Sore itu terdengar nada histeris, menggelegar memecah suasana di area
pemakaman umum, yang menandakan bahwa di sana ada sebuah upacara penguburan.
Upacara dilakukan pada jenazah seorang ibu, ibu tercinta yang telah pergi
selamanya kemarin subuh setelah sebulan lamanya, berperang melawan komplikasi
penyakit.
“ segera turunkan peti itu ! ’’ suara pak pendeta
memberikan tanda perintah dengan tangan memberikan aba-aba kepada para pengantar jenazah, agar
menurunkan peti jenazah itu.
’’ satu...
dua.... tiga .... okeee.... ”
para pengantar jenajah serentak mengangkat peti dan menurunkan nya dengan
bergotong-royong. Perlahan peti diturunkan dari mobil.
Setelah peti diturunkan, kemudian mereka mengatur
posisi peletakan arah peti, sesuai dengan adat dan tradisi daerah setempat.
“ Posisi kaki
di arahkan ke selatan ” perintah seorang
tetua kampung.
“ Sip,
oke,oke sudah pas.” Tambahan lagi dari tetua kampung itu.
Kemudian pak pendeta memberikan aba – aba untuk
membuka peti jenazah itu. Peti itu
sangat indah, berwarna coklat tua, berukir
empat malaikat dengan bunga teratai indah, terdapat dua pintu yang dapat dibuka.
Peti seharga Rp3 juta rupiah itu memang
sebanding dengan rupa yang ditampilkan.
“ Sebelum upacara penguburan dilaksanakan, silahkan
peti ini dibuka ” perintah pak pendeta kepada para pengantar.
Setelah peti itu dibuka,tampaklah di dalamnya terbujur kaku sesosok wanita tua yang cantik dengan make up dan pakaian yang indah yang tak
lain adalah ibu.
“ Marilah
kita melihat wajah Ny.Kinah Usuf untuk
yang terakhir kali, seorang figur wanita yang berhati mulia, tegas, bijaksana
dan tegar ” sambil mengangkat tangan nya kearah para pelayat dan memberi
aba-aba untuk mengalihkan pandangan kearah peti jenazah yang telah terbuka.
Wajah ibu tampak bahagia, kemerahan, dengan riasan
alis yang hitam ,rambut hitam tersisir rapi seakan belum meninggal. Semua yang
menyaksikan seolah-olah melihat wanita yang sedang tertidur pulas menikmati
saat tidur panjangnya dalam sebuah peti
jenazah yang indah.
Tetesan air mata membanjiri mata para
pelayat yang hadir di pemakaman Ny.Kinah usuf. Tetesan air mata yang tidak
dapat dibendung saat mengiringi kepergian ibu.
“ Sungguh
tidak disangka, ibu Kinah pergi secepat ini.” Ucap seorang pelayat.
Suasana sore itu diliputi oleh kesedihan dan duka
yang mendalam. Tak dapat aku bayangkan, dan aku harus menerima kenyataan,aku harus
berpisah dengan ibu tercinta yang selama ini menemani kami, saat suka maupun
duka.
Saat peti ditutup, hanya satu ucapku
kepada ibu, “ Selamat jalan ibu,semoga ibu baik-baik di sana.” Aku sangat sedih dan merasa sepi, kulihat
ayah, abang, kakak, keponakan dan semua saudaraku merasa kehilangan. Wajahku kusut penuh kesedihan yang tidak tara. Kesedihanku
semakin menggunung, seakan telah terjadi bencana besar yang menimpa hidupku,
dan itu memang terjadi hari ini, Minggu,1 November 2009.
Di tengah kesedihan itu,tampak seonggok
gunung kecil berukuran dua kali satu meter, di atasnya bertaburan bunga berwarna – warni dengan potongan daun
pandan tak ketinggalan wewangian dan karangan bunga dari para pelayat. Pada
salah satu ujung onggokan tanah itu, berdiri sebuah tiang salib berwarna hitam
yang bertuliskan RIP dengan sebuah nama
wanita. Tercium di area sekitar pemakaman semerbak bau Parfum yang menusuk hidung seakan mengiringi kepergian ibu dan mengakhiri penderitaan selama hidupnya.
Sesaat kemudian tak terdengar lagi suara tangisan dan doa yang
dipanjatkan, sepi dan lenggang.Lilin - lilin berwarna putih yang terus menyala,
menanti datangnya angin yang akan segera meniup dan akhirnya lilin itupun
padam. Di atas, kulihat sekumpulan awan hitam menumpuk membuat langit menjadi gelap, mengisyaratkan bahwa hujan akan turun. Aku sangat cemas saat itu,aku berharap agar
hujan tidak turun, namun kenyataannya hujan memang tidak turun.
Setiap mengenang ibu aku tidak dapat melupakan
saat-saat bahagia bersamanya. Saat yang paling bahagia, ketika makan bersama.
“ Tak ada
sesuatu apapun di dunia ini yang sempurna dan akan tetap abadi, semuanya akan
kembali kepangkuan-Nya, kita hanya bisa menunggu kapan kita dipanggil dan
menunggu giliran kita. ” itulah ucapan
ibu kepada aku dan kakak, ketika kami makan bersama di ruang dapur tua yang
dipenuhi tawa, canda dan kebahagiaan.
“ Ibu ingin kalian menjadi orang - orang yang
berguna bagi keluarga, agama, bangsa dan negara.” Ucap ibu dengan nada bicara
yang tegas.
“ Ibu masih ingat perjuangan ayah kalian dulu,saat
berjuang dan menumpas para komunis yang
memberontak kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama anggota Militer
tentara Siliwangi. Mereka berjuang penuh
semangat untuk bangsa. Jiwa nasionalisme
dan patriotisme ayah kalian memang amat besar. Ayah tidak pernah takut dan gentar, apalagi mengeluh akan
kematian yang sewaktu – waktu datang menimpa. Berjuanglah untuk negeri ini
selagi kalian bisa, tumpas semua kejahatan, keserakahan dan kezaliman yang ada.
Walau kalian harus menderita kehilangan kebahagiaan ,kehilangan harta namun
kalian tetap mempertahankan harga diri
dan maruah negeri ini.” Ucapan ibu yang tulus sambil memberikan wejangan dan
pengajaran yang bagiku amatlah berharga. Tampak sesekali ibu mengambil sesesuap
nasi dari dalam piring seng dengan tangannya, lalu memasukkan ke dalam mulutnya
untuk dikunyah, lalu mengambil segelas air putih dari ketel almunium berwarna
putih.
Ibu memang gemar bercerita, apalagi di
saat makan bersama. Ia menceritakan kebahagiaan isi hatinya kepada aku dan
kakak yang selalu dekat dengannya.
Terkadang kami bergurau dan tertawa bersama, hingga tawa dan candaan kami
terdengar di luar rumah.Ibu memang memiliki suatu kharisma dan pesona
tersendiri, laksana seorang Dewi pelindung yang selalu melindungi anak –
anaknya dari kejahatan, ibu selalu memberikan wejangan dan tuntunan. Kebahagiaan
yang ibu miliki merupakan nafas
kehidupan kami semua.
Pernah
saat itu ibu menderita sakit keras, aku dan kakak sangat panik sekali.
Ibu tidak bisa bercakap – cakap dikarenakan meneguk cairan minyak kayu putih yang ada di atas meja makan. Hal ini terjadi
karena ibu mengira bahwa botol itu berisi minuman penyegar tenggorokan.
Kejadian ini membuat syokk berat kepada
aku dan kakak. Ibu memang sering sakit – sakitan, kata dokter ibu menderita
penyakit komplikasi, penyakit lambung kronis, maag, ginjal, rematik pada
tulang, dan rabun mata. Hal ini membuat ibu sangat menderita, tak ada tawa dan rasa
kebahagiaan.
Pada saat kami makanpun ibu tak bisa
tersenyum karena menahan betapa kerasnya sakit yang ia derita.
“ Ibu tak ada nafsu untuk makan, ibu hanya ingin
minum dan minum. Tenggorokan ibu kering, Ibu sangat haus... ’’ ujar ibu sambil
membungkuk dan memegangi perutnya. terkadang sesekali memegangi tenggorokan yang mungkin kering dan membutuhkan setetes
air.
“ iya bu,tapi Ibu juga harus makan agar ibu bisa
kuat.” Sahut ku dengan sabar.
Aku tahu ibu sangat menderita, dengan sakit yang ia alami.
Sakit yang dialami itu, merupakan akibat yang selama ini ibu lakukan. Ibu lupa
istirahat, jarang makan. Aku sangat bangga kepada ibu, selain memiliki
kharisma, ia juga cekatan dalam
melakukan segala sesuatu. Ibu seorang yang ulet, mau mencoba hal yang dianggap baru.
Setiap hari ibu bekerja di sawah, tak
mengenal waktu. Panas terik dan hujan deras bukanlah suatu halangan bagi ibu. Walau cuaca buruk ,
ia tetap berangkat ke sawah. Bagi ibu, membantu ayah untuk mencari sesuap nasi
amatlah penting. Ibu selalu beranggapan bahwa seorang istri harus mau bekerja
untuk membantu suaminya. Kalau tidak mau membantu artinya istri tersebut
tidak setia kepada suami dalam membina rumah tangga.
Ibu memang seorang yang periang, ramah
dan suka bergaul dengan orang, terkadang teman – teman ibu dari Kampung Pakunam
berkunjung ke rumah kami. Mereka ingin ngobrol bersama ibu karena lama tidak
bertemu. Selain itu, mereka ingin belajar membuat keranjang yang dalam bahasa Dayak
disebut Jaeje. Keranjang ini terbuat
dari bilah bambu kecil,di belah tipis lalu dianyam sedemikian rupa hingga terbentuklah
Jaeje.
Selain membuat jaeje , ibu juga kadang
kala mengajarkan mereka menjahit atap rumbia yang terbuat dari daun sagu.
Apabila sudah jadi,atap tersebut di jual ke seorang pengepul taoke cina bernama
Khim Lin. Taoke itu juga membeli
keranjang yang dibuat ibu. Dari hasil penjualan keranjang dan atap itu ,kemudian
ibu membeli sembako dan sebagian
disisihkan untuk uang sekolah kami. Ibu memang rajin, kata nenek ibu sejak
kecil telah diajarkan bekerja keras.
Malam ini ibu terlihat sedikit aneh. Ibu agak
sedikit panik. Mungkin sebabnya hari ini
ibu lembur dengan pekerjaannya, karena musim panen padi telah tiba.
“ Pinggang
ibu sangat sakit sekali, ibu ingin dipijit...” Keluh ibu sambil memegangi
pinggang dan berpegangan pada daun pintu.
“ Panggilkan
Delia” ujar ibu kepada aku dan kakak.
’’ya bu, sebentar aku panggil Delia dulu bu... ”
sahutku pada ibu.
“ Del, ibu
panggil kamu tuh, minta dipijit.” Ucapku pada Delia.
’’ iya...’’ jawab Delia kepadaku. Lalu delia
menghampiri ibu.
” uwak, bagian mana yang sakit ....” tanya Delia.
” Pinggang bagian belakang, badan uwak sakit Del ...
” jawab ibu.
Ibu memang senang bila dipijit oleh Delia, memang
pijatan delia lembut dan diapun saat memijat disertai konsentrasi. Maka tidak
mengherankan jika ibu menyukai pijatan delia.
Ibu memang memiliki sifat yang berbeda
dengan perempuan kebanyakan. Ibu selalu bahagia jika ada persoalan. Ibu tidak
mau membeberkan aib yang terjadi dalam rumah tangga, apalagi aib orang lain.
Ibu memang seorang yang memiliki sifat misterius dan menurutku aneh. Ibu merasa
bahagia apabila mendapatkan suatu masalah, baginya masalah merupakan suatu
tantangan yang harus ia jalani, hadapi
dan perjuangkan dengan sebuah hasil yang nyata. Ibu mempunyai semboyan, makan
tak makan yang penting bahagia bersama keluarga. Kebahagiaan keluarga sangat
ibu kedepankan. Ibu tak mau bahtera rumah tangganya bersama ayah hancur karena
suatu masalah yang tidak berguna. Kebahagiaan dan keutuhan keluarga harus dipertahankan.
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, malam
datang di sertai udara dingin. Suara binatang malam mulai terdengar. Piring dan
gelas-gelas kosong bertebaran di tempat
cucian, remahan nasi yang terbuang bertaburan di atas meja makan. Panci dan
pekakas dapur tergeletak begitu saja di dapur. Ruangan kotor penuh butiran debu
dan pasir halus yang belum disapu. Tak ada
suara wanita terdengar di dapur, tak ada bunyi gemercik air di keran.
Tak ada bau nasi goreng yang dimasak, tatkala bunyi suara adzan subuh membangunkan umatnya untuk segera sholat. Tak
ada lagi acara makan bahagia bersama ibu
lagi. Semua telah sirna, semua telah pupus, semua telah pergi. Tumpukan padi
penuh debu tak ada yang menyentuhnya, semua ditinggalkan begitu saja. Semua
kebahagiaan dan aktivitas bersama ibu
telah hilang, senyuman bahagia ibu telah
pergi untuk selamanya. Yang tersisa hanya bunyi cicak-cicak yang merayap di
atas meja makan , mengerumuni remahan sisa makanan para pelayat yang tadi siang
datang ke rumah untuk melayat kepergian ibuku tersayang.