Kamis, 10 Desember 2015

ASPEK KEKERASAN DI ERA REFORMASI DALAM CERPEN “ CLARA Atawa wanita yang diperkosa ”

ASPEK KEKERASAN DI ERA REFORMASI DALAM CERPEN “ CLARA Atawa wanita  yang diperkosa

Makalah ini fokus dengan cerita pendek yang berjudul  “Clara atawa wanita yang diperkosa“  dengan menggunakan pendekatan sosiologis . Makalah ini juga mengkaji tentang masalah-masalah sosial yang terjadi dalam Era Reformasi sampai sekarang (tahun 1998 – sekarang ) yang ada dalam cerpen “ Clara atawa wanita yang diperkosa” . Dasar  filosofi  pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.
Istilah “kekerasan” ( violence ) berasal dari bahasa latin vis (kekuatan, kehebatan, kedahsyatan, kekerasan ) dan latus (membawa ). Jadi secara harfiah, kekerasan bearti membawa kekuatan,kehebatan, kedahsyatan, dan kekerasan. Dan dalam Kamus Besar Indonesia, istilah “kekerasan” diartikan sebagai perbuatan orang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang [ Sosiologi Jilid 2, 47-2007 ].
Dalam masalah ini kekerasan yang terjadi pada diri clara disaat perjalanan pulang kerumahnya, membuat sisi gelap dalam cerita yang dibuat oleh Seno Gumira Ajidarma (SGA), seorang wartawan serta penulis yang cukup produktif. Dalam penulisan tersebut  SGA menulis cerita pendek  Clara Atawa wanita yang diperkosa (tanggal 26 juni 1998) setelah  satu bulan setelah adanya tragedy Mei di jakarta.  Cerpen ini bercerita tentang seorang wanita Tionghoa  korban perkosaan Mei 1998, dan pada saat itu juga terjadi polemik diantara ada dan tidak adanya perkosaan atas perempuan Tionghoa.
Dalam masalah ini terjadi kekerasan dalam sebuah lingkungan itu dikarenakan oleh suatu adanya perbedaan masyarakat sosial (Diferensasi sosial ). Diferensiasi  (differentiation ) adalah proses munculnya perbedaan antara hal-hal yang semula sama [Sosiologi SMA Jilid 2,2007]. Seperti dijelaskan dalam cerpen ini :
“ Cina! “ “ Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?
Dalam hal ini apa yang salah dengan semua nya,Clara seorang WNI sama seperti orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan padanya tapi yang membedakan hanya clara seorang keturunan cina. Hanya karena keturunan Cina dianggap penyebab bahwa kekerasaan itu adalah tindakan wajar, dan tindakan asusila yang lainnya pun dianggap hal yang tidak asing untuk dilakukan. Padahal dalam kehidupan bermasyarakat diperlakukan aturan aturan yang disepakati bersama untuk mengatur perilaku individu agar tercipta ketentraman yang diwujudkan dalam bentuk norma. Dalam tingkatan norma sosial ada yang namanya tata kelakuan ( Mores ),yang dimaksudkan disini adalah sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya [Sosiologi Jilid 1, 2004].
”Periksa! Masih perawan atau tidak dia!” Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak. Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat pada saat itu tidaklah mentaati norma sosial dalam segi tata kelakuan,yang telah menjadi dasar  fungsi untuk perilaku  masyarakat. Dan dalam cerpen ini juga menceritakan kerusuhan di Jakarta pada tahun yang sama dibuatnya cerpen ini yaitu tragedi -tragedi yang terjadi dibulan Mei walaupun cerpen ini sebulan setelahnya. Pada bulan Mei 1998 tidak hanya krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Tapi juga Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa  terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh.
Api sudah berkobar di mana-mana ketika mobil BMW saya melaju di jalan tol. Saya menerima telepon dari rumah. ”Jangan pulang,” kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Sinta, adik-adikku, terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana. ”Jangan pulang, selamatkan diri kamu, pergilah langsung ke Cengkareng, terbang ke Singapore atau Hong Kong. Pokoknya ada tiket. Kamu selalu bawa paspor kan? Tinggalkan mobilnya di tempat parkir. Kalau terpaksa ke Sydney tidak apa-apa. Pokoknya selamat. Di sana kan ada Oom dan Tante,” kata Mama lagi.
Kutipan diatas menggambar konflik yang terjadi sebulan sebelum cerpen ini dibuat oleh SGA, dari sini lah bisa diambil kesimpulan bahwa kekerasan di Era Reformasi sangat mengerikan dan kurangnya akan sifat toleransi dalam masyarakat pada Era tersebut yang menjadi faktor terjadinya konflik nonrealistik antara keturunan Tionghoa dan masyarakat pribumi.  Konflik nonrealistik adalah pertentangan yang timbul bukan karena adanya persaingan untuk mencapai tujuan spesifik tertentu, melainkan lebih disebabkan oleh keinginan untuk melepaskan ketengangan terhadap kelompok lain dalam masyarakat, disini konflik kekerasan adalah merupakan Tujuan nya [ Sosiologi Jilid 2, 49-2007 ].
Oleh sebab itu kekerasan dalam bentuk apapun bukan jalan keluar dari semua masalah, seharusnya dalam masyarakat itu dibutuhkan sikap toleransi agar tiada kesalahfaham antara satu dengan yang lainnya [masyarakat pribumi dan keturunan Tionghoa ataupun Suku, Ras, Etnis yang lainnya], agar terciptanya kehidupan yang sejahtera dalam masyarakat. Lemahnya Toleransi diEra reformasi hendaknya dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat sekarang walaupun belum semuanya dapat hidup dengan norma-norma yang telah ada sejak dulu hingga sekarang, setidaknya mulailah dari diri sendiri bahwa kekerasan bukan jalan terbaik untuk suatu perbedaan dan suatu masalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar