Selasa, 22 September 2015

Ibu

Ibu

Art by Mae & Bebe
Art by Mae & Bebe
GRACE PALEY  |
Suatu hari aku tengah mendengarkan radio AM. Sebuah lagu berkumandang: “Oh, Aku Ingin Sekali Melihat Ibuku di Ambang Pintu.” Ya Tuhan, batinku. Aku sangat mengerti isi lagu tersebut. Aku juga rindu melihat ibuku berdiri di ambang pintu. Sudah tak terhitung berapa kali ibuku berdiri di ambang berbagai pintu sambil menatap lurus ke arahku. Suatu saat, dia berdiri di ambang pintu depan rumah yang seperti biasa dilatari oleh gelapnya ruangan di belakang. Hari itu adalah Hari Tahun Baru. Dia berkata dengan nada sedih, Jika kau pulang ke rumah pukul empat pagi saat usiamu baru tujuh belas tahun, nanti saat usiamu dua puluh tahun kau mau pulang jam berapa? Dia tidak bercanda, tidak juga marah. Dia sudah mulai mempersiapkan diri untuk menyambut kematian: inilah kekhawatiran terbesarnya. Dia yakin bahwa pada saat aku berusia dua puluh tahun, dia takkan lagi ada bersamaku. Setidaknya itu yang ada dalam pikirannya.
Di kala lain, Ibu berdiri di ambang pintu kamar tidurku. Aku baru saja menuliskan selembar manifesto politik menyerang posisi keluargaku terhadap Uni Soviet. Katanya, Sudah tidur saja, kau bodoh sekali, kepalamu penuh dengan ide-ide Komunis. Aku dan ayahmu sudah pernah melihat aksi mereka di tahun 1905. Kami sudah memperkirakan hal ini akan terjadi.
Di ambang pintu dapur, dia juga pernah berkata, Kau tak pernah menghabiskan makan siangmu. Kau selalu berlari-larian tanpa tujuan. Mau jadi apa?
Lantas dia meninggal.
Tentu saja, selama sisa hidupku aku selalu rindu melihatnya, tidak hanya di ambang pintu, tapi di tempat-tempat lainnya juga — di ruang makan bersama para bibiku, di jendela sambil menerawang ke arah jalanan depan rumah, di taman tempat bunga-bunga zinnia dan marigold tumbuh subur, atau di ruang tamu bersama Ayah.
Biasanya mereka duduk di atas sepasang sofa yang terbalut bahan kulit sambil mendengarkan Mozart. Mereka akan bertukar tatapan, takjub. Seolah mereka baru saja turun dari perahu dan menginjakkan kaki di negara ini. Mempelajari kata-kata pertama mereka dalam Bahasa Inggris. Seolah Ayah baru saja menyerahkan lembar ujiannya dengan lampiran jawaban yang 100 persen benar kepada seorang profesor ilmu biologi anatomi yang berkebangsaan Amerika. Dan Ibu baru saja menutup usahanya untuk mendedikasikan hidupnya sebagai ibu rumah tangga.
Seandainya aku masih bisa melihatnya berdiri di ambang pintu ruang tamu kami.
Dia biasa berdiri sebentar disana. Lalu dia akan duduk di samping Ayah. Mereka memiliki mesin pemutar piringan hitam yang lumayan mahal. Mereka senang mendengarkan Bach. Ibu menoleh ke arah Ayah, Ajaklah aku mengobrol. Belakangan ini kita jarang sekali mengobrol.
Aku lelah, jawab Ayah. Apa kau tak bisa lihat? Hari ini aku menemui sekitar tiga puluh orang pasien. Semuanya sakit dan bawel. Tak bisa berhenti mengeluh. Dengarkan musik saja, kata Ayah. Kau dulu senang sekali mendengarkan musik. Aku lelah, kata Ayah. FL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar