ASPEK KEKERASAN DI
ERA REFORMASI DALAM CERPEN “ CLARA Atawa
wanita yang diperkosa ”
Makalah
ini fokus dengan cerita pendek yang berjudul
“Clara atawa wanita yang diperkosa“
dengan menggunakan pendekatan sosiologis
. Makalah ini juga mengkaji tentang masalah-masalah sosial yang terjadi dalam
Era Reformasi sampai sekarang (tahun 1998 – sekarang ) yang ada dalam cerpen “ Clara atawa wanita yang diperkosa” . Dasar
filosofi pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan
hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.
Istilah
“kekerasan” ( violence ) berasal dari
bahasa latin vis (kekuatan,
kehebatan, kedahsyatan, kekerasan ) dan latus
(membawa ). Jadi secara harfiah, kekerasan bearti membawa kekuatan,kehebatan,
kedahsyatan, dan kekerasan. Dan dalam Kamus Besar Indonesia, istilah
“kekerasan” diartikan sebagai perbuatan orang atau sekelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang [ Sosiologi Jilid 2, 47-2007 ].
Dalam
masalah ini kekerasan yang terjadi pada diri clara disaat perjalanan pulang
kerumahnya, membuat sisi gelap dalam cerita yang dibuat oleh Seno Gumira
Ajidarma (SGA), seorang wartawan serta penulis yang cukup produktif. Dalam
penulisan tersebut SGA menulis cerita
pendek Clara Atawa wanita yang diperkosa (tanggal 26 juni 1998)
setelah satu bulan setelah adanya
tragedy Mei di jakarta. Cerpen ini
bercerita tentang seorang wanita Tionghoa
korban perkosaan Mei 1998, dan pada saat itu juga terjadi polemik
diantara ada dan tidak adanya perkosaan atas perempuan Tionghoa.
Dalam masalah
ini terjadi kekerasan dalam sebuah lingkungan itu dikarenakan oleh suatu adanya
perbedaan masyarakat sosial (Diferensasi sosial ). Diferensiasi (differentiation
) adalah proses munculnya perbedaan antara hal-hal yang semula sama [Sosiologi
SMA Jilid 2,2007]. Seperti dijelaskan dalam cerpen ini :
“ Cina! “
“ Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat berpikir, kaca depan BMW
itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang
ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir
sebagai Cina?
Dalam hal
ini apa yang salah dengan semua nya,Clara seorang WNI sama seperti orang-orang
yang melakukan tindakan kekerasan padanya tapi yang membedakan hanya clara
seorang keturunan cina. Hanya karena keturunan Cina dianggap penyebab bahwa
kekerasaan itu adalah tindakan wajar, dan tindakan asusila yang lainnya pun
dianggap hal yang tidak asing untuk dilakukan. Padahal dalam kehidupan
bermasyarakat diperlakukan aturan aturan yang disepakati bersama untuk mengatur
perilaku individu agar tercipta ketentraman yang diwujudkan dalam bentuk norma.
Dalam tingkatan norma sosial ada yang namanya tata kelakuan ( Mores ),yang
dimaksudkan disini adalah sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat
hidup dari sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya [Sosiologi Jilid
1, 2004].
”Periksa! Masih perawan atau tidak
dia!” Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan
saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing
memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya
menyepak-nyepak. Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.
Ini menunjukkan
bahwa masyarakat pada saat itu tidaklah mentaati norma sosial dalam segi tata
kelakuan,yang telah menjadi dasar fungsi
untuk perilaku masyarakat. Dan dalam
cerpen ini juga menceritakan kerusuhan di Jakarta pada tahun yang sama
dibuatnya cerpen ini yaitu tragedi -tragedi yang terjadi dibulan Mei walaupun
cerpen ini sebulan setelahnya. Pada bulan Mei 1998 tidak hanya krisis
finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas
Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Tapi juga Pada
kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk
massa terutama milik warga Indonesia
keturunan Tionghoa. Terdapat
ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan
seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai,
dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh.
Api sudah berkobar di mana-mana ketika
mobil BMW saya melaju di jalan tol. Saya menerima telepon dari rumah. ”Jangan
pulang,” kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah
tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Sinta, adik-adikku,
terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana. ”Jangan pulang, selamatkan
diri kamu, pergilah langsung ke Cengkareng, terbang ke Singapore atau Hong Kong.
Pokoknya ada tiket. Kamu selalu bawa paspor kan? Tinggalkan mobilnya di tempat
parkir. Kalau terpaksa ke Sydney tidak apa-apa. Pokoknya selamat. Di sana kan
ada Oom dan Tante,” kata Mama lagi.
Kutipan diatas
menggambar konflik yang terjadi sebulan sebelum cerpen ini dibuat oleh SGA,
dari sini lah bisa diambil kesimpulan bahwa kekerasan di Era Reformasi sangat
mengerikan dan kurangnya akan sifat toleransi dalam masyarakat pada Era
tersebut yang menjadi faktor terjadinya konflik nonrealistik antara keturunan Tionghoa
dan masyarakat pribumi. Konflik
nonrealistik adalah pertentangan yang timbul bukan karena adanya persaingan
untuk mencapai tujuan spesifik tertentu, melainkan lebih disebabkan oleh
keinginan untuk melepaskan ketengangan terhadap kelompok lain dalam masyarakat,
disini konflik kekerasan adalah merupakan Tujuan nya [ Sosiologi Jilid 2,
49-2007 ].
Oleh sebab itu
kekerasan dalam bentuk apapun bukan jalan keluar dari semua masalah, seharusnya
dalam masyarakat itu dibutuhkan sikap toleransi agar tiada kesalahfaham antara
satu dengan yang lainnya [masyarakat pribumi dan keturunan Tionghoa ataupun
Suku, Ras, Etnis yang lainnya], agar terciptanya kehidupan yang sejahtera dalam
masyarakat. Lemahnya Toleransi diEra reformasi hendaknya dapat dijadikan
pelajaran bagi masyarakat sekarang walaupun belum semuanya dapat hidup dengan
norma-norma yang telah ada sejak dulu hingga sekarang, setidaknya mulailah dari
diri sendiri bahwa kekerasan bukan jalan terbaik untuk suatu perbedaan dan
suatu masalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar