σιγά-σιγά κιβώτια εκφορτώνονται από το αυτοκίνητο.
Μετά το φέρετρο μειώνεται, τότε θα ορίσετε τη θέση του για τον κατεύθυνση του κιβωτίου, σύμφωνα με τα έθιμα και τις παραδόσεις της περιοχής.
 "Η θέση του ποδιού κατευθύνεται προς τα νότια" εντολές ενός γέροντα του χωριού.
 "Πιείτε, εντάξει, εντάξει μόνο δικαίωμα." Επιπλέον από τους γέροντες του χωριού.
Στη συνέχεια, το πακέτο ο πάστορας δίνει ΑΒΑ - ABA για να ανοίξει το φέρετρο. Το φέρετρο είναι πολύ όμορφη, σκούρο καφέ, σκαλισμένα τέσσερις άγγελοι με τα όμορφα άνθη λωτού, υπάρχουν δύο πόρτες που μπορούν να ανοίξουν. Κιβώτια αξίζει rp3 εκατομμύρια που είναι συγκρίσιμη με την εικόνα που εμφανίζεται.
"Πριν από την κηδεία τελετή πραγματοποιήθηκε, παρακαλούμε κλουβί άνοιξε ένα" ιερέα εντολή στο εισαγωγικό πακέτο.
Μετά το φέρετρο άνοιξε, είδε σε αυτό ακίνητη εικόνα πανέμορφη παλιά γυναίκα με μακιγιάζ και όμορφα ρούχα δεν είναι άλλο από τη μητέρα.
 "Ας δούμε το πρόσωπο Ny.Kinah Usuf για τελευταία φορά, μια γυναικεία φιγούρα ευγενή, αποφασιστική, σοφή και γενναία», όπως ο ίδιος σήκωσε τα χέρια του προς τους πενθούντες και έδωσε την εντολή να μετατοπίσει τη θέα προς το φέρετρο ήταν ανοικτό.
το πρόσωπο της μητέρας φαινόταν ευτυχισμένος, κόκκινο, μαύρο φρύδια με μακιγιάζ, μαύρα μαλλιά χτενισμένα σαν να μην πεθάνει. Όλοι όσοι παρακολούθησαν σαν να δει τις γυναίκες που κοιμόντουσαν απολαύσετε ενώ το μακρύ ύπνο σε ένα φέρετρο που ήταν υπέροχο.
Δάκρυα πλημμύρισαν τα μάτια των πενθούντων που παρακολούθησαν την κηδεία Ny.Kinah Usuf. Teardrop ασταμάτητη όταν συνοδεύουν την αναχώρηση της μητέρας.
 "Δεν ήταν απροσδόκητο, η μητέρα Kinah πάει σύντομα." Είπε ένας από τους πενθούντες.
Η ατμόσφαιρα το βράδυ ήταν συγκλονισμένοι από τη θλίψη και τη θλίψη. Δεν μπορώ να φανταστώ, και εγώ πρέπει να αποδεχθεί την πραγματικότητα, θα έπρεπε να συμμετέχουν με την αγαπημένη μητέρα της που μας στιγμές και κακές συνόδευσε.
Όταν το κιβώτιο είναι κλειστό, μόνο ένας είπα στη μητέρα μου, "Αντίο μητέρα, η μητέρα μπορεί να είναι ωραία εκεί." Είμαι πολύ λυπημένος και αισθάνονται μοναξιά, είδα ένα πατέρα, αδελφό, αδελφή, ανιψιός και όλους τους αδελφούς μου αισθάνονται χαθεί. πρόσωπο τσαλακωμένο θλίψη μου δεν είναι ίσα. Τοποθέτηση θλίψη, σαν να υπήρξε μια μεγάλη καταστροφή που έπληξε τη ζωή μου, και αυτό που συμβαίνει σήμερα, Κυριακή, 1 Νοεμβρίου, 2009.
Στη μέση της θλίψης, φαίνεται ένα μικρό σωρό του βουνού δύο φορές το μέγεθος του ενός μέτρου, πάνω από αυτό διάσπαρτα πολύχρωμα λουλούδια - πολύχρωμο με pandan κομμάτια φύλλων δεν πρέπει να χάσετε αρώματα και λουλούδια από πενθούντες. Στο ένα άκρο του ένα μικρό εμπόδιο, βρίσκεται ένα μαύρο σταυρό που διαβάζει RIP με το όνομα της γυναίκας. Αναδύθηκε στην περιοχή γύρω από το νεκροταφείο άρωμα του αρώματος είναι προσβλητικό φάνηκε να συνοδεύσει την αναχώρηση της μητέρας και το τέλος του πόνου κατά τη διάρκεια της ζωής του.
Μια στιγμή αργότερα δεν άκουσε τον ήχο του κλάματος και την προσευχή που είπε, ήσυχο και lenggang.Lilin - λευκά κεριά αναμμένα όλη την ώρα, περιμένοντας οι άνεμοι θα πνέουν σύντομα και τελικά έσβησε τα κεριά ότι πάρα πολύ. Στην κορυφή, είδα ένα σωρό μαύρα σύννεφα που είχαν συσσωρευτεί για να κάνει ο ουρανός σκοτείνιασε, υπονοώντας ότι θα βρέξει. Ήμουν πολύ ανήσυχος εκείνη τη στιγμή, ελπίζω ότι δεν βρέχει, αλλά στην πραγματικότητα η βροχή δεν έπεσε.
Κάθε μνήμη της μητέρας μου, ποτέ δεν μπορεί να ξεχάσει τις ευτυχισμένες στιγμές μαζί του. Όταν ευτυχέστεροι όταν τρώνε μαζί.
 "Δεν υπάρχει τίποτα σε αυτόν τον κόσμο είναι τέλεια και θα παραμείνει, όλα θα είναι πίσω στο μαντρί του του, μπορούμε να περιμένουμε μόνο όταν ζητήσαμε και περίμεναν τη σειρά μας. "Αυτό αδελφή παρατήρηση και η μητέρα μου, όταν τρώμε μαζί στην παλιά κουζίνα γεμάτη με γέλιο, αστεία και την ευτυχία.
"Θέλω να είναι οι άνθρωποι -. Ανθρώπους που είναι χρήσιμα για την οικογένεια, τη θρησκεία, τη φυλή και τη χώρα» λέει η μητέρα με σταθερή τόνος.
«Θυμάμαι τον πατέρα σου τον πρώτο αγώνα, πότε να πολεμήσει και να συντρίψουν την κομμουνιστική ανταρτών κατά της Δημοκρατίας της Ινδονησίας με τα μέλη των Siliwangi Στρατιωτική στρατιωτών. Πάλεψαν έντονα για το έθνος. Το πνεύμα του εθνικισμού και του πατριωτισμού του πατέρα σας είναι πράγματι πολύ μεγάλη. Ο μπαμπάς ποτέ φόβο και τρόμο, πόσο μάλλον διαμαρτύρονται θανάτου ήταν όλα - Επισκέψεις χρόνο. Προσπάθεια σε αυτή τη χώρα, ενώ μπορείτε, κόβουμε τις ρίζες όλων των κακών, την απληστία και την αδικία που υφίστανται. Παρά το γεγονός ότι θα πρέπει να υποστεί την απώλεια της ευτυχίας, απώλεια της περιουσίας, αλλά θα εξακολουθούν να διατηρούν την αξιοπρέπεια και τη ζωή των ανθρώπων αυτής της χώρας. "Μητέρες Ομιλία σοβαρά, ενώ δίνει συμβουλές και διδάσκοντας ότι για μένα είναι πολύ πολύτιμη. Αναζητά τη μητέρα πήρε περιστασιακά sesesuap ρύζι από την πλάκα ψευδαργύρου με το χέρι του, τότε το έβαλε στο στόμα του για να μασήσει, τότε πάρτε ένα ποτήρι νερό από το βραστήρα λευκό αλουμίνιο.
Η μητέρα ήταν λάτρης της αφήγησης ιστοριών, ειδικά όταν καταναλώνονται μαζί. Λέει την ευτυχία της καρδιάς του για μένα και πάντα κοντά στην αδελφή της. Μερικές φορές αστειεύονται και να γελάσει μαζί, για να γελάσει και αστείο ακούσαμε εκτός rumah.Ibu έχει ένα χάρισμα και δική του γοητεία, όπως ένα προστατευτικό θεά που προστατεύει πάντα ένα παιδί - το παιδί της από το κακό, οι μητέρες δίνουν πάντα συμβουλές και καθοδήγηση. Ευτυχία μητέρα είχε μια ανάσα ζωής μας όλα.
Ποτέ εκείνη την εποχή σοβαρά άρρωστη μητέρα, αδελφές και εγώ είμαστε πολύ ξέφρενη. Η μητέρα μου δεν μπορούσε να μιλήσει - μια συζήτηση, γιατί έπιναν υγρό έλαιο ευκαλύπτου που είναι πάνω στο τραπέζι. Αυτό συμβαίνει επειδή η μητέρα σκέφτηκε ότι εμφιαλωμένα ποτά που περιέχουν λαιμό. Το περιστατικό αυτό γίνεται syokk βαρύ για μένα και την αδελφή. Η μαμά ήταν συχνά άρρωστη - πόνο, ο γιατρός είπε η μητέρα υπέφερε από επιπλοκές της νόσου, χρόνιες ασθένειες του στομάχου, έλκη, τα νεφρά, τα οστά των ρευματικών και μυωπικά μάτια. Αυτό κάνει η μητέρα πάσχει, δεν υπήρχε γέλιο και μια αίσθηση της ευτυχίας.
Εκείνη την εποχή δεν θα μπορούσε να κάνει ακόμη ένα ζωντανό μητέρα χαμογέλασε για την κράτηση πόσο σκληρά πόνο που υπέστη.
"Μητέρα δεν υπάρχει όρεξη για να φάει, moms απλά θέλετε να πιείτε και να πίνουν. Η μητέρα του λαιμού ξηρό, είμαι πολύ πεινασμένος ... '' είπε η μητέρα σκύψιμο και κρατούσε το στομάχι του. μερικές φορές περιστασιακά κρατούσε το λαιμό μπορεί να είναι ξηρό και απαιτούν μια σταγόνα νερό.
"Ναι κυρία μου, αλλά η μητέρα θα πρέπει να τρώνε για να είναι μια ισχυρή μητέρα." Μου απάντησε υπομονετικά.
Ήξερα ότι ήταν άθλια, με τον πόνο που βιώνουν. Πόνο που γνώρισε, το αποτέλεσμα της οποίας ήταν η μητέρα έκανε. Μητέρα ξέχασε διάλειμμα, σπάνια τρώνε έξω. Είμαι πολύ περήφανος για τη μητέρα, πέραν του ότι έχει το χάρισμα, είναι επίσης έμπειρος στο να κάνει τα πάντα. Η μητέρα ενός σταθεροί, πρόθυμοι να δοκιμάσουν νέα πράγματα υπόψη.
Κάθε μέρα οι μητέρες εργάζονται στα χωράφια, δεν ήξερα την ώρα. Καύσωνα και δυνατή βροχή δεν αποτελεί εμπόδιο για τη μητέρα. Παρά τις κακές καιρικές συνθήκες, ο ίδιος εξακολουθεί να πήγε στα χωράφια. Για τη μητέρα, για να βοηθήσει τον πατέρα μου να βρει μια μπουκιά από το ρύζι είναι σημαντική. Η μαμά πάντα δεδομένο ότι μια γυναίκα πρέπει να είναι πρόθυμοι να εργαστούν για να βοηθήσει το σύζυγό της. Εάν δεν θέλετε να βοηθήσετε αυτό σημαίνει ότι η γυναίκα ήταν άπιστη στον άντρα της σε ανάδοχη οικογένεια.
Η μαμά ήταν ένας πρόσχαρος, φιλικό και του αρέσει να κάνεις παρέα με τους ανθρώπους, μερικές φορές σε ένα φίλο - ένας φίλος της μητέρας της Kampung Pakunam στο σπίτι μας. Ήθελαν να μιλήσει με τη μητέρα της για ένα μεγάλο χρονικό διάστημα δεν βλέπουμε. Επιπλέον, θέλουν να μάθουν να κάνουν τα καλάθια στη γλώσσα Νταγιάκ ονομάζεται Jaeje. Αυτά τα καλάθια από μπαμπού σανίδες μικρό, λεπτό στις πλευρές και στη συνέχεια να υφαίνονται έτσι ώστε να σχηματίζεται Jaeje. Εκτός από την jaeje, η μητέρα είναι επίσης μερικές φορές να τους διδάξει να ράβω την αχυρένια στέγη από σάγο φύλλα. Όταν τελειώσετε, το πωλούν στέγη σε έναν συλλέκτη που ονομάζεται Khim Lin taoke Κίνα. Taoke επίσης να αγοράσετε τα καλάθια γίνονται μητέρες. Από την πώληση του καλαθιού και την οροφή, τότε η μητέρα για να αγοράσουν είδη παντοπωλείου και κάποια χρήματα που προορίζονται για το σχολείο μας. Η μαμά ήταν επιμελής, είπε η γιαγιά από την παιδική ηλικία έχει διδαχθεί να δουλέψουμε σκληρά.
Αυτό το βράδυ η μητέρα φαίνεται λίγο παράξενο. Μητέρα κομμάτι του πανικού. Ίσως αυτός είναι ο λόγος για τον οποίο οι μητέρες να εργάζονται υπερωρίες, επειδή η εποχή της συγκομιδής του ρυζιού έχει φθάσει.
 "Μέση μητέρα είναι πολύ άρρωστος μια φορά, η μητέρα θέλει να μασάζ ..." moaned η μητέρα κρατούσε από τη μέση της και κρατώντας την πόρτα.
 "Πάρτε Delia", είπε η μητέρα μου και η αδελφή μου είπε.
'' Ναι κυρία μου, καλώ Delia χρησιμοποιηθεί για λίγο bu ... "Είπα στη μητέρα.
 "Del, η μητέρα σας καλεί tuh, έχουν μασάζ." Είπα να Delia.
»« Ναι ... »« Delia απάντησε για μένα. Delia, στη συνέχεια, πλησίασε τη μητέρα.
"Uwak, το οποίο μέρος είναι άρρωστος ....", ρώτησε Delia.
"Πίσω από την μέση, το σώμα πόνος uwak Del ...» απάντησε η μητέρα.
Η μαμά ήταν ενθουσιασμένος όταν μαλάξεις από Delia, είναι μαλακό και ότι Delia μασάζ, ενώ μασάζ με τη συγκέντρωση. Έτσι δεν αποτελεί έκπληξη το γεγονός ότι η μητρική αγάπη Delia μασάζ.
Η μαμά δεν έχουν ιδιότητες διαφορετικές από τις περισσότερες γυναίκες. Η μαμά πάντα ευτυχής αν υπάρχει κάποιο πρόβλημα. Δεν θέλω να εκθέσει την ντροπή που συνέβη στο νοικοκυριό, πόσο μάλλον τους άλλους ντροπή. Η μαμά ήταν ένας άνθρωπος της φύσης μυστηριώδη και παράξενα σκέψη. Χάρηκε όταν πάρει ένα πρόβλημα, το πρόβλημα της είναι μια πρόκληση που πρέπει να ζήσει, το πρόσωπο και πάλεψε με τα πραγματικά αποτελέσματα. Η μαμά είχε το σύνθημα, δεν τρώνε σημαντικό γεύμα με την οικογένεια ευτυχισμένη. Πολύ οικογενειακή ευτυχία της μητέρας kedepankan. Η μητέρα δεν θέλει η κιβωτός του νοικοκυριού με τον πατέρα μου καταστράφηκε εξαιτίας ενός προβλήματος που δεν είναι χρήσιμο. θα πρέπει να διατηρηθεί η ευτυχία και η ενότητα της οικογένειας.
 Ο ήλιος άρχισε να βυθίζεται στα δυτικά, το βράδυ ήρθε συνοδεύεται από κρύο αέρα. Ήχους των ζώων βραδιά ξεκίνησε. Πιάτα και ποτήρια άδειο διασκορπίστηκαν στο νεροχύτη, ψίχουλα σπατάλη ρύζι διάσπαρτα στο τραπέζι. Τηγάνια και pekakas κουζίνα που βρίσκεται στην κουζίνα. Βρώμικα δωμάτια γεμάτα σκόνη και λεπτούς κόκκους άμμου που δεν έχουν σάρωσε. Δεν υπάρχουν γυναικεία φωνή ακούστηκε στην κουζίνα, χωρίς ήχο των εκτοξευμένο νερό από τις βρύσες. Δεν υπήρχε μυρωδιά του τηγανητό ρύζι μαγειρεύεται, όταν ο ήχος της κλήσης στην προσευχή αυγή για να ξυπνήσει τους ανθρώπους να προσεύχονται αμέσως. Δεν υπάρχει πλέον ένα χαρούμενο γεύμα με τη μητέρα της και πάλι. Όλα τα έχει πάει, όλα έχουν εξαφανιστεί, όλα χάθηκαν. Σωρούς από ρύζι με κανέναν σκόνη άγγιξε, όλα εγκαταλειφθεί. Όλη η ευτυχία και η δραστηριότητα με τη μητέρα μου πάει, χαμόγελο ευτυχισμένη μητέρα του είχε φύγει για πάντα. Αυτό που μένει είναι μόνο ο ήχος των σαύρες που σέρνονται στο τραπέζι, συσσώρευσε ψίχουλα περισσεύματα πενθούντες που ήρθε στο σπίτι το απόγευμα για να θρηνήσουν την αποχώρηση του μάνα μου.
I mitéra mou paníschyri

Ekeíno to apógevma ysterikó tóno akougótan, sti diapasón xéspase ston toméa ton dimosíon nekrotafeíon, prágma pou deíchnei óti ypárchei mia kideía. Teletí pragmatopoiíthike sta órgana tis mitéras, agapiméni mitéra tis pou eíche fýgei gia pánta chthes to proí metá apó éna olókliro mína, tin katapolémisi ton epiplokón tis nósou.
"Amésos meiósei to féretro! '' Foní ieréas pakéto entolón simatodoteítai me to chéri dínontas tin entolí gia tis eisagogikés foreís, prokeiménou na meiósei to féretro.
'' Éna ... dýo .... treis .... okeee .... "i eisagogí jenajah taftóchrona anypsónetai kai na katevaínei féretró tou na synergasteí. Sigá-sigá kivótia ekfortónontai apó to aftokínito.
Metá to féretro meiónetai, tóte tha orísete ti thési tou gia ton katéfthynsi tou kivotíou, sýmfona me ta éthima kai tis paradóseis tis periochís.
 "I thési tou podioú katefthýnetai pros ta nótia" entolés enós géronta tou chorioú.
 "Pieíte, entáxei, entáxei móno dikaíoma." Epipléon apó tous gérontes tou chorioú.
Sti synécheia, to pakéto o pástoras dínei AVA - ABA gia na anoíxei to féretro. To féretro eínai polý ómorfi, skoúro kafé, skalisména tésseris ángeloi me ta ómorfa ánthi lotoú, ypárchoun dýo pórtes pou boroún na anoíxoun. Kivótia axízei rp3 ekatommýria pou eínai synkrísimi me tin eikóna pou emfanízetai.
"Prin apó tin kideía teletí pragmatopoiíthike, parakaloúme klouví ánoixe éna" ieréa entolí sto eisagogikó pakéto.
Metá to féretro ánoixe, eíde se aftó akíniti eikóna panémorfi paliá gynaíka me makigiáz kai ómorfa roúcha den eínai állo apó ti mitéra.
 "As doúme to prósopo Ny.Kinah Usuf gia teleftaía forá, mia gynaikeía figoúra evgení, apofasistikí, sofí kai gennaía», ópos o ídios síkose ta chéria tou pros tous penthoúntes kai édose tin entolí na metatopísei ti théa pros to féretro ítan anoiktó.
to prósopo tis mitéras fainótan eftychisménos, kókkino, mávro frýdia me makigiáz, mávra malliá chtenisména san na min pethánei. Óloi ósoi parakoloúthisan san na dei tis gynaíkes pou koimóntousan apoláfsete enó to makrý ýpno se éna féretro pou ítan ypérocho.
Dákrya plimmýrisan ta mátia ton penthoúnton pou parakoloúthisan tin kideía Ny.Kinah Usuf. Teardrop astamátiti ótan synodévoun tin anachórisi tis mitéras.
 "Den ítan aprosdókito, i mitéra Kinah páei sýntoma." Eípe énas apó tous penthoúntes.
I atmósfaira to vrády ítan synklonisménoi apó ti thlípsi kai ti thlípsi. Den boró na fantastó, kai egó prépei na apodechtheí tin pragmatikótita, tha éprepe na symmetéchoun me tin agapiméni mitéra tis pou mas stigmés kai kakés synódefse.
Ótan to kivótio eínai kleistó, móno énas eípa sti mitéra mou, "Antío mitéra, i mitéra boreí na eínai oraía ekeí." Eímai polý lypiménos kai aisthánontai monaxiá, eída éna patéra, adelfó, adelfí, anipsiós kai ólous tous adelfoús mou aisthánontai chatheí. prósopo tsalakoméno thlípsi mou den eínai ísa. Topothétisi thlípsi, san na ypírxe mia megáli katastrofí pou éplixe ti zoí mou, kai aftó pou symvaínei símera, Kyriakí, 1 Noemvríou, 2009.
Sti mési tis thlípsis, faínetai éna mikró soró tou vounoú dýo forés to mégethos tou enós métrou, páno apó aftó diásparta polýchroma louloúdia - polýchromo me pandan kommátia fýllon den prépei na chásete arómata kai louloúdia apó penthoúntes. Sto éna ákro tou éna mikró empódio, vrísketai éna mávro stavró pou diavázei RIP me to ónoma tis gynaíkas. Anadýthike stin periochí gýro apó to nekrotafeío ároma tou arómatos eínai prosvlitikó fánike na synodéfsei tin anachórisi tis mitéras kai to télos tou pónou katá ti diárkeia tis zoís tou.
Mia stigmí argótera den ákouse ton ícho tou klámatos kai tin prosefchí pou eípe, ísycho kai lenggang.Lilin - lefká keriá anamména óli tin óra, periménontas oi ánemoi tha pnéoun sýntoma kai teliká ésvise ta keriá óti pára polý. Stin koryfí, eída éna soró mávra sýnnefa pou eíchan syssorefteí gia na kánei o ouranós skoteíniase, yponoóntas óti tha vréxei. Ímoun polý anísychos ekeíni ti stigmí, elpízo óti den vréchei, allá stin pragmatikótita i vrochí den épese.
Káthe mními tis mitéras mou, poté den boreí na xechásei tis eftychisménes stigmés mazí tou. Ótan eftychésteroi ótan tróne mazí.
 "Den ypárchei típota se aftón ton kósmo eínai téleia kai tha parameínei, óla tha eínai píso sto mantrí tou tou, boroúme na periménoume móno ótan zitísame kai perímenan ti seirá mas. "Aftó adelfí paratírisi kai i mitéra mou, ótan tróme mazí stin paliá kouzína gemáti me gélio, asteía kai tin eftychía.
"Thélo na eínai oi ánthropoi -. Anthrópous pou eínai chrísima gia tin oikogéneia, ti thriskeía, ti fylí kai ti chóra» léei i mitéra me statherí tónos.
«Thymámai ton patéra sou ton próto agóna, póte na polemísei kai na syntrípsoun tin kommounistikí antartón katá tis Dimokratías tis Indonisías me ta méli ton Siliwangi Stratiotikí stratiotón. Pálepsan éntona gia to éthnos. To pnévma tou ethnikismoú kai tou patriotismoú tou patéra sas eínai prágmati polý megáli. O bampás poté fóvo kai trómo, póso mállon diamartýrontai thanátou ítan óla - Episképseis chróno. Prospátheia se aftí ti chóra, enó boreíte, kóvoume tis rízes ólon ton kakón, tin aplistía kai tin adikía pou yfístantai. Pará to gegonós óti tha prépei na yposteí tin apóleia tis eftychías, apóleia tis periousías, allá tha exakolouthoún na diatiroún tin axioprépeia kai ti zoí ton anthrópon aftís tis chóras. "Mitéres Omilía sovará, enó dínei symvoulés kai didáskontas óti gia ména eínai polý polýtimi. Anazitá ti mitéra píre peristasiaká sesesuap rýzi apó tin pláka psevdargýrou me to chéri tou, tóte to évale sto stóma tou gia na masísei, tóte párte éna potíri neró apó to vrastíra lefkó aloumínio.
I mitéra ítan látris tis afígisis istorión, eidiká ótan katanalónontai mazí. Léei tin eftychía tis kardiás tou gia ména kai pánta kontá stin adelfí tis. Merikés forés asteiévontai kai na gelásei mazí, gia na gelásei kai asteío akoúsame ektós rumah.Ibu échei éna chárisma kai dikí tou goiteía, ópos éna prostateftikó theá pou prostatévei pánta éna paidí - to paidí tis apó to kakó, oi mitéres dínoun pánta symvoulés kai kathodígisi. Eftychía mitéra eíche mia anása zoís mas óla.
Poté ekeíni tin epochí sovará árrosti mitéra, adelfés kai egó eímaste polý xéfreni. I mitéra mou den boroúse na milísei - mia syzítisi, giatí épinan ygró élaio efkalýptou pou eínai páno sto trapézi. Aftó symvaínei epeidí i mitéra skéftike óti emfialoména potá pou periéchoun laimó. To peristatikó aftó gínetai syokk varý gia ména kai tin adelfí. I mamá ítan sychná árrosti - póno, o giatrós eípe i mitéra ypéfere apó epiplokés tis nósou, chrónies asthéneies tou stomáchou, élki, ta nefrá, ta ostá ton revmatikón kai myopiká mátia. Aftó kánei i mitéra páschei, den ypírche gélio kai mia aísthisi tis eftychías.
Ekeíni tin epochí den tha boroúse na kánei akómi éna zontanó mitéra chamogélase gia tin krátisi póso sklirá póno pou ypésti.
"Mitéra den ypárchei órexi gia na fáei, moms aplá thélete na pieíte kai na pínoun. I mitéra tou laimoú xiró, eímai polý peinasménos ... '' eípe i mitéra skýpsimo kai kratoúse to stomáchi tou. merikés forés peristasiaká kratoúse to laimó boreí na eínai xiró kai apaitoún mia stagóna neró.
"Nai kyría mou, allá i mitéra tha prépei na tróne gia na eínai mia ischyrí mitéra." Mou apántise ypomonetiká.
Íxera óti ítan áthlia, me ton póno pou viónoun. Póno pou gnórise, to apotélesma tis opoías ítan i mitéra ékane. Mitéra xéchase diáleimma, spánia tróne éxo. Eímai polý perífanos gia ti mitéra, péran tou óti échei to chárisma, eínai epísis émpeiros sto na kánei ta pánta. I mitéra enós statheroí, próthymoi na dokimásoun néa prágmata ypópsi.
Káthe méra oi mitéres ergázontai sta choráfia, den íxera tin óra. Káfsona kai dynatí vrochí den apoteleí empódio gia ti mitéra. Pará tis kakés kairikés synthíkes, o ídios exakoloutheí na píge sta choráfia. Gia ti mitéra, gia na voithísei ton patéra mou na vrei mia boukiá apó to rýzi eínai simantikí. I mamá pánta dedoméno óti mia gynaíka prépei na eínai próthymoi na ergastoún gia na voithísei to sýzygó tis. Eán den thélete na voithísete aftó simaínei óti i gynaíka ítan ápisti ston ántra tis se anádochi oikogéneia.
I mamá ítan énas próscharos, filikó kai tou arései na káneis paréa me tous anthrópous, merikés forés se éna fílo - énas fílos tis mitéras tis Kampung Pakunam sto spíti mas. Íthelan na milísei me ti mitéra tis gia éna megálo chronikó diástima den vlépoume. Epipléon, théloun na máthoun na kánoun ta kaláthia sti glóssa Ntagiák onomázetai Jaeje. Aftá ta kaláthia apó bampoú sanídes mikró, leptó stis plevrés kai sti synécheia na yfaínontai étsi óste na schimatízetai Jaeje. Ektós apó tin jaeje, i mitéra eínai epísis merikés forés na tous didáxei na rávo tin achyrénia stégi apó ságo fýlla. Ótan teleiósete, to poloún stégi se énan syllékti pou onomázetai Khim Lin taoke Kína. Taoke epísis na agorásete ta kaláthia gínontai mitéres. Apó tin pólisi tou kalathioú kai tin orofí, tóte i mitéra gia na agorásoun eídi pantopoleíou kai kápoia chrímata pou proorízontai gia to scholeío mas. I mamá ítan epimelís, eípe i giagiá apó tin paidikí ilikía échei didachtheí na doulépsoume sklirá.
Aftó to vrády i mitéra faínetai lígo paráxeno. Mitéra kommáti tou panikoú. Ísos aftós eínai o lógos gia ton opoío oi mitéres na ergázontai yperoríes, epeidí i epochí tis synkomidís tou ryzioú échei fthásei.
 "Mési mitéra eínai polý árrostos mia forá, i mitéra thélei na masáz ..." moaned i mitéra kratoúse apó ti mési tis kai kratóntas tin pórta.
 "Párte Delia", eípe i mitéra mou kai i adelfí mou eípe.
'' Nai kyría mou, kaló Delia chrisimopoiitheí gia lígo bu ... "Eípa sti mitéra.
 "Del, i mitéra sas kaleí tuh, échoun masáz." Eípa na Delia.
»« Nai ... »« Delia apántise gia ména. Delia, sti synécheia, plisíase ti mitéra.
"Uwak, to opoío méros eínai árrostos ....", rótise Delia.
"Píso apó tin mési, to sóma pónos uwak Del ...» apántise i mitéra.
I mamá ítan enthousiasménos ótan maláxeis apó Delia, eínai malakó kai óti Delia masáz, enó masáz me ti synkéntrosi. Étsi den apoteleí ékplixi to gegonós óti i mitrikí agápi Delia masáz.
I mamá den échoun idiótites diaforetikés apó tis perissóteres gynaíkes. I mamá pánta eftychís an ypárchei kápoio próvlima. Den thélo na ekthései tin ntropí pou synévi sto noikokyrió, póso mállon tous állous ntropí. I mamá ítan énas ánthropos tis fýsis mystiriódi kai paráxena sképsi. Chárike ótan párei éna próvlima, to próvlima tis eínai mia próklisi pou prépei na zísei, to prósopo kai pálepse me ta pragmatiká apotelésmata. I mamá eíche to sýnthima, den tróne simantikó gévma me tin oikogéneia eftychisméni. Polý oikogeneiakí eftychía tis mitéras kedepankan. I mitéra den thélei i kivotós tou noikokyrioú me ton patéra mou katastráfike exaitías enós provlímatos pou den eínai chrísimo. tha prépei na diatiritheí i eftychía kai i enótita tis oikogéneias.
 O ílios árchise na vythízetai sta dytiká, to vrády írthe synodévetai apó krýo aéra. Íchous ton zóon vradiá xekínise. Piáta kai potíria ádeio diaskorpístikan sto nerochýti, psíchoula spatáli rýzi diásparta sto trapézi. Tigánia kai pekakas kouzína pou vrísketai stin kouzína. Vrómika domátia gemáta skóni kai leptoús kókkous ámmou pou den échoun sárose. Den ypárchoun gynaikeía foní akoústike stin kouzína, chorís ícho ton ektoxevméno neró apó tis vrýses. Den ypírche myrodiá tou tiganitó rýzi mageirévetai, ótan o íchos tis klísis stin prosefchí avgí gia na xypnísei tous anthrópous na proséfchontai amésos. Den ypárchei pléon éna charoúmeno gévma me ti mitéra tis kai páli. Óla ta échei páei, óla échoun exafanisteí, óla cháthikan. Soroús apó rýzi me kanénan skóni ángixe, óla enkataleiftheí. Óli i eftychía kai i drastiriótita me ti mitéra mou páei, chamógelo eftychisméni mitéra tou eíche fýgei gia pánta. Aftó pou ménei eínai móno o íchos ton sávres pou sérnontai sto trapézi, syssórefse psíchoula perissévmata penthoúntes pou írthe sto spíti to apógevma gia na thrinísoun tin apochórisi tou mána mou.