BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama
merupakan sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan, keimanan dan
kepercayaan seseorang. Dalam pembahasan in, agama dipandang dan diteliti
tidak secara sepihak atau memandang agamanya lebih baik dan menghina
agama lain. Namun, pemahaman agama di pandang secara obyektif mengenai
kebenarannya dengan sikap yang relatif. Hal itu diperlukan beberapa
pandangan atau pendapat dari beberapa para ilmuwan.
Tujuan
dari kajian ini untuk mengungkapkan argumen-argumen yang logis,
meningkatkan pemahaman agama dan memperjelas bahasan agama dilihat dari
sudut pandang beberapa para ahli dan dilihat dari beberapa metode atau
pendekatan, diantaranya :
1. Pendekatan Sejarah
2. Pendekatan Sosiologi
3. Pendekatan filosofis
4. Pendekatan Fenologis
5. Pendekatan Teologis
Pemahaman agama melalui beberapa pendekatan di atas akan dibahas pada bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pemahaman Agama Melalui Pendekatan Sejarah
Jika disepakati bahwa Studi Islam (Islamic Studies) menjadi disiplin ilmu tersendiri. Maka telebih dahulu harus di bedakan antara kenyataan, pengetahuan, dan ilmu.
Setidaknya ada dua kenyataan yang dijumpai dalam hidup ini. Pertama, kenyataan yang disepakati (agreed reality),
yaitu segala sesuatu yang dianggap nyata karena kita bersepakat
menetapkannya sebagai kenyataan; kenyataan yang dialami orang lain dan
kita akui sebagai kenyataan. Kedua, kenyataan yang didasarkan atas
pengalaman kita sendiri (experienced reality). Berdasarkan adanya
dua jenis kenyataan itu, pegetahuan pun terbagi menjadi dua macam;
pengetahuan yang diperoleh melalui persetujuan dan pengetahuan yang
diperoleh melalui pengalaman langsung atau observasi. Pengetahuan
pertamadiperoleh dengan cara mempercayai apa yang dikatakan orang lain
karena kita tidak belajar segala sesuatu melalui pengalaman kita
sendiri.
Bagaimanapun beragamnya pengetahuan, tetapi ada satu hal yang mesti diingat, bahwa setiap tipe pengetahuan mengajukan tuntutan (claim) agar orang membangun apa yang diketahui menjadi sesuatu yang sahih (valid) atau benar (true).
Kesahihan
pengetahuan banyak bergantung pada sumbernya. Ada dua sumber
pengetahuan yang kita peroleh melalui agreement: tradisi dan autoritas.
Sumber tradisi adalah pengetahuan yang diperoleh melalui warisan atau
transmisi dari generasi ke generasi (al-tawatur). Sumber pengetahuan kedua adalah autoritas (authority),
yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui penemuan-penemuan baru oleh
mereka yang mempunyai wewenang dan keahlian di bidangnya. Penerimaan
autoritas sebagai pengetahuan bergantung pada status orang yang
menemukannya atau menyampaikannya.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu dalam arti science menawarkan dua bentuk pendekatan terhadap kenyataan (reality),
baik agreed reality maupun experienced reality, melalui penalaran
personal, yaitu pendekatan khusus untuk menemukan kenyataan itu. Ilmu
menawarkan pendekatan khusus yang disebut metodologi, yaitu ilmu untuk mengetahui.
Metode terbaik untuk memperoleh pengetahuan adalah metode ilmiah (scientific method). Untuk
memahami metode ini terlebih dahulu harus dipahami pengertian ilmu.
Ilmu dalam arti science dapat dibedakan dengan ilmu dalam arti
pengetahuan (knowledge). Ilmu adalah pengetahuan yang sistematik.
Ilmu mengawali penjelajahannya dari pengalaman manusia dan berhenti
pada batas penglaman itu. Ilmu dalam pengertian ini tidak mempelajari
ihwal surga maupun neraka karena keduanya berada diluar jangkauan
pengalaman manusia.
Demikian
juga mengenai keadaan sebelum dan sesudah mati, tidak menjadi obyek
penjelajahan ilmu. Hal-hal seperti ini menjadi kajian agama. Namun
demikian, pengetahuan agama yang telah tersusun secara sistematik,
terstruktur, dan berdisiplin, dapat juga dinyatakan sebagai ilmu agama.
Menurut
Ibnu Taimiyyah ilmu apapun mempunyai dua macam sifat: tabi’ dan matbu’.
Ilmu yang mempunyai sifat yang pertama ialah ilmu yang keberadaan
obyeknya tidak memerlukan pengetahuan si subyeknya tentang keberadaan
obyek tersebut. Sifat ilmu yang kedua, ialah ilmu yang keberadaan
obyeknya bergantung pada pengetahuan dan keinginan si subyek.
Berdasarkan
teori ilmu di atas, ilmu di bagi kepada dua cabang besar. Pertama ilmu
tentang Tuhan, dan kedua ilmu tentang makhluk-makhluk ciptaan Tuhan.
Ilmu pertama melahirkan ilmu kalam atau teology, dan ilmu kedua
melahirkan ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan metodologi dalam arti
umum. Ilmu-ilmu kealaman dengan menggunakan metode ilmiah termasuk
kedalam cabang ilmu kedua ilmu ini.
Ilmu
pada kategori kedua, menurut Ibnu Taimiyyah dapat dipersamakan dengan
ilmu menurut pengertian para pakar ilmu modern, yakni ilmu yang
didasarkan atas prosedur metode ilmiah dan kaidah-kaidahnya. Yang
dimaksud metode di sini adalah cara mengetahui sesuatu dengan
langkah-langkah yang sistematik. Sedangkan kajian mengenai kaidah-kaidah
dalam metode tersebut disebut metodologi. Dengan demikian metode ilmiah
sering dikenal sebagai proses logico-hipotetico-verifikasi yang merupakan gabungan dari metode deduktif dan induktif. Dalam kontek inilah ilmu agama dalam Studi Islam (Islamic Studies)
yang menjadi disiplin ilmu tersendiri, harus dipelajari dengan
menggunakan prosedur ilmiah. Yakni harus menggunakan metode dan
pendekatan yang sistematis, terukur menurut syarat-syarat ilmiah.
Dalam
studi Islam dikenal adanya beberapa metode yang dipergunakan dalam
memahami Islam. Penguasaan dan ketepatan pemilihan metode tidak dapat
dianggap sepele. Karena penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan
seseorang dapat mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka
yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan
menjadi produsen. Oleh karenanya disadari bahwa kemampuan dalam
menguasai materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di
bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat
dikembangkan.
Diantara
metode studi Islam yang pernah ada dalam sejarah, secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara
memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama
Islam tersebut dengan agama lainnya. Dengan cara yang demikian akan
dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua metode
sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara metode
ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, obyektif, kritis, dan
seterusnya dengan metode teologis normative. Metode ilmiah digunakan
untuk memahami Islam yang nampak dalam kenyataan histories, empiris, dan
sosiologis. Sedangkan metode teologis normative digunakan untuk
memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis
normative ini seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama
agama yang mutlak benar. Hal ini di dasarkan kerena agama berasal dari
Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agamapun
mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana
norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang
secara keseluruhan diyakini amat ideal.
Metode-metode
yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dpandang
tidak cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru yang harus
terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian,
pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti
satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak
pendekatan yang digunakan dalam memahami agama. Diantaranya adalah
pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis,
histories, kebudayaan, dan pendekatan filodofis. Adapun pendekatan yang
dimaksud di sini (bukan dalam konteks penelitian), adalah cara pandang
atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya
digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat,
menandasakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran
sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada persoalan
apakah penelitian agama itu penelitian ilmu social, penelitian
filosofis, atau penelitian legalistic.
Mengenai
banyaknya pendekatan ini, penulis tidak akan menguraikan secara
keseluruhan pendekatan yang ada, melaikan hanya pendekatan histories
sesuai dengan judul di atas, yakni pendekatan histories.
Sejarah
atau histories adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar
belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala
peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di
mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui
pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam
yang bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan
melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam
alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan histories.
Pendekatan
kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena gama itu
sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi
social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan
studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut
pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an ia sampai pada satu
kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua
berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam
bagian pertama yang berisi konsep ini kita mendapati banyak sekali
istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative
yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan
ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya
pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah
dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an, atau bias jadi
merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya
konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas istilah
itu kemudian dintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Qur’an, dan
dengan demikian, lalu menjadi onsep-konsep yang otentik.
Dalam
bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang
bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, Malaikat,
Akherat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya adalah termasuk yang abstrak.
Sedangkan konsep tentang fuqara’, masakin, termasuk yang konkret.
Selanjutnya,
jika pada bagian yang berisi konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk
pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian
yang kedua yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak
dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah.
Melalui
pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang
sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka
seseorag tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya.
Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang
bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-Qur’an atau
kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya
disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah
turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui
hikmah yang terkadung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hokum
tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan
memahaminya
2. Pemahaman Agama Melalui Pendekatan Sosiologi
Sosiologi
adalah Ilmu yang mempelajari manusia dan interaksi manusia dengan
manusia lain, interaksi seseorang induvidu dengan individu yang lain,
atau individu dengan kelompok masyarakat, masyarakat dengan masyarakat,
pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat, organisasi dengan
organisasi.
Perkembangan
yang sangat penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang
mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan
sosial telah tertarik terhadap Timur Tengah, terutama melakukan
pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara, banyak karya hasil tulisan
ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi Islam secara
kuantitatif. Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis
humanitis atau penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan studi
agama. Karya ilmuwan sosial tersebut dapat meningkatkan pemahaman
mahasiswa yang mengambil area studi Timur Tengah karena metode yang
digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk memperluas
pemahaman kita.
Untuk
menemukan ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi
Islam sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di
kalangan ilmuwan sosial sendiri tentang validitas kajian yang mereka
lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah
pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams
berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana
sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara
pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan
kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut,
sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan
metode yang berlainan.
Asumsi
dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia
mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila
perilaku manusia itu dapat didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas
objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan
juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan
sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat
“dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat
dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek
empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan
sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan
deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan
menggunakan pendekatan sosiologis, maka agama akan dijelaskan dengan
beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai
sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan
dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih
banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial
menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma
sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk
ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa
pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena
agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
Namun,
terdapat kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah
kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke
dalam bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang
dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian
studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial,
perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari
kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau
aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di
beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi
fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia.
Meskipun
demikian, harus diakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner
dalam melakukan studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan
sosial—dengan menggunakan salah satu disiplin ilmu sosial—seperti
ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog yang tertarik pada
wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka menulis sesuai
dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang dilihat
mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya
adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara atau hubungan
orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial. Dari
perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari
realitas aktivitas lainnya.
Karena
bidang kaji ilmuwan sosial ditentukan oleh ketertarikan terhadap fokus
tertentu, mereka akan memilih salah satu aspek dari Islam sesuai atau
menurut tujuan mereka. Terhadap aspek Islam yang menurutnya penting,
maka ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab
itu, karena ilmuwan dalam bidang politik dan sosiologi bukanlah ahli
sejarah agama, maka karya mereka tentang agama mungkin sedikit
memberikan kepuasan dan kurang komplit jika dibandingkan dengan karya
tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau kekuatan
sosial.
3. Pemahaman Agama Melalui Pendekatan Filosofis
Yang
dimaksud adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat
dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan
menggunakan analisis spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah berfikir
untuk memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab suatu persoalan.
Namun demikian tidak semua berfikir untuk memecahkan dan menjawab
permasalah dapat disebut filsafat. Filsafat adalah berfikir secara
sistematis radikal dan universal. Di samping itu, filsafat mempunyai
bidang (objek yang difikirkan) sendiri yaitu bidang permasalahan yang
bersifat filosofis yakni bidang yang terletak diantara dunia ketuhanan
yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata.
Dengan
demikian filsafat yang menjembatani kesenjangan antara masalah-masalah
yang bersifat keagamaan semata-mata (teologis) dengan masalah yang
bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Namun filsafat tidak mau menerima
segala bentuk bentuk otoritas, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan.
Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu
yang datang secara otoritatif, sehingga mendatangkan pemahaman yang
sebenar-benarnya yang selanjutnya bisa mendatangkan kebijaksanaan
(wisdom) dan menghilangkan kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam
dengan ilmu pengetahuan modern sebagaimana yang sering dipahami dan
menggejala di kalangan umat selama ini.
4. Pemahaman Agama Melalui Pendekatan Fenologis
Ada
dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama,
bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama
orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang
yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan
menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam
tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.
Aspek
fenomenologi pertama ini—epoche—sangatlah fundamental dalam studi
Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik,
marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches)
dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman
keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih
baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang
digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama
itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua
bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam
terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari
sumber di luar pengalaman seseorang yang akan dikaji. Hal yang
terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami
oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta
bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi
fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual,
seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan
pelaku.
Pendekatan
fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali
data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi,
sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi
tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan
melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur
dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau
individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi
agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat
Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan
oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila
pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui
studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam.
Aspek Kedua
dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi
untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan
bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak
mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi
kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur
dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang
nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.
Pendekatan
fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun
terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun
hampir tidak ada upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini
untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan pendekatan fenomenologi
lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang diekspresikan
terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh sebab itu
fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif
dan agama kuno.
5. Pemahaman Agama Melalui Pendekatan Teologis
Adalah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam (ushuluddin),
Ilmu kalam mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan berupaya
membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap
akidah-akidah pokok. Sumber-sumbernya Al-Quran, hadist, pemikiran
manusia. Obyek Pembahasan Ilmu Kalam :
- Masalah pengetahuan (al-Ma’rifah) cara memperolehnya, tujuan mengukuhkan keyakinan mengenai pengetahuan informatif (al-ma’rifah al-khariyyah), khususnya yang dibawa oleh Rasul, tujuannya untuk meng-counter pandangan Thummamiyyah dan safsata’iyyah (sofisme) yang menolak pengetahuan informatif.
- Masalah kebaruan alam (huduts al’alam) yang bertujuan membuktikan kewujudan zat yang maha pencipta. Ini merupakan bantahan terhadap filosofi .
- Masalah Keesaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah yang meyakini eksistensi tuhan cahaya (al-nur) dan tuhan kegelapan (al-zulmah).
- Masalah sifat Allah dan hubungannya dengan zat-Nya, apakah zat-Nya sama dengan sifatnya, ataupun berbeda. Ini merupakan bantahan terhadap kaum Mu’tazilah yang terpengaruh filsafat Yunani. Ketika konsep jawhar (substansi) dan ‘arad (aksiden) serta aqnumiyah (oknum dalam teologi kristen) yang digunakan untuk menjustifikasi konsep teologis mereka, dimana Tuhan dianggap akumulasi dari Bapak, anak, ruh kudus.
- Masalah tanzih (pensucian) Allah dan penolakan tasybih (penyeruan Allah), tujuan untuk membantah pandangan orang yahudi yang menambahkan Tuhan dengan ciri-ciri manusia.
- Masalah kalam Allah, baik qadim maupun baru, ini terpengaruh dengan pandangan teologi Kristen mengenai al-Masih yang dianggap sebagai kalimatullah. menurut teologi Kristen, Al-Masih adalah Tuhan sedangkan pandangan Islam, beliau adalah Kalimatullah.
- Masalah Kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan pada kenabian Muhammad SAW, dan mengkonter sekte Sabi’ah dan Brahmana (Hindu) yang menolak kebutuhan manusia pada nabi, Juga membantah orang-orang yahudi dan Nasrani yang menolak kenabian Muhammad.
- Masalah ke-ma’shum-an para Nabi yang bertujuan membantah pandangan Yahudi bahwa Nabi mempunyai kelemahan, dosa, dan tidak Ma’shum.
- Masalah tempat kembali (al-mi’ad) yang membantah pandangan reincarnation (penjelmaan kembali) Agama Budha dan lainnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Pemahaman Agama Melalui Pendekatan Sejarah
Kesahihan
pengetahuan banyak bergantung pada sumbernya. Ada dua sumber
pengetahuan yang kita peroleh melalui agreement: tradisi dan autoritas.
Sumber tradisi adalah pengetahuan yang diperoleh melalui warisan atau
transmisi dari generasi ke generasi (al-tawatur). Sumber pengetahuan kedua adalah autoritas (authority),
yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui penemuan-penemuan baru oleh
mereka yang mempunyai wewenang dan keahlian di bidangnya. Penerimaan
autoritas sebagai pengetahuan bergantung pada status orang yang
menemukannya atau menyampaikannya.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu dalam arti science menawarkan dua bentuk pendekatan terhadap kenyataan (reality),
baik agreed reality maupun experienced reality, melalui penalaran
personal, yaitu pendekatan khusus untuk menemukan kenyataan itu. Ilmu
menawarkan pendekatan khusus yang disebut metodologi, yaitu ilmu untuk mengetahui.
2. Pemahaman Agama Melalui Pendekatan Sosiologi
Sosiologi
adalah Ilmu yang mempelajari manusia dan interaksi manusia dengan
manusia lain, interaksi seseorang induvidu dengan individu yang lain,
atau individu dengan kelompok masyarakat, masyarakat dengan masyarakat,
pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat, organisasi dengan
organisasi.
Pendekatan
fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali
data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi,
sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi
tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan
melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur
dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau
individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi
agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat
Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan
oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila
pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui
studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam.
3. Pemahaman Agama Melalui Pendekatan Filosofis
Yang
dimaksud adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat
dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan
menggunakan analisis spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah berfikir
untuk memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab suatu persoalan.
Namun demikian tidak semua berfikir untuk memecahkan dan menjawab
permasalah dapat disebut filsafat. Filsafat adalah berfikir secara
sistematis radikal dan universal. Di samping itu, filsafat mempunyai
bidang (objek yang difikirkan) sendiri yaitu bidang permasalahan yang
bersifat filosofis yakni bidang yang terletak diantara dunia ketuhanan
yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata.
4. Pemahaman Agama Melalui Pendekatan Fenologis
Pendekatan
fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun
terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun
hampir tidak ada upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini
untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan pendekatan fenomenologi
lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang diekspresikan
terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh sebab itu
fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif
dan agama kuno.
5. Pemahaman Agama Melalui Pendekatan Teologis
Adalah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam (ushuluddin),
Ilmu kalam mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan berupaya
membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap
akidah-akidah pokok. Sumber-sumbernya Al-Quran, hadist, pemikiran
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mas'udi, Hafizh Hasan. 1999. Ilmu Mustholah Hadis. Surabaya; Al-Hidayah.
Romdon. 1996. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta; Raja Grafindo Persada
Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta;1996
Abdullah, Taufik dan M Rusli Karim, (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta; Tiara Wacana Yogyakarta, 1990
Abdullah, Taufik, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt
Babbie, Earl, The Practice of Social Research, California: Wadasworth Publishing Co., 1986
Praja, Juhaya S., Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002
Sayyed Husen Nasr, Menjelajah Dunia Modern, (terj.) Hasti Tarekat, dari judul asli A Young Muslim’s Guide in The Modern World, Bandung: Mizan, 1995
Sumardi, Mulyanto, (ed.), Penelitian Agama, Jakarta: Sinar Harapan, 1982
Tidak ada komentar:
Posting Komentar