Rabu, 07 Oktober 2015

MAKALAH



MAKALAH
MATA KULIAH : KAJIAN PROSA FIKSI
ANALISIS STRUKTURALISME

Dosen Pengampu : Susan Neni Triani,M.Pd.

Oleh :
                                                  KELOMPOK 3
1)      Indah Puspita Sari        NIM  11308504140067
2)      Ibnu Azis                        NIM  11308504140064
3)      Hudzeifah                      NIM  11308504140063
4)      Vika Aulia                     NIM  11308504140168
5)      Weli Sandari                 NIM  11308504140169

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
( STKIP SINGKAWANG )
2015

                               KATA PENGANTAR

           
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah Mata Kuliah Kajian Prosa Fiksi ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Analisis Strukturalisme.” Makalah ini merupakan tugas kelompok sebagai syarat untuk mengambil nilai yang diberikan oleh ibu Susan Neni Triani, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Kajian Prosa Fiksi.
Makalah ini membahas tentang pengertian strukturalisme, bagaimana kajian strukturalisme pada karya sastra serta tahap-tahapnya. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang belajar dan pembelajaran.
Kami selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.


 Singkawang, September 2015
Penyusun,

i

DAFTAR ISI





ii


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi seorang pengarang terhadap gejala-gejala sosial di lingkungan sekitarnya. Karya sastra diciptakan pengarangnya untuk menyampaikan sesuatu kepada penikmat karyanya. Sesuatu yang ingin disampaikan pengarang adalah perasaan yang dirasakan saat bersentuhan dengan kehidupan sekitarnya.
Namun, pengarang bukanlah sekadar memindahkan apa yang disaksikan dalam kehidupan ini ke dalam karyanya, lebih dari itu. Pengarang memberikan isi dan sekaligus menafsirkan sesuai dengan keyakinan dan cita-citanya. Dengan karyanya, pengarang berusaha mengungkapkan manusia dengan penderitaannya, nafsunya, perjuangannya, cita-citanya dan sebagainya (Suharianto, 1982:11).
Karya sastra hendaknya dapat memberikan nilai estetis yang menyenangkan dan memberikan manfaat yang dapat memperkaya pengalaman batin pembaca. Hal ini senada dengan hakikat dan fungsi karya sastra yang dikemukakan Horrace (dikutip Suharianto, 1982:19), yaitu dulce et utile, artinya menyenangkan dan berguna, bukanlah merupakan suatu tujuan, melainkan merupakan suatu akibat.



1
2
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari strukturalisme pada karya sastra?
2.      Bagaimanakah unsur intrinsik atau unsur pembangun karya sastra yang meliputi tema, latar, plot, tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat?
C.    Tujuan
1.      Menjelaskan pengertian dari strukturalisme pada karya sastra?
2.      Menjelaskan unsur intrinsik karya sastra yang meliputi tema, latar, plot, tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat?
D.    Manfaat
1.      Agar mahasiswa/i dapat mengetahui tentang  pengertian dari strukturalisme pada karya sastra?
2.      Agar mahasiswa/i dapat mengetahui tentang  unsur intrinsik karya sastra yang meliputi tema, latar, plot, tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Strukturalisme
Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi unsur dalam suatu karya sastra (cerpen, novel, roman dan sebagainya) (www.wikipediaindonesia.com). Hawkes (dikutip Pradopo, 2007:75) mengatakan bahwa strukturalisme adalah struktur yang unsur-unsurnya saling berhubungan erat dan setiap unsur itu hanya mempunyai makna dalam hubungannya dengan unsur lainnya dan keseluruhannya.
Menurut Jabrohim (2003:55) dalam menganalisis strukturalisme suatu karya sastra, hanya memusatkan perhatian pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya, penyerahan pemberian makna karya sastra yang dimaksud terhadap eksistensi karya itu sendiri, tanpa mengaitkan dengan unsur-unsur di luar signifikansinya. Hal ini dikarenakan strukturalisme tergolong pendekatan objektif yang hanya mengkaji karya sastra itu sendiri.
Sejalan dengan pendapat itu, Teeuw (dikutip Jabrohim, 2003:55) menyatakan bahwa analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Hal itu berdasarkan anggapan bahwa pada dasarnya karya sastra merupakan “dunia dalam kata” yang mempunyai makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri. Jadi, untuk memahami makna karya sastra secara optimal, analisis strukturalisme yaitu unsur pembangun terhadap karya sastra adalah suatu tahap yang sulit dihindari atau secara lebih ekstrem hal itu harus dilakukan.
3
4
B.     Kajian Strukturalisme dalam Karya Sastra
Penulis menggunakan pendekatan struktural karena pendekatan ini memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Dengan pendekatan ini penulis bermaksud untuk menjaga keobjektifan sebuah karya sastra, sehingga untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis dan lepas pula dari efeknya pada pembaca (Jabrohim, 2003:54).
Strukturalisme dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada elemen atau unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Elemen itu disebut unsur intrinsik, yaitu unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur itu menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita (Nurgiantoro, 2004:23).
Stanton (dikutip Nurgiyantoro, 2000:207—243) menyatakan bahwa unsur pembangun dalam sebuah karya sastra sebagai berikut.
1.      Tema
Tema (theme), menurut Stanton dan Kenny (dikutip Nurgiyantoro, 2000:67), adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang mana dapat dinyatakan sebagai tema.
Menurut Hartoko dan Rahmant (dikutip Nurgiyantoro, 2000:67), untuk menentukan makna pokok sebuah cerita, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok ,atau tema itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Tema bisa
5
berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait dengan masalah kehidupan.
2.      Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi, sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita, sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan (Aminuddin, 2004:79). Penokohan atau perwatakan ialah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa: pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya dan sebagainya (Suharianto, 1982:31).
Teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya sastra naratif/fiksi dibedakan menjadi teknik ekspositoris, atau teknik analitik dan teknik dramatik (Nurgiyantoro, 2000:90). Teknik analitik adalah pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara tidak berbelit-belit melainkan langsung mendeskripsikan sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau ciri fisiknya. Teknik darmatik merupakan pelukisan tokoh dilakukan secara tidak langsung. Pengarang tidak mendeskripsikan secara langsung sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh cerita.
3.      Plot / Alur
Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi adalah plot cerita. Dalam analisis cerita, plot sering pula disebut dengan istilah alur. Menurut Nurgiyantoro (2000:110), plot/alur adalah rangkaian peristiwa yang tersaji secara berurutan sehingga membentuk sebuah cerita. Plot atau alur merupakan cerminan atau perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah dalam suatu cerita.
6
Suharianto (1982:28) mengatakan plot/alur adalah cara pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat, sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat dan utuh.
Plot/alur suatu cerita terdiri dari 5 bagian, yaitu:
a.       Pemaparan atau pendahuluan, yakni bagian cerita tempat pengarang mulai melukiskan suatu keadaan yang merupakan awal cerita.
  1. Penggawatan, yakni bagian yang melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak.
  2. Penanjakan, yakni bagian cerita yang melukiskan konflik-konflik mulai memuncak.
  3. Puncak atau klimaks, yakni bagian yang melukiskan peristiwa mencapai puncaknya. Bagian ini dapat berupa bertemunya dua tokoh yang sebelumnya saling mencari, atau dapat pula berupa terjadinya “perkelahian” antara dua tokoh yang sebelumnya digambarkan saling mengancam.
  4. Peleraian, yakni bagian cerita tempat pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi dalam cerita atau bagian-bagian sebelumnya.
4.      Latar/Setting
Latar/Setting yaitu tempat atau waktu terjadinya cerita. Kegunaan latar atau setting dalam cerita, biasanya bukan hanya sekedar sebagai petunjuk kapan dan dimana cerita itu terjadi, melainkan juga sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang melalui ceritanya tersebut (Suharianto, 1982:32)

7
Nurgiyantoro (2000:230) mengatakan unsur-unsur setting dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu setting tempat, setting waktu dan setting sosial. Setting tempat adalah settingyang menggambarkan lokasi atau tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Setting waktu adalah setting yang berhubungan dengan masalah “kapan” waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Setting sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Setting sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan dalam sebuah cerita.
5.      Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya (Aminuddin, 2004:90). Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams dikutip Nurgiyantoro, 2000:24).
Menurut Suharianto (1982:36) ada beberapa jenis pusat pengisahan, yaitu:
a.       Pengarang sebagai pelaku utama cerita. Dalam cerita dengan jenis pusat pengisahan ini, tokoh akan menyebut dirinya sebagai aku. Jadi seakan-akan cerita tersebut merupakan kisah atau pengalaman diri pengarang.
b.      Pengarang ikut main, tetapi bukan pelaku utama. Dengan kata lain, sebenarnya cerita tersebut merupakan kisah orang lain, tetapi pengarang terlibat di dalamnya.

8
c.       Pengarang serba hadir. Dalam cerita pengisahan jenis ini, pengarang tidak berperan apa-apa. Pelaku utama cerita tersebut orang lain; dapat dia atau kadang-kadang menyebutkan namanya, tetapi pengarang serba tahu apa yang akan dilakukan atau bahkan apa yang ada dalam pikiran pelaku cerita.
d.      Pengarang peninjau. Pusat pengisahan ini hampir sama dengan jenis pengarang serba hadir. Bedanya pada cerita dengan pusat pengisahan jenis ini, pengarang seakan-akan tidak tahu apa yang akan dilakukan pelaku cerita atau apa yang ada dalam pikirannya. Pengarang sepenuhnya hanya mengatakan atau menceritakan apa yang dilihatnya.

6.      Gaya Bahasa
Nurgiyantoro (2000:272) berpendapat bahwa, bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra.Lebih lanjut, Suharianto (1982:26) menyatakan bahwa, betapa besar peran bahasa dalam sebuah cerita, pastilah semua orang mengakuinya.
Dalam karya sastra, istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Sejalan dengan pendapat di atas, Scharbach menyebut gaya “sebagai hiasan, sesuatu yang suci, sebagai sesuatu yang indah dan lemah gemulai serta sebagai perwujudan manusia itu sendiri (Aminuddin, 2004:72)
9
Bentuk-bentuk gaya bahasa dapat berupa majas. Pemajasan yang banyak dipergunakan pengarang adalah bentuk perbandingan atau persamaan, yaitu membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya, misalnya yang berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah laku dan lain-lain. Bentuk perbandingan tersebut dilihat dari sifat kelangsungan pembandingan persamaannya dapat dibedakan ke dalam bentuk simile, metafora, dan personifikasi (Nurgiyantoro, 2000:298).
7.      Amanat
Amanat merupakan pesan atau hikmah yang dapat diambil dari sebuah cerita untuk dijadikan sebagai cermin maupun panduan hidup. Melalui cerita, sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan dan yang diamanatkan (Nurgiyantoro, 2000:322).











BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi unsur dalam suatu karya sastra (cerpen, novel, roman dan sebagainya). Dalam menganalisis strukturalisme suatu karya sastra, hanya memusatkan perhatian pada unsur intrinsik sebagai unsur pembangun karya sastra. Unsur intrinsik, yaitu tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat. Kajian strukturalisme hanya memperhatikan unsur intrinsik, karena strukturalisme tergolong pendekatan objektif dalam teori kritik sastra. Adapun tahap-tahap dalam menganalisis strukturalisme meliputi objek analisis, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan teknik penyimpulan data.

B.     Saran
Diharapkan mahasiswa/i Prodi Pendidikan Bahasa adan Sastra Indonesia dapat memanfaatkan makalah ini sebaik-baiknya untuk menambah pengetahuan serta wawasan tentang analisis struktural karya sastra, namun kami sebagai penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

                    10


DAFTAR PUSTAKA












                                                    
                                                        11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar