Sabtu, 20 Juni 2015

OTONOMI DAERAH

Kebijakan Otonomi Daerah Dalam Kerangka NKRI



BAB I
PENDAHULUAN
Judul pembahasan yang kita bahas adalah “Kebijakan otonomi daerah dalam kerangka NKRI”. Tema ini relevan untuk dibahas ditengah upaya kita untuk memperkuat sistem demokrasi dan sistem pemerintahan yang baik di daerah, terutama sejak dimunculkannya semangat desentralisasi pada masa reformasi 1998 lalu. Pada saat ini kita tengah berada pada era pelaksanaan otonomi daerah, dimana tujuannya adalah membuat daerah menjadi lebih mandiri, maju dan sejahtera –dalam kerangka penguatan pembangunan nasional.
Keberhasilan pembangunan daerah merupakan bagian integral dari keberhasilan pembangunan nasional dalam kerangka NKRI. Desentralisasi merupakan paradigma yang memperkokoh pembangunan daerah dewasa ini. Paradigma desentralisasi tersebut, tidak saja semata-mata merupakan reaksi atas praktik pembangunan nasional yang sentralistik, sebagaimana diterapkan sedemikian rupa pada masa Orde Baru, tetapi sudah menjadi tuntutan mendasar yang harus diterapkan dengan mengimplementasikan konsep otonomi daerah secara luas.
BAB II
PEMBAHASAN
Kebijakan Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI
A.   Hakikat Otonomi daerah
Otonomi daerah Dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah adalah kepala daaerah beserta perangkat  daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. DPRD adalah badan legislative daerah. Sedangkan Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
B.   Otonomi daerah dalam kerangka NKRI
Implementasi paradigma desentralisasi di Indonesia, selaras dengan konstitusi (UUD Negara RI 1945) dilakukan untuk memperkuat format negara kesatuan (NKRI), bukan dalam format negara federal (federalisme). Kerangka otonomi daerah secara luas di Indonesia, dengan demikian diharapkan dapat berjalan secara efektif dalam menggerakkan laju pembangunan di berbagai bidang di daerah, dalam memperkuat NKRI. Dengan implementasi otonomi daerah secara luas dalam kerangka penguatan NKRI, maka diharapkan :
1.    Akan muncul kemandirian yang digerakkan oleh kreativitas dan inovasi daerah dalam mengoptimalisasikan berbagai potensi sumberdaya yang ada, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam, untuk kepentingan kemajuan dan kesejahteraan daerah –dan dengan demikian otomatis akan mendukung atau memperkokoh pembangunan nasional dalam bingkai NKRI.
2.    Tata hubungan antara pusat-daerah diharapkan akan menjadi lebih proporsional, harmonis dan produktif dalam rangka penguatan integrasi (persatuan dan kesatuan) bangsa dan pembangunan nasional. Dengan demikian, tidak akan ada lagi keluhan-keluhan dari daerah atas kebijakan pemerintah pusat yang dinilai tidak adil. Demikian pula, tidak akan ada lagi resistensi dan gejolak terkait dengan hubungan pusat-daerah. Pergerakan pendulum antara sentralisasi dan desentralisasi sangat jelas terlihat dari rumusan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang ada, baik sebelum dan setelah era reformasi. Sebelum era reformasi, berlaku UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Pada saat itu, terjadi turbulensi di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, sampai diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah itu, kini telah berlaku UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Membandingkan pokok-pokok pikiran antara UU No. 5 tahun 1974 dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004, ada perbedaan mendasar.
·         Pertama, dari sisi filosofis. UU No. 32 tahun 2004 filosofinya adalah keseragaman atauuniformitas, sedangkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 filosofinya adalahkeanekaragaman dalam kesatuan.
·         kedua, dari aspek pembagian satuan pemerintahan. UU No. 5 tahun 1974 menggunakanpendekatan tingkatan (level approach), ada Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan, UU No 22 tahun 1999 menggunakan pendekatan besaran dan isi otonomi (size and content approach), ada daerah yang besar dan ada daerah yang kecil berdasar kemandirian masingmasing, ada daerah dengan isi otonomi terbatas dan ada daerah yang otonominya luas. Sementara, UU No. 32 tahun 2004 menggunakan pendekatan besaran dan isi otonomi (size and content approach), dengan menekankan pada urusan yang berkeseimbangan dengan azas eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
·         Ketiga, fungsi utama pemerintahan daerah, menurut UU No. 5 tahun 1975 adalah sebagaipromotor pembangunan, sedangkan menurut UU No. 22 tahun 1999 sama dengan UU No. 32 tahun 2004 yaitu sebagai pemberi pelayanan masyarakat.
·         Keempat, terkait dengan penggunaan azas penyelenggaraan pemerintah daerah. Menurut UU No. 5 tahun 1974 adalah seimbang antara desentralisasi, dekonsetrasi dan tugas pembantuan pada semua tingkatan. Sementara pada UU No. 22 tahun 1999, desentralisasi terbatas pada daerah provinsi dan pada luas daerah kabupaten/kota, dekonsentrasi terbatas pada kebupaten/kota dan luas pada provinsi, tugas pembantuan yang seimbang pada semua tingkatan pemerintahan sampai ke desa. Sedangkan, menurut UU No. 32 tahun 2004, desentralisasi diatur berkesimbangan antara daerah provinsi, kabupaten/kota, desentralisasi terbatas pada kabupaten/kota dan luas pada provinsi, tugas pembantuan berimbang pada semua tingkatan pemerintahan. Bagaimanapun, otonomi Daerah merupakan kewenangan untuk membuat kebijakan (mengatur) dan melaksanakan kebijakan (mengurus) berdasarkan perkara sendiri. Sehingga, masyarakat yang berada pada satu teritori tertentu adalah pemilik dan subyek Otonomi daerah. Hal ini, membawa konsekwensi perlunya partisipasi aktif dari masyarakat dalam setiap tahap penyelenggaraan otonomi.
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk pengejawantahan dari proses desentralisasi. Kepentingannya adalah upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan diselenggarakannya pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, yang adil dan makmur. Dua tema adil dan makmur dalam konteks ini berarti terciptanya suatu tatanan yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera di daerah. Kebijakan desetralisasi akan mendorong terciptanya tatanan yang demokratis dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
C.   Alasan Indonesia membutuhkan desentralisasi otonomi daerah:
1.    Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta, pembangunan wilayah lain sebagian dilalaikan.
2.    Pembagian kekayaan secara tidak adil dan tidak merata.
3.    Kesenjangan sosial sangat mencolok
D.   Pentingnya penerapan kebijakan desentralisasi otonomi daerah adalah:
1.    Paradigma desentralisasi juga selaras dengan prinsip pemerintahan yang demokratis, dengan adanya pengaturan kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Desentralisasi tidak menafikkan peran dan kewenangan pemerintah pusat. Asas dekonsentrasi tetap harus Dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, seiring sejalan (sinergis) dengan laju implementasi otonomi daerah.
2.    Desentralisasi juga mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan, yang dapat menimbulkan munculnya pemerintahan yang otoriter, serta mendorong demokratisasi di tingkat lokal, karena rakyat lebih mempunyai peluang untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan di wilayahnya masing-masing (grass roots democracy).
3.    Desentralisasi menciptakan efisiensi pemerintahan, karena sebagian urusanurusan pemerintahan diselenggarakan oleh satuan-satuan pemerintahan tingkat daerah, sehingga memperpendek rentang birokrasi bila dibandingkan dengan pengendalian dari Pusat.
4.    Dari segi sosiokultural, desentralisasi menyebabkan kepentingan rakyat di daerah-daerah yang memiliki kekhususan-kekhususan tertentu dapat tertangani dengan lebih baik.
5.    Desentralisasi membuat pembangunan dapat berjalan dengan lebih baik dan terarah, karena dilakukan langsung oleh satuan-satuan pemerintahan di tingkat daerah.
E.  Argumentasi dalam pelaksanaan desentralisasi pada otonomi daerah
Pelaksanan desentralisasi harus dilandasi argumentasi yang kuat dan baik secara teoritik atau empirik. Argumen dalam memilih desentralisasi otonomi daerah:
1.    Untuk terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan

  •   Fungsi distributif (mengelola berbagai dimensi kehidupan)
  • Fungsi regulatif (menyangkut penyediaan barang dan jasa)
  • Fungsi Ekstraktif (memobilisasi sumberdaya keuangan untuk aktivitas negara)
2.    Sebagai sarana pendidikan politik
3. pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan           terutama karir dibidang politik dan pemerintah ditingkat nasional
4.    stabilitas politik
5.  kesetaraan politik, masyarakat tingkat lokal mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam politik
6.    Akuntabilitas public Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara.
F.    Bentuk dan Tujuan Desentralisasi dalam Konteks Otonomi Daerah
1.    Dekonsentrasi
Hanya berupa pergesran volume pekerjaan dari parlemen pusat kepada perwakilannya yang ada didaerah tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan. Dapat ditempuh melalui:
ü  Transfer kewajiban dan bantuan keuangan dari pemerintah pusat kepada propinsi, distrik dan unit administratif lokal 
ü  Koordinasi unit-unit pada level sub-nasional atau melalui insentif dan paraturan perjanjian diantara pemerintah pusat dan daerah serta unti-unit tersebut.
2.    Delegasi
Adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tuga-tugas khusus kepada organisasi yang tidak secara langsuang berada dibawah pangawasan pemerintah pusat .
3.    Devolusi
Adalah kondisi dimana pemerintahan pusat membentuk unit-unit pemerintahan diluar pemerintahan pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri. Menurut Rondinelli, devolusi merupakam upaya memperkuat pemerinyahan didaerah secara lelgal yang secara subtantif kegiatan-kegiatan yang dilakukannya diluar kendali langsung pemerintah pusat.
Ciri yang melekat pada devolusi:
a.    Adanya sebuah badan lokal yang secara konstitusional terpisah dari pemerintah pusat dan bertanggung jawab pada pelayanan lokal yang signifikan.
b.    Pemerinyah daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran dan rekening seiring dengan otoritas untuk meningkatkan pendapatannya.
c.    Harus mengembangkan kompetensi staf.
d.    Anggota Dewan yang terpilih, yang beroperasi pada garis partai, harus menentukan kebijakan dan prosedur internal.
e.    Pejabat pemerintah pusat harus melayani sebagai penasihat dan evaluator luar yang tidak memiliki peranan apapun didalam otoritas local
4.    Privatisasi
Adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta dan swadaya masyarakat, tetapi dapat pula merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misal: BUMN dan BUMD dilebur menjadi Perseroan Terbatas (PT). Tugas Pembantuan Merupakan pemberian kemungkinan dari pemerintah pusat/pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas/urusan rumah tangga dari daerah yang tingkatannya lebih atas.
  
G.   Kebijakan dan Tujuan Otonomi daerah
Jadi pada intinya, tujuan dan kebijakan desentralisasi otonomi daaerah dalam kerangka NKRI adalah:
1.    Pemerintahan otonomi daerah mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, yang adil dan makmur yang berarti terciptanya suatu tatanan yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera di daerah.
2.    Desentralisasi atau otonomi daerah yang mampu menumbuhkan modal sosial dan tradisi kewargaan di tingkat lokal.
3.    Penerapan Otonomi Daerah yang mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat daerah, khususnya rakyat miskin.
4.    Otonomi daerah mempermudah mengakses sumberdaya dan mengembangkan potensin untuk dapat meningkatkan kemajuan daerah masing-masing, sehingga kesenjangan antardaerah dan pusat dapat diperkecil.
5.    Otonomi daerah dapat menjawab akar tuntutan politik yaitu tuntutan keadilan ekonomi yang kurang adil antara pusat dan daerah.

6. otonomi daerah meningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah.

7. Pembagian kebijakan kewenangan Daerah Otonomi Propinsi dalam rangka desentralisasi mencakup:
a) Kebijakan Yang meliputi lintas kabupaten dan kota (bidang PU, Perhubungan, Perkebunan)
b)   Kebijakan dalam Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro
c)    Kebijakan dalam hal kelautan yang meliputi eksplorasi, akspluoitasi, konservasi
d)    Daerah Otonom Kabupaten dan Daerah Otonom Kota bertanggung jawab atas beberapa bidang, misalnya Peternakan, Pertanian, Pendidikan dan Kebudayaan, Tenaga Kerja, Kesehatan, Lingkungan Hidup, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Pedagangan dan Industri, Penanaman Modal, dan Koperasi

8. Otonomi Daerah sebagai komitmen dan kebijakan politik nasional merupakan langkah strategi yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan Daerah, disamping menciptakan keseimbangan pembangunan antar daerah di Indonesia.

9. Otonomi daerah memfasilitasi bentuk kegiatan didaerah dalam bidang ekonomi.

10. Pemerintahan daerah harus kreatif
11. Otonomi daerah membentuk Politik lokal yang stabil
12. Pemerintahan Daerah harus menjamin kesinambungan berusaha
13. Pemerintahan Daerah harus komunikatif dengan LSM, terutama dalam bidang perburuhan dan lingkungan hidup. 
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

ilegal fishing

Illegal Fishing

Karta Jaya | 11/04/2011 | 0 komentar |
Masalah perikana tangkap yang melanggar hukum atau lebih dikenal dengan istilah Illegal Fishing sebenarnya sudah menjadi masalah klasik. Mengapa dikatakan klasik? karena masalah ini telah ada dari zaman dulu yang seakan-akan tidak ada habisnya. Hingga sekarang pun Illegal Fishing masih sulit untuk di berantas. Berita penangkapan kapal asing oleh patroli kita, akhir-akhir ini sering terdengar. Akan tetapi tetap masih saja ada kapal-kapal asing yang masuk wilayah RI. Atau berita pengeboman ikan atau berita nelayan kita yang menggunakan Alat Penangkapan Ikan  terlarang.

Sebagaimana yang telah kita ketahui, peran pemerintah dalam menjaga perairan di wilayah perbatasan sangat terbatas, bahkan dapat dikatakan minim baik dalam hal trasportasi seperti kapal-kapal patroli maupun dalam hal jumlah ankatan laut maritim yang siaga berpatroli. Bayangkan saja jika kapal patroli kita, ataupun kapal penangkap ikan kita yang umumnya berukuran kecil dan tradisional, harus berhadapan dengan kapal asing yang berukuran lebih besar dan modern serta dalam jumlah yang lebih banyak. 

Masalah illegal fishing adalah masalah kita bersama. Masalah tersebut tidak akan dapat teratasi jika kita tidak berbenah diri. Salah satu cara untuk mengatasinya yaitu mungkin dengan menambah armada kapal patroli kita, supaya kapal-kapal asing yang masuk ke wilayah perairan kita yang melakukan illegal fishing bisa ditangkap ataupun bisa dihancurkan kapal mereka.
Mengapa harus demikian? Karena masalah illegal fishing menimbulkan kerugian yang amat sangat besar bagi Bangsa dan Negara Indonesia. Berapa Triliunkah uang kita dicuri oleh Negara lain? Berapa banyak sumberdaya alam kita dihancurkan dan dicuri oleh Negara lain? 
 
Potensi Kelautan
Sebagai negara maritim, Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya kelautan yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian belum diketahui potensi yang sebenarnya untuk itu perlu data yang lengkap, akurat sehingga laut sebagai sumber daya alternatif yang dapat diperhitungkan pada masa mendatang akan semakin berkembang. Dengan luas wilayah maritim Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan dengan kekayaan terkandung di dalamnya yang meliputi :
  1. Kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies fauna dan 110.000 spesies mikroba,
  2. 600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies dari 7 genera,
  3. Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut, mangrove/hutan bakau, hewan karang dan biota laut lainnya,
  4. Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), seperti minyak bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya,
  5. Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion,
  6. Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat yang cocok untuk lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai yang indah, perairan berterumbu karang yang kaya ragam biota karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan penampung limbah,
  7. Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi terluar dari pulau-pulau terdepan sebagai titik-titik untuk menarik garis pangkal darimana pengukuran batas laut berpangkal.
  8. Sudah terwujudnya beberapa kesepakatan/pejanjian batas laut yaitu : dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan PNG.
Sejumlah potensi tersebut di atas merupakan sumberdaya yang sangat potensial dikelola, untuk kesejahteraan rakyat. Di era krisis ekonomi yang masih belum dapat diatasi sepenuhnya hingga saat ini, seharusnya potensi laut yang besar tersebut menjadi solusi. Namun karena selama ini kita telalu fokus kepada sumberdaya yang ada di darat, maka sumberdaya laut yang besar menjadi tersia-siakan. Keadaan inilah yang memberikan peluang kepada bangsa-bangsa lain untuk mengeksploitasi laut kita dengan leluasa yang salah satunya dengan illegal fishing.
Kendala Kelautan
Disadari bahwa penanganan bidang kelautan di Indonesia hingga saat ini masih memprihatinkan, antara lain.
  1. Kehancuran sebagian terumbu karang yang memilili fungsi ekologi dan ekonomi yang hanya menyisakan sekitar 28%, rawa pantai dan hutan mangrove (bakau) yang merupakan habitat ikan dan penyekat abrasi laut, dari 4 (empat) jutaan hektar telah menyusut menjadi 2 (dua) jutaan hektar.
  2. Pencurian ikan oleh orang asing menunjukkan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun,
  3. Sumberdaya manusia (SDM) di bidang kelautan yang sangat minim baik di bidang perencanaan, pengelolaan, maupun hukum dan pengamanan kelautan,
  4. Sebagian besar (85%) kapal-kapal yang beroperasi di perairan Indonesia menggunakan modal asing dan selebihnya adalah modal nasional. Hal ini juga berdampak pada sekitar 50% pelayaran antar pulau dikuasai oleh pihak asing,
  5. Minimnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana (kapal, peralatan) menyebabkan seringkali aparat keamanan laut (Kamla) kita tidak berdaya menghadapi kapal-kapal pencuri ikan, sehingga hanya sebagian kecil yang dapat ditangkap,
  6. Pemanfaatan teknologi maju melalui pengamatan satelit dalam rangka pengawasan dan pengamanan laut (Waspam) masih sangat terbatas dan belum terintegrasi secara permanen,
  7. Eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan di sepanjang pantai dan perairan telah menyebabkan pencemaran laut akibat pembuangan limbah dari proses kegiatan tersebut di atas, sehingga telah mendegradasi habitat pesisir dan laut,
  8. Maraknya kasus pembajakan laut khususnya di Selat Malaka dan alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) telah menimbulkan konflik yang mengundang intervensi negara maju (USA dan Jepang).
Penangkapan yang berlebihan
Faktor-faktor lain yang berpengaruhi:
a.  Lepasnya P. Sipadan dan P. Ligitan dari klaim wilayah kita ke tangan Malaysia memberikan pelajaran berharga guna mewaspadai pulau-pulau kecil yang ada di zona perbatasan dan memberikan kesadaranbagi kita semua tentang pentingnya pembinaan atas pulau-pulau tersebut,
b. Kondisi faktual, banyak WNI penduduk wilayah perbatasan lebih banyak berhubungan dengan warga negara tetangga/asing yang lebih maju, mereka menggunakan uang asing, menonton TV asing, mendengarkan radio asing dan menggunakan bahasa. asing (bahasa negara tetangga). Contoh, penduduk P. Sebatik (Indonesia-Malaysia), Kep. Sangir & Talaud dan P. Miangas (Indonesia-Filipina). Dengan demikian secara tidak sengaja penduduk perbatasan sudah terbina dan terkooptasi oleh pengaruh negara tetangga, sementara itu pembinaan dari pemerintah terhadap mereka sangat minim,
c.  Adanya batas yang sangat panjang dan khususnya alur laut (ALKI) yang tidak dapat diawasi secara memadai karena keterbatasan aparat, sarana dan prasarana. Waspam laut banyak dimanfaatkan sebagai alur perlintasan kriminal seperti penyelundupan barang ilegal (illegal logging/ fishing/imigrants), pengungsi, trafficking dan akhir-akhir ini terorisme Internasional
d. Keadaan ekonomi negara dan rakyat (khususnya nelayan) yang masih sulit menyebabkan kepedulian dan kemampuan terhadap pengelolaan dan Waspam laut sangat rendah,
e.  Adanya pertentangan internal dalam negeri, antar kelompok etnis, agama, ras dan. golongan (SARA) atau pemerintahan daerah (Pemda) memberikan celah-celah bagi elemen asing yang bertujuan negatif dengan mengintervensi dan mengeksploitasi permasalahan SARA tersebut.
 
Permasalahan Batas LautBeberapa Jenis Batas Laut dan Pengaruhnya terhadap Pertahanan Keamanan Negara menurut ketentuan Hukum Laut Internasional (Hukla 1982), ada enam jenis batas laut, yaitu :
  1. Batas Perairan Pedalaman (BPP). Perairan pedalaman di dalam garis batas yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di situ praktis sama dengan di wilayah darat, dimana NKRI mempunyai kedaulatan penuh, kapal-kapal asing tidak berhak lewat. Perairan pedalaman tersebut dibatasi oleh garis penutup (closing lines) sesuai ketentuan Hukla 1982. Namun sayang Indonesia hingga saat ini belum memanfaatkan haknya untuk menarik closing lines tersebut.
  2. Batas Perairan Nusantara/Kepulauan (BPN/BPK). Di perairan ini Indonesia mempunyai hak kedaulatan wilayah penuh tetapi kapal/pelayaran asing masih mempunyai “hak melintas” (innocent passage) melalui prinsip alur laut kepulauan. Perairan nusantara ini dikelilingi oleh garis-garis dasar yang lurus (base lines) yang menghubungkan titik-titik pangkal (base points) dan bagian terdepan pulau-pulau terdepan di seluruh Indonesia. Base lines yang menghubungkan base points dibuat berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1960 dan telah didepositkan di PBB. Undang-undang tersebut telah diperbaharui dengan UU Nomor 6 Tahun 1996 namun isinya justru mencabut base points dan base lines yang telah ada.
  3. Batas Laut Wilayah (BLW). Batas laut ini ditarik dari base lines sejauh 12 mil, tetapi BLW yang pasti/tegas juga belum ada, karena BLW tidak dapat ditentukan sepihak. Pada laut wilayah, Indonesia masih mempunyai hak mengelola dan yurisdiksi kedaulatan wilayah penuh.
  4. Batas Perairan Zona Tambahan (BPZT). Garis BPZT ini ditarik 12 mil dari garis BLW. Karena BLW nya belum pasti, maka BPZT nya juga belum dibuat.
  5. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (BZEE). Garis BZEE ditarik sejauh/selebar 200 mil dari base lines. Di perairan ZEE ini, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di situ dan kewenangan melindungi lingkungan, mengatur penelitian ilmiah maritim dan pemberian ijin kepada pihak asing yang akan melakukan penelitian ilmiah dan atau mendirikan bangunan (instalasi, pulau buatan). BZEE juga belum memiliki keabsahan/pengakuan yang pasti.
Batas Landas Kontinen (BLK). Landas Kontinen adalah ujung kaki benua atau lanjutan daratan yang tenggelam, garis BLK ditarik dari landas kontinen secara verfikal (di permukaan laut) sampai 200 mil dari base lines atau maksimal 350 mil dari base lines.
Pengertian Perikanan Ilegal 
Perikanan ilegal saat ini telah menjadi perhatian dunia, termasuk FAO (Food and Agriculture Organization). Lembaga ini menggunakan beberapa terminologi seperti perikanan illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated  (tidak diatur)  atau biasa disingkat dengan  IUU fishing. Penjelasan mengenai ketiga terminologi ini adalah sebagai berikut:
Kapal asing yang memasuki perairan Indonesia
Illegal fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan wilayah atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu Negara. Artinya kegiatan penangkapan yang tidak memiliki izin melakukan penangkapan ikan dari Negara bersangkutan. Praktek terbesar dalam  IUU fishing, pada dasarnya adalah poaching atau pirate fishing. Yaitu penangkapan ikan oleh negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain pencurian ikan oleh pihak asing. Keterlibatan pihak asing dalam pencurian ikan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:Pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat izin penangkapan legal yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan menggunakan kapal berbendera lokal atau bendera negara lain. Praktek ini tetap dikategorikan sebagai  illegal fishing karena selain menangkap ikan di wilayah perairan yang bukan haknya, pelaku illegal fishing ini tidak jarang juga langsung mengirim hasil tangkapan tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah yang sah.

Pencurian murni ilegal, yaitu proses penangkapan ikan di mana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah negara lain.Unregulated fishing,  adalah kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu Negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku dinegara tersebut. Tercakup dalam hal ini antara lain:
  • Penggunaan alat tangkap yang merusak seperti trawl, bom, dan bius.
  • Pelanggaran wilayah tangkap.
Unreported fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. Perikanan yang tidak dilaporkan mencakup:
  • Kesalahan dalam pelaporannya (misreported).
  • Pelaporan yang tidak semestinya (under reported).
Situasi Perikanan Nasional
Publikasi FAO tahun 2007 menggambarkan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukan kondisi  full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited. Artinya bahwa di kedua perairan tersebut, sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran saat ini.
1. Produksi Perikanan Nasional
Pertumbuhan produksi rata-rata perikanan tangkap dalam periode tahun 1994-2004 mencapai 3,84 persen per tahun. Sedangkan produksi perikanan tangkap pada tahun 2004 mencapai 4.311.564 ton. Apabila pemerintah menargetkan pertumbuhan produksi perikanan tangkap tetap sebesar 3,84 persen per tahun,
maka produksi perikanan tangkap nasional tahun 2009 akan mengalami full exploitation diseluruh perairan Indonesia.
2. Konsumsi Ikan Nasional
Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia setiap tahunnya terlihat mengalami peningkatan. Secara nasional tingkat konsumsi ikan nasional pada tahun 2002 baru mencapai sekitar 21 kg/kapita/tahun. Namun demikian tingkat konsumsi ikan nasional tersebut terlihat masih di atas rata-rata tingkat konsumsi ikan dunia yang baru mencapai sekitar 16 kg/kapita/tahun. Sementara itu jika dilihat dari perkembangan tingkat konsumsi ikan nasional berdasarkan jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat, terlihat bahwa sekitar 65,98 persen dari total konsumsi ikan nasional tahun 2002 didominasi oleh 18 jenis ikan. Yaitu ekor kuning, tuna, tenggiri, selar, kembung, teri, banding, gabus, kakap, mujair, mas, lele, baronang, udang segar, cumi-cumi segar, kepiting, kalong dan udang olahan.
Dari 18 jenis ikan yang dominan tersebut terlihat bahwa ikan tuna, selar dan kembung merupakan jenis ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Data Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukan, bahwa rata-rata tingkat konsumsi untuk ketiga jenis ikan tersebut pada periode 1996-2002 adalah mencapai 3,08 kg/kapita/tahun (Ikan Tuna). Atau sekitar 14,65 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002, 2,48 kg/kapita/tahun (Ikan Kembung). Sekitar 11,81 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002 dan 1,05 kg/kapita/tahun (Ikan Selar) atau sekitar 4,98 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002.
Kondisi terkini, gerakan gemar makan ikan yang di kampanyekan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah berkontribusi dalam meningkatkan angka konsumsi perikanan perkapita, dari sekitar 17 kg/kapita/
tahun di tahun 1998, menjadi sekitar 26 kg/kapita/tahun dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir. Tentu saja, meningkatnya konsumsi perkapita akan berkorelasi positif dengan pertumbuhan volume kebutuhan ikan domestik, sejalan dengan pertumbuhan penduduk rata-rata nasional yang berkisar 1,34 persen per tahun-nya (Damanik, 2007b)
Praktek Perikanan Ilegal
Sampai saat ini, belum ada perhitungan pasti jumlah ikan yang terangkut dari perairan Indonesia secara illegal setiap tahunnya. FAO (2001) memperkirakan kerugian Indonesia dari perikanan ilegal tersebut mencapai sekitar US$ 4 milyar. Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Freddy Numbery, mengakui bahwa akibat aktivitas perikanan ilegal, negara dirugikan Rp 30 triliyun setiap tahunnya. Perkembangan harga ikan rata-rata setiap tahunnya berkisar antara US$ 1.000 sampai US$ 2.000 per ton ikan. Dengan asumsi harga ikan rata-rata sebesar US$
1.000 per ton, diperkirakan jumlah ikan yang dicuri mencapai sekitar 4 juta ton per tahun. Sementara itu apabila harga ikan rata-rata diasumsikan sekitar US$
2.000 per ton maka jumlah ikan yang dicuri tersebut mencapai kisaran 2 juta ton per tahun. Terlebih lagi, apabila diasumsikan rata-rata tonase kapal ilegal yang
menangkap ikan di perairan Indonesia mencapai 200 ton dan setiap tahunnya melakukan 4 kali trip penangkapan, maka jumlah kapal ilegal mencapai sekitar 2.500 sampai dengan 5.000 kapal per tahun. Hingga kini pemberantasan praktek perikanan illegal belum juga menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan, bahkan semakin memprihatinkan. Salah satu buktinya, Maret 2006 lalu hasil verifikasi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP menunjukkan 94 persen tanda peralihan kepemilikan kapal (deletion certificate)  yang berhasil diklarifikasi adalah palsu. Lebih buruk lagi, pada semester pertama 2007 (Januari – Juni), puluhan kapal dari berbagai negara telah ditemukan kembali melakukan praktek pencurian ikan di perairan Indonesia. Praktek perikanan ilegal di Indonesia yang diungkap oleh media massa antara tahun 2002 hingga 2007, menunjukkan semakin beragam dan semakin luas wilayah Indonesia yang “disantroni” oleh kegiatan perikanan ilegal.
Perikanan ilegal tersebut mencakup pencurian ikan, yaitu kapal asing menangkap ikan di Indonesia dan tidak memiliki izin atau tidak memiliki dokumen keimigrasian perikanan yang tidak diatur, karena melanggar peraturan
perundangan yang telah ditetapkan seperti menggunakan alat tangkap trawl, bom, atau memasuki wilayah tangkap yang tidak sesuai dengan izin yang telah diberikan; serta perikanan yang tidak dilaporkan, karena memuat dan memindahkan ikan di tengah laut atau menjual ikan dijual ke negara lain, atau kegiatan lain yang menyebabkan tangkapan ikan tersebut tidak dilaporkan.
Jumlah kegiatan perikanan ilegal begitu fantastis. Pada tahun 2003, DKP menduga terdapat sekitar 5.000 kapal asing yang tidak memiliki izin beroperasi di perairan Indonesia, yang kemudian berhasil ditertibkan hingga 4.000 kapal asing melalui perizinan (Media Indonesia, 31 Desember 2003). Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan perikanan ilegal terus terjadi dari
tahun ke tahun.
Kapal asing yang melakukan kegiatan perikanan ilegal biasanya melangsungkan operasinya di wilayah perbatasan dan perairan internasional, antara lain:
1.  Perairan Timur Indonesia, seperti:
a) Perairan Papua (Sorong, Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana, Merauke, Perairan Arafuru)
b) Laut Maluku, Laut Halmahera
c)  Perairan Tual
d)  Laut Sulawesi
e)  Samudra Pasifik
f)   Perairan Indonesia-Australia
g)  Perairan Kalimantan Timur
2. Perairan Barat Indonesia, seperti:
a)  Perairan Kalimantan bagian Utara, daerah Laut Cina Selatan
b)  Perairan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
c)  Selat Malaka
d)  Sumatera Utara (Perairan Pandan, Teluk Sibolga)
e Selat Karimata, Perairan Pulau Tambelan (Perairan antara Riau dan Kalimantan Barat)
f)  Laut Natuna (Perairan Laut Tiongkok Selatan)
g) Perairan Pulau Gosong Niger (Kalimantan Barat)
Dampak Perikanan Ilegal
Maraknya perikanan ilegal di perairan Indonesia berdampak terhadap stok ikan nasional dan global. Hal ini juga menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia.
Sedikitnya terdapat sepuluh masalah pokok dari aktivitas perikanan ilegal yang telah memberi dampak serius bagi Indonesia.  Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah  (misreported), atau laporannya di bawah standar (under reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional dan global. Hal ini dapat dikategorikan melakukan praktek IUU fishing. Dengan kata lain, jika pemerintah Indonesia tidak serius untuk mengantisipasi dan mereduksi kegiatan IUU diperairan Indonesia, maka dengan sendirinya Indonesia “terkesan” memfasilitasi kegiatan IUU, dan terbuka kemungkinan untuk mendapat sanksi internasional.
Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB). Disamping juga mendorong hilangnya rente sumberdaya perikanan yang seharusnya dinikmati oleh Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari praktek perikanan ilegal mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan harga ikan ilegal berkisar antara US$ 1.000-2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 2-4 juta ton ikan. Perhitungan lain menyebutkan, bahwa total kerugian negara akibat perikanan ilegal mencapai US$ 1,924 miliar per tahun. Angka ini terdiri dari pelanggaran daerah operasi sebesar US$ 537,75 juta; dokumen palsu US$ 142,5 juta kapal tanpa dokumen atau liar US$ 1,2 juta dan penggunaan ABK asing US$ 780 juta.
Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan ikan.
Keempat, perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan penerimaan uang pandu pelabuhan. Karena kapal penangkapan ikan ilegal umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional dari sektor perikanan.
Kelima, perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah.
Keenam, baik secara langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan ilegal memilikib hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya potensi sumberdaya ikan akibat aktivitas perikanan ilegal. Apabila potensi ikan yang dicuri dapat dijala oleh armada perikanan nasional, maka sedikitnya dapat menjamin bahan baku yang cukup bagi industri pengolahan hasil perikanan, misalnya pengalengan tuna. Pada umumnya ikan yang dicuri dari perairan Indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis besar lainnya. Jika setiap industri pengalengan ikan tuna memerlukan bahan baku minimal 80-100 ton per hari atau sekitar 28.000-36.000 ton per tahun, maka ikan yang dicuri tersebut sedikitnya dapat menghidupi 42 industri pengalengan ikan tuna nasional.
Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat hilangnya nilai dari kawasan pantai, misalnya udang yang dekat ke wilayah penangkapan ikan pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusak oleh perikanan ilegal. Selanjutnya akan berdampak pada pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pantai.
Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu perikanan illegal juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan.
Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan, yang merupakan sumber protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan.
Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative pada isu kesetaraan gender dalam penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa istri nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitasb penangkapan ikan di pantai dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil perikanan

ilegal fishing


Dampak Negatif IUU Fishing Terhadap Aspek Ekonomi, Politik, Sosial, Dan Lingkungan


-     Ekonomi
IUU Fishing ini telah secara nyata merugikan ekonomi Indonesia. Negara ini telah kehilangan sumber devisa negara yang semestinya bisa menghidupi kesejahteraan masyarakatnya, namun nyatanya justru dinikmati oleh segelintir orang atau kelompok tertentu baik dari dalam maupun luar negeri. Faktor- kekayaan sumber daya alam Indonesia telah membuat cukong-cukong asing yang bekerjasama dengan oknum lokal, menggaruk hasil kekayaan alam kita. Tidak tanggung-tanggung, kerugian Negara yang diakibatkan kejahatan bidang perikanan ini mencapai angka yang luar biasa. Menurut Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (DKP) Ardisu Zainuddin, pada tahun 2005 jumlah pelanggaran yang ditangani DKP 174 kasus, tahun 2006 naik menjadi 216 kasus, sementara hingga September 2007 sudah ada 160 kapal ikan liar yang diproses secara hukum. Dari barang bukti kasus-kasus illegal fishing yang didapat jajaran DKP, rata-rata potensi kerugian negara mencapai antara Rp1-Rp4 miliar per kapal.
Jika sampai September 2007 ada 160 kapal yang ditangkap, berarti minimal kerugian negara akibat penangkapan ikan liar tahun 2007 saja berkisar antara Rp160 miliar sampai Rp640 miliar. Meski belum ada data resmi mengenai kerugian negara akibat penangkapan ikan ilegal itu, tetapi dari riset DKP pada 2003, totalnya bisa mencapai US$1,9 miliar (sekitar Rp18 triliun).
-     Politik
Persoalan illegal fishing merupakan sumber utama terjadinya ketegangan tidak hanya diantara komunitas namun juga antar negara. Kegiatan illegal fishing diperairan negara tetangga yang dilakukan kapal-kapal pukat (trawlers) Thailand sering menimbulkan ketegangan diantara Thailand dengan negara-negara tetangga, khususnya dengan Malaysia, Myanmar dan Indonesia.
Karena melibatkan kelompok nelayan dari berbagai negara, maka IUU Fishing ini tentu akan sangat rentan terhadap konflik yang lebih luas yaitu perselisihan antar negara. Dan kondisi itu akan semakin meningkat, mengingat sebagian besar negara-negara yang terlibat enggan untuk membentuk kerjasama regional untuk memberantas kegiatan illegal tersebut. Negara yang bersangkutan sepertinya tiadak mau dipersalahkan dan tidak mau dilibatkan. Mereka merasa bahwa laut meruapakan tempat terbuka (open access) dimana melibatkan lalu lintas yang sangat padat sehingga sulit untuk mendeteksi dari mana mereka berasal. Di Indonesia, hal ini semakin diperparah dengan angkatan laut dan penegakan hukum yang lemah sehingga semakin terbukanya kesempatan untuk terjadinya IUU Fishing di wilayah kedaulatan negara. Permasalahan ini sebenarnya bisa sedikit dihindari apabila setiap negara mau menjalin kerja sama regional untuk bersama-sama memberantas kegiatan IUU Fishing.
-     Sosial
Bagi Indonesia IUU Fishing menjadi perhatian utama, karena hal ini terjadi setiap hari di perairan Indonesia. Dikawasan Asia Tenggara, sektor perikanan menjadi salah satu sumber utama bagi ketahanan pangan di kawasan. Motif ekonomi sering menjadikan alasan bagi eksplorasi besar-besaran terhadap sumber daya perikanan, yang pada gilirannya, menjadikan sebagai penyebab utama bagi berkurangnya secara drastis terhadap persediaan ikan di Asia Tenggara. Persoalan ini akan berpengaruh buruk terhadap kelangsungan hidup lebih dari 100 juta jiwa. Hal ini juga telah menyebabkan sengketa diantara para nelayan lokal dengan para pemilik kapal pukat dan juga diantara para nelayan tradisional antar negara. Berkurangnya persediaan ikan diperairan Indonesia sebagai akibat illegal fishing yang dilakukan dengan menggunakan kapal-kapal pukat, juga telah memaksa para nelayan tradisional Indonesia terlibat dalam kegiatan illegal fishing diperairan Australia, yang menyebabkan timbulnya permasalahan diantara kedua negara.
Dampak secara langsung tidak hanya dirasakan oleh para nelayan, tetapi juga para karyawan pabrik, terutama pabrik-pabrik pengolahan ikan. Di Tual dan Bejina misalnya, sejak beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan asing tersebut, maka seluruh perusahaan industri pengolahan ikan tidak beroperasi lagi, dan akibat lebih lanjut sudah dapat ditebak apa yang terjadi, yaitu PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) para karyawan pabrik pengolahan ikan. Karena tidak ada lagi bahan baku tangkapan ikan yang diolah oleh perusahaan. Ini terjadi karena semua tangkapan ikan oleh kapal asing tersebut telah ditransfer ke kapal yang lebih besar di tengah laut istilahnya 'trans-shipment' dan hal ini jelas-jelas telah melanggar peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16 Tahun 2006 yang mewajibkan seluruh hasil tangkapan ikan diturunkan dan diolah di darat.
-     Lingkungan
Dari segi lingkungan, telah terjadi kerusakan yang permanen, karena menyebabkan ekosistem dan biota laut menjadi terganggu, akibat penggunaan alat penangkap ikan skala besar (Pukat Harimau dan Trawl) yang tidak sesuai dengan ketentuan dan keadaan kelautan kita. Dan yang pasti adalah semakin menipisnya sumber daya ikan di perairan Arafuru, karena hampir 3 tahun terjadi kegiatan penangkapan ikan secara semena-mena dan bersifat eksploitatif.