Selasa, 11 Oktober 2016

oh ibu ku




Sore itu terdengar nada  histeris, menggelegar memecah suasana di area pemakaman umum, yang menandakan bahwa di sana ada sebuah upacara penguburan. Upacara dilakukan pada jenazah seorang ibu, ibu tercinta yang telah pergi selamanya kemarin subuh setelah sebulan lamanya, berperang melawan komplikasi penyakit.
“ segera turunkan peti itu ! ’’ suara pak pendeta memberikan tanda perintah dengan tangan  memberikan  aba-aba kepada para pengantar jenazah, agar menurunkan peti jenazah itu.
’’ satu...  dua....   tiga .... okeee.... ” para pengantar jenajah serentak mengangkat peti dan menurunkan nya dengan bergotong-royong. Perlahan peti diturunkan dari mobil.
Setelah peti diturunkan, kemudian mereka mengatur posisi peletakan arah peti, sesuai dengan adat dan tradisi daerah setempat.
 “ Posisi kaki di arahkan ke selatan ”  perintah seorang tetua kampung.
 “ Sip, oke,oke sudah pas.” Tambahan lagi dari tetua kampung itu.
Kemudian pak pendeta memberikan aba – aba untuk membuka peti jenazah itu. Peti  itu sangat  indah, berwarna coklat tua, berukir empat malaikat dengan bunga teratai indah, terdapat dua pintu yang dapat dibuka. Peti  seharga Rp3 juta rupiah itu memang sebanding dengan rupa yang ditampilkan.
“ Sebelum upacara penguburan dilaksanakan, silahkan peti ini dibuka ” perintah pak pendeta kepada para pengantar.
Setelah peti itu dibuka,tampaklah  di dalamnya  terbujur kaku sesosok  wanita tua yang cantik dengan make up dan pakaian yang indah yang tak lain adalah ibu.
 “ Marilah kita melihat wajah Ny.Kinah  Usuf untuk yang terakhir kali, seorang figur wanita yang berhati mulia, tegas, bijaksana dan tegar ” sambil mengangkat tangan nya kearah para pelayat dan memberi aba-aba  untuk  mengalihkan pandangan kearah  peti jenazah yang telah terbuka.
Wajah ibu tampak bahagia, kemerahan, dengan riasan alis yang hitam ,rambut hitam tersisir rapi seakan belum meninggal. Semua yang menyaksikan seolah-olah melihat wanita yang sedang tertidur pulas menikmati saat  tidur panjangnya dalam sebuah peti jenazah yang indah.
Tetesan air mata membanjiri mata para pelayat yang hadir di pemakaman Ny.Kinah usuf. Tetesan air mata yang tidak dapat dibendung saat mengiringi kepergian ibu.
 “ Sungguh tidak disangka, ibu Kinah pergi secepat ini.” Ucap seorang pelayat.
Suasana sore itu diliputi oleh kesedihan dan duka yang mendalam. Tak dapat aku bayangkan, dan  aku harus menerima kenyataan,aku harus berpisah dengan ibu tercinta yang selama ini menemani kami, saat suka maupun duka.
Saat peti ditutup, hanya satu ucapku kepada ibu, “ Selamat jalan ibu,semoga ibu baik-baik di sana.”  Aku sangat sedih dan merasa sepi, kulihat ayah, abang, kakak, keponakan dan semua saudaraku merasa kehilangan. Wajahku  kusut penuh kesedihan yang tidak tara. Kesedihanku  semakin  menggunung, seakan  telah terjadi bencana besar yang menimpa hidupku, dan itu memang terjadi hari ini, Minggu,1 November 2009.
Di tengah kesedihan itu,tampak seonggok gunung kecil berukuran dua kali satu meter, di atasnya bertaburan  bunga berwarna – warni dengan potongan daun pandan tak ketinggalan wewangian dan karangan bunga dari para pelayat. Pada salah satu ujung onggokan tanah itu, berdiri sebuah tiang salib berwarna hitam yang bertuliskan  RIP dengan sebuah nama wanita. Tercium di area sekitar pemakaman semerbak bau Parfum yang menusuk hidung seakan mengiringi kepergian ibu dan  mengakhiri penderitaan selama hidupnya.
Sesaat kemudian  tak terdengar lagi suara tangisan dan doa yang dipanjatkan, sepi dan lenggang.Lilin - lilin berwarna putih yang terus menyala, menanti datangnya angin yang akan segera meniup dan akhirnya lilin itupun padam. Di atas, kulihat  sekumpulan awan  hitam menumpuk membuat langit menjadi gelap,  mengisyaratkan bahwa hujan akan turun.  Aku sangat cemas saat itu,aku berharap agar hujan tidak turun, namun kenyataannya hujan memang tidak turun.
Setiap mengenang ibu aku tidak dapat melupakan saat-saat bahagia bersamanya. Saat yang paling bahagia, ketika makan bersama.
 “ Tak ada sesuatu apapun di dunia ini yang sempurna dan akan tetap abadi, semuanya akan kembali kepangkuan-Nya, kita hanya bisa menunggu kapan kita dipanggil dan menunggu giliran kita. ”  itulah ucapan ibu  kepada aku dan kakak,  ketika  kami makan bersama di ruang dapur tua yang dipenuhi tawa, canda dan kebahagiaan.
“ Ibu ingin kalian menjadi orang - orang yang berguna bagi keluarga, agama, bangsa dan negara.” Ucap ibu dengan nada bicara yang tegas.
“ Ibu masih ingat perjuangan ayah kalian dulu,saat berjuang  dan menumpas para komunis yang memberontak kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama anggota Militer tentara Siliwangi. Mereka  berjuang penuh semangat  untuk bangsa. Jiwa nasionalisme dan patriotisme ayah kalian memang amat besar. Ayah tidak pernah  takut dan gentar, apalagi mengeluh akan kematian yang sewaktu – waktu datang menimpa. Berjuanglah untuk negeri ini selagi kalian bisa, tumpas semua kejahatan, keserakahan dan kezaliman yang ada. Walau kalian harus menderita kehilangan kebahagiaan ,kehilangan harta namun kalian tetap mempertahankan  harga diri dan maruah negeri ini.”  Ucapan  ibu yang tulus sambil memberikan wejangan dan pengajaran yang bagiku amatlah berharga. Tampak sesekali ibu mengambil sesesuap nasi dari dalam piring seng dengan tangannya, lalu memasukkan ke dalam mulutnya untuk dikunyah, lalu mengambil segelas air putih dari ketel almunium berwarna putih.
Ibu memang gemar bercerita, apalagi di saat makan bersama. Ia menceritakan kebahagiaan isi hatinya kepada aku dan kakak  yang selalu dekat dengannya. Terkadang kami bergurau dan tertawa bersama, hingga tawa dan candaan kami terdengar di luar rumah.Ibu memang memiliki suatu kharisma dan pesona tersendiri, laksana seorang Dewi pelindung yang selalu melindungi anak – anaknya dari kejahatan, ibu selalu memberikan wejangan dan tuntunan. Kebahagiaan yang  ibu miliki merupakan nafas kehidupan kami semua.
Pernah  saat itu ibu menderita sakit keras, aku dan kakak sangat panik sekali. Ibu tidak bisa bercakap – cakap dikarenakan meneguk cairan minyak kayu putih yang  ada di atas meja makan. Hal ini terjadi karena ibu mengira bahwa botol itu berisi minuman penyegar tenggorokan. Kejadian ini membuat syokk  berat kepada aku dan kakak. Ibu memang sering sakit – sakitan, kata dokter ibu menderita penyakit komplikasi, penyakit lambung kronis, maag, ginjal, rematik pada tulang, dan rabun mata. Hal ini membuat ibu sangat menderita, tak ada tawa dan rasa kebahagiaan.
Pada saat kami makanpun ibu tak bisa tersenyum karena menahan betapa kerasnya sakit yang ia derita.
“ Ibu tak ada nafsu untuk makan, ibu hanya ingin minum dan minum. Tenggorokan ibu kering, Ibu sangat haus... ’’ ujar ibu sambil membungkuk dan memegangi perutnya. terkadang sesekali memegangi tenggorokan  yang mungkin kering dan membutuhkan setetes air.
“ iya bu,tapi Ibu juga harus makan agar ibu bisa kuat.” Sahut ku dengan sabar.
Aku tahu ibu sangat menderita, dengan sakit yang ia alami. Sakit yang dialami itu, merupakan akibat yang selama ini ibu lakukan. Ibu lupa istirahat, jarang makan. Aku sangat bangga kepada ibu, selain memiliki kharisma,  ia juga cekatan dalam melakukan segala sesuatu. Ibu seorang yang ulet, mau mencoba  hal yang dianggap baru.
Setiap hari ibu bekerja di sawah, tak mengenal waktu. Panas terik dan hujan deras bukanlah  suatu halangan bagi ibu. Walau cuaca buruk , ia tetap berangkat ke sawah. Bagi ibu, membantu ayah untuk mencari sesuap nasi amatlah penting. Ibu selalu beranggapan bahwa seorang istri harus mau  bekerja  untuk membantu suaminya. Kalau tidak mau membantu artinya istri tersebut tidak setia kepada suami dalam membina rumah tangga.
Ibu memang seorang yang periang, ramah dan suka bergaul dengan orang, terkadang teman – teman ibu dari Kampung Pakunam berkunjung ke rumah kami. Mereka ingin ngobrol bersama ibu karena lama tidak bertemu. Selain itu, mereka ingin belajar membuat keranjang yang dalam bahasa Dayak disebut Jaeje. Keranjang ini terbuat dari bilah bambu kecil,di belah tipis lalu dianyam sedemikian rupa hingga terbentuklah  Jaeje. Selain membuat jaeje , ibu juga kadang kala mengajarkan mereka menjahit atap rumbia yang terbuat dari daun sagu. Apabila sudah jadi,atap tersebut di jual ke seorang pengepul taoke cina bernama Khim Lin. Taoke itu  juga membeli keranjang yang dibuat ibu. Dari hasil penjualan keranjang dan atap itu ,kemudian ibu  membeli sembako dan sebagian disisihkan untuk uang sekolah kami. Ibu memang rajin, kata nenek ibu sejak kecil telah diajarkan bekerja keras.
Malam ini ibu terlihat sedikit aneh. Ibu agak sedikit panik. Mungkin sebabnya  hari ini ibu lembur dengan pekerjaannya, karena musim panen padi telah tiba.
 “ Pinggang ibu sangat sakit sekali, ibu ingin dipijit...” Keluh ibu sambil memegangi pinggang dan berpegangan pada daun pintu.
 “ Panggilkan Delia”  ujar ibu kepada aku dan kakak.
’’ya bu, sebentar aku panggil Delia dulu bu... ” sahutku pada ibu.
 “ Del, ibu panggil kamu tuh, minta dipijit.” Ucapku pada Delia.
’’ iya...’’ jawab Delia kepadaku. Lalu delia menghampiri ibu.
” uwak, bagian mana yang sakit ....” tanya Delia.
” Pinggang bagian belakang, badan uwak sakit Del ... ” jawab ibu.
Ibu memang senang bila dipijit oleh Delia, memang pijatan delia lembut dan diapun saat memijat disertai konsentrasi. Maka tidak mengherankan jika ibu menyukai pijatan delia.
Ibu memang memiliki sifat yang berbeda dengan perempuan kebanyakan. Ibu selalu bahagia jika ada persoalan. Ibu tidak mau membeberkan aib yang terjadi dalam rumah tangga, apalagi aib orang lain. Ibu memang seorang yang memiliki sifat misterius dan menurutku aneh. Ibu merasa bahagia apabila mendapatkan suatu masalah, baginya masalah merupakan suatu tantangan yang harus ia  jalani, hadapi dan perjuangkan dengan sebuah hasil yang nyata. Ibu mempunyai semboyan, makan tak makan yang penting bahagia bersama keluarga. Kebahagiaan keluarga sangat ibu kedepankan. Ibu tak mau bahtera rumah tangganya bersama ayah hancur karena suatu masalah yang tidak berguna. Kebahagiaan dan keutuhan keluarga harus dipertahankan.
 Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, malam datang di sertai udara dingin. Suara binatang malam mulai terdengar. Piring dan gelas-gelas kosong  bertebaran di tempat cucian, remahan nasi yang terbuang bertaburan di atas meja makan. Panci dan pekakas dapur tergeletak begitu saja di dapur. Ruangan kotor penuh butiran debu dan pasir halus yang belum disapu. Tak ada  suara wanita terdengar di dapur, tak ada bunyi gemercik air di keran. Tak ada bau nasi goreng yang dimasak, tatkala bunyi suara adzan subuh  membangunkan umatnya untuk segera sholat. Tak ada lagi acara makan bahagia  bersama ibu lagi. Semua telah sirna, semua telah pupus, semua telah pergi. Tumpukan padi penuh debu tak ada yang menyentuhnya, semua ditinggalkan begitu saja. Semua kebahagiaan  dan aktivitas bersama ibu telah hilang, senyuman  bahagia ibu telah pergi untuk selamanya. Yang tersisa hanya bunyi cicak-cicak yang merayap di atas meja makan , mengerumuni remahan sisa makanan para pelayat yang tadi siang datang ke rumah untuk melayat kepergian ibuku tersayang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar